04 Oktober 2025

Catatan Kecil dari Perjalanan Kolostomi

Akhirnya tagihan itu beneran datang. Salah satu pembaca blog bertanya,  “Kenapa tulisan tentang kanker kolorektal tidak dilanjutkan?”

Tentu saja saya ingin menuliskan cerita lanjutannya. Sayang sekali, flashdisk tempat saya menyimpan catatan selama istri menjalani perawatan hilang entah di mana. Jadi sekarang saya hanya mengandalkan ingatan, dibantu catatan medis dari rumah sakit untuk merangkai kembali kronologinya.

Transfusi Darah dan Harapan yang Tertunda

Saat awal dirawat, kadar Haemoglobin Yuni hanya kisaran 4g/dL. Terlalu rendah untuk menjalani prosedur invasif. Dokter memutuskan menunda biopsi. Yuni harus menerima transfusi terlebih dahulu, sampai kadar HB paling tidak mencapai 10 g/dL. Empat kantong darah mengalir ke tubuhnya, membawa oksigen dan harapan baru.

Sesuai kesepakatan antara dokter dengan saya sebelumnya, biopsi dilakukan bersamaan dengan kolostomi – operasi membuat saluran pembuangan feses melalui lubang di dinding perut. Rencananya, operasi dilakukan pagi sebelum Jumatan, tapi tertunda karena ada pasien darurat. Baru siang harinya Yuni masuk ruang operasi.

Empat Jam yang Mengubah Segalanya

Biopsi dan kolostomi berlangsung lancar sekitar 4 jam, tapi sampai hari ini saya belum punya nyali untuk melihat secara detail kantong yang terpasang di perut bagian kiri bawah. Saya hanya tahu, sejak saat itu istri saya tidak lagi BAB melalui dubur. Kotoran keluar melalui lubang di dinding perut, ditampung sementara di kantong yang secara berkala dibersihkan dan diganti setiap 2 atau 3 hari sekali.

Awalnya dokter berharap kolostomi itu hanya sementara. Tapi entah kenapa, saya merasa ragu. Ternyata dugaan saya benar, setelah operasi kanker dilakukan tujuh bulan kemudian, dokter memberitahu, jalur lama terpaksa ditutup permanen. Stoma bukan lagi jembatan sementara, melainkan menjadi bagian tetap dari hidup Yuni.

Yuni Ternyata Lebih Kuat

Hari-hari pertama pasca kolostomi terasa menegangkan. Bukan karena kondisi Yuni, tapi karena kecemasan saya sendiri. Yuni terlihat santai. Tapi justru sempat membuat saya kuwatir, dia menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Sampai beberapa hari kemudian, saya senewen sendiri, menunggu, kapan bom waktu itu akan meledak.

Alhamdulillah, tidak terjadi apa-apa. Yuni tetap santai. Tetap ceria seperti sebelumnya. Bahkan sangat antusias memberi penjelasan tentang kantongnya, seperti sedang promosi gadget baru.

Hari ini sudah dua tahun lebih Yuni mengenakan kantong. Aktifitasnya sudah kembali seperti sebelum covid. Motoran, jalan-jalan, bercocok-tanam, nyapu, ngepel, semua dikerjakan tanpa halangan. Tidak ada cerita tercium bau aneh, cairan rembes atau kantong bocor. Hanya ada satu perubahan – seperti kata Imah dulu, bunyi kentut tidak bisa disensor. Kadang terdengar nyaring, kadang hanya berdesis campur sedikit suara plupuk plupuk, kadang agak horor. Bagusnya, Yuni bisa santai menerima kebiasaan baru itu.

Meskipun sekarang semua baik-baik saja, tapi sekitar setahun pertama Yuni sempat enggan pergi jauh. Untuk menguras isi dan membersihkan kantong, dia membutuhkan closet duduk. Sekedar jongkok saja sudah cukup repot, keganjel kantong. Apalagi kalau harus mengeluarkan isi dan bersih-bersih di WC umum yang kebanyakan masih pakai kloset jongkok.

Dulu, ketika perawat memberitahu, kantong bisa digunakan 2 sampai 3 hari, saya sempat tidak setuju. Tas kresek bekas makanan basi saja susah dibersihkan, apalagi kantong yang menampung kotoran perut.

Ternyata kantongnya memang ada banyak macam. Ada yang hanya sekali pakai, ada pula yang bisa digunakan sampai 3 hari. Yang sekali pakai lebih praktis, tinggal dibuang bareng kotoran. Tapi, karena istri saya merasa lebih nyaman dengan yang bisa dipakai ulang sampai 3 hari – meskipun harus ribet bersih-bersih. Saya ngikut saja.

Perjalanan panjang ini mengajarkan banyak hal. Bukan hanya tentang kanker, kolostomi, atau manajemen kantong medis—tapi tentang kekuatan jiwa yang tak terlihat oleh mata. Yuni bukan sekadar survive. Ia berhasil berdamai dengan perubahan radikal dalam tubuhnya. Tidak membiarkan stoma mendefinisikan siapa dirinya. Justru, ia menunjukkan bahwa keindahan hidup tak terletak pada kesempurnaan fisik, melainkan pada kemampuan hati untuk menerima, menyesuaikan, dan terus melangkah.

28 September 2025

Menaklukkan Kemalasan dan Keraguan

 


Kamar di bagian belakang rumah, tempat saya dulu menjalani karantina covid mandiri, sekarang berubah menjadi gudang yang berantakan. Saya tidak ingat lagi kapan mulai seperti itu. Mungkin sejak istri saya di rawat di rumah-sakit.

Mumet mikir kondisi istri, capek setahun lebih mondar-mandir ke rumah-sakit, bercampur dengan bibit malas yang mendapat alasan untuk tumbuh, menyebabkan saya merasa baik-baik saja, bahkan setelah kekacauan itu merembet ke luar kamar. Sering muncul keinginan untuk menata ulang, tapi niatan itu tidak pernah saya laksanakan.

Saya tidak bisa menyalahkan istri atau anak. Selain sejak dulu beres-beres rumah adalah tanggung-jawab saya, mereka justru selalu berusaha membereskan, tapi aura malas, ceroboh dan seenak udel saya lebih dominan, sehingga keadaan selalu kembali berantakan.

Dalam program menata diri yang sedang saya jalani, sepertinya ada sudut kecil di otak saya yang belum tersentuh. Diantara perjalanan yang mulai lancar, tersisa beberapa sisi yang masih berusaha mempertahankan “selera asal”. Terlihat jelas dari meja kerja saya yang selalu kembali berantakan hanya beberapa saat setelah dirapikan.

Suatu hari istri saya usul ngecat ulang tembok kamar itu. Spontan otak saya memberi reaksi, “Temboknya masih kelihatan bersih, kenapa harus dicat ulang?”. Tapi pikiran waras saya justru melihatnya sebagai tantangan halus—bukan sekadar mengecat kamar, melainkan menangani sudut kecil di otak yang selama ini saya abaikan.

Seperti biasa, langsung terjadi perdebatan sengit di kepala. “Nanti akan merembet menjadi bongkar-bongkar seisi rumah. Meskipun kamu bisa menyuruh orang, tetap saja akan kebagian capek. Kondisi fisikmu tidak seperti dulu lagi. Kamu butuh banyak istirahat.”

Peringatan yang sangat masuk akal. Setiap hari sepulang kantor, sekedar menahan tidak rebahan saja butuh usaha keras. Apa jadinya kalau masih harus ikut beres-beres rumah? Masalahnya, kalau tidak dikerjakan sekarang, mau kapan lagi?

Seseorang pernah berkata, manakala diri sendiri mulai tidak yakin, saat itu saya sedang berada di titik kritis. Semakin kuat saya berusaha meyakinkan diri sendiri, justru membuat peluang berhasil semakin tipis. Sementara kalau jalan terus sambil membawa keraguan, sama saja mengaku sudah kalah sebelum mulai.

Untuk sesaat saya merasa sedang jadi rebutan antara dua kutub yang saling berlawanan. Antara jalan terus, mengikuti keinginan atau menerima kenyataan kalau saya memang tidak akan mampu.

Atau, mungkin ada pilihan lain, jalan terus tanpa perduli apapun bisikan di kepala?

Akhirnya saya memilih setuju saran istri, sambil tidak perduli pada apapun suara yang kemudian muncul. Tidak memberi perhatian pada peringatan yang menjadi semakin gencar, tidak juga perduli pada suara penyemangat yang merasa mendapat angin.

Urusan ngecat dikerjakan oleh tukang. Saya kebagian bersih-bersih dan menata ulang isi kamar. Sepulang dari kantor, tanpa mikir lagi, setelah ganti baju, langsung mulai beres-beres.

Sore pertama saya hanya mampu bertahan sekitar 1 jam. Terpaksa berhenti ketika pinggang dan kaki mulai kram. Jam 8 malam sempat saya coba melanjutkan, tapi hanya kuat beberapa menit sebelum kramnya kambuh.

Sore kedua saya mulai dengan cara sedikit beda. Saya tidak pasang target seperti sebelumnya. Saya tidak lagi perduli apakan pekerjaan ini akan rampung seminggu atau setahun. Ketika capek dan pegel terasa mulai mengganggu, saya segera istirahat, sekedar minum, ngemil atau nonton Youtube. Ternyata saya mampu bertahan sampai jam 8 malam tanpa kram. Pegel dan capek juga hanya seperti biasa. Lumayan mengganggu, tapi tidak protes

Peringatan otak saya beneran terjadi. Hari ke tiga, setelah kamar rapi, giliran ruang lain dibuat berantakan. Saya sendiri yang kemudian pengin seluruh rumah di cat ulang. Artinya saya tidak hanya berurusan dengan rak buku, lemari kecil dan container plastik. Ada beberapa lemari kayu yang besar dan berat yang harus digeser atau dipindah.

Peringatan peringatan lain bermunculan. Lebih sering dan bersuara lebih keras. Mirip banjir bandang, melanda kepala, nyaris tanpa henti. Saya tahu, sebagian besar peringatan itu benar, tapi saya biarkan berlalu begitu saja.

Saya juga tidak perduli ketika kemudian muncul tantangan keras, “Oke, kita lihat bagaimana caramu menangani lemari-lemari itu!”.

Tidak perduli bukan berarti mengabaikan. Lemari lemari itu membawa resiko yang nyata. Kesulitan yang bakal saya hadapi tidak bisa diselesaikan hanya dengan menganggapnya tidak ada. Tidak juga  melalui afirmasi, meyakinkan diri, “Pasti bisa”. Tantangan itu saya terima sebagai peringatan, tapi tidak saya tanggapi. Seperti berada di aliran sungai, saya hanya perlu menghindar setiap kali ada batang kayu atau sampah melaju ke arah saya, sambil tetap waspada terhadap resiko selanjutnya.

Tentu saja saya tidak akan menyuruh anak dan istri ikut ngangkat dan mendorong lemari. Saya hanya minta dibantu memasang roda-roda kecil di bawah kaki lemari. Saya juga tidak perlu buang tenaga ngangkat lemari sendiri. Saya menggunakan tuas sekedar untuk membuat satu demi satu kaki lemari sedikit terangkat. Tuas dan roda-roda itu awalnya tidak pernah terpikirkan. Fotonya muncul begitu saja di layar HP saat saya sedang istirahat sambil nonton Youtube.

Saya rasa, kalau kita mengerjakan sesuatu dengan kondisi pikiran santai, tidak membiarkan target menjadi beban, tidak membiarkan pikiran tersandera oleh rasa kuwatir, tubuh akan memberi toleransi melebihi kemampuan  yang semula kita anggap sebagai batas. Otak pun bekerja lebih kreatif, menghadirkan solusi yang sebelumnya bahkan tidak terpikirkan.

Kadang hidup mirip kamar yang berantakan. Kita menunda-nunda menyelesaikan masalah, berdebat dengan diri sendiri, sampai akhirnya sadar, tidak ada waktu yang benar-benar “tepat.” Yang perlu dilakukan hanya segera mulai, dan biarkan segala sesuatu mengalir dengan sendirinya. 


HOME

23 September 2025

Bukti Potong PPh Bukan Sekadar Formalitas

Penghasilanmu sebagai pekerja lepas, content creator, pedagang di online shop, tukang service, dipotong pajak? Jangan lupa MINTA BUKTI POTONGNYA

Seorang driver freelance mengeluh, sekarang honornya dipotong pajak tapi dia tidak tahu, apakah duitnya beneran disetor atau ditilep kasir. "Nilainya enggak seberapa, tapi kalau yang dipotong banyak, kan jadi lumayan."

"Memangnya kamu tidak diberi bukti potong?"

Dia menyodorkan selembar kertas lusuh, lecek dan sebagian lipatannya langsung sobek saat saya buka. "Ada, tapi bisa saja cuma formalitas. Asli apa palsu, enggak bisa dibuktikan."

Saya sempat jengkel. Kebayang seandainya staf keuangan saya dituduh menilep duit pajak pegawai lepas.

Dengan sedikit "ngegas", saya memberitahu, bukti potong yang dia terima itu sah, bukan sekadar formalitas macam kuitansi fiktif.

Mulai Januari 2025, setiap kali melakukan pembayaran upah kepada pegawai tidak tetap, pekerja lepas, maupun bukan pegawai, berapa pun nominal yang dibayarkan, Badan Usaha wajib membuat bukti potong dan melaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak melalui SPT masa.

Setiap penerima upah, berapa pun nominalnya, penghasilannya dipotong pajak atau tidak, berhak mendapatkan bukti potong. Pihak pemberi upah WAJIB menyerahkan. Bukti potong itu merupakan bukti sah bagi penerima penghasilan, bahwa upah yang berkaitan dengan bukti itu sudah tidak lagi terutang PPh.

Apabila penerima upah sudah memiliki NPWP, bukti itu sebaiknya disimpan dan dirawat. Meskipun kelak pelaporan SPT tahunan melalui Coretax tidak lagi membutuhkan lampiran bukti potong, setidaknya bisa digunakan sebagai pedoman untuk menghitung PPh akhir tahun sebelum daftar seluruh bukti potong di Coretax terbit.


22 September 2025

Ternyata Penghasilan Kecil dari Youtube Juga Bisa Kena Pajak

Gara-gara di postingan sebelumnya saya menulis “Content Creator dengan penghasilan 40 juta bisa tidak dikenakan pajak”, menjelang magrib salah satu teman hunting foto telepon, protes, penghasilan anaknya baru 18,6 juta lebih sedikit, tapi setelah dilaporkan membuat SPT tahunan yang sebelumnya NIHIL menjadi kurang bayar Rp 465 ribu – artinya, penghasilan dari Youtube menyebabkan anaknya ditagih pajak Rp 465 ribu.

Sebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya kita samakan terlebih dahulu pemahaman tentang “penghasilan” menurut pajak:

Dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 yang mengubah Pasal 4 UU PPh disebutkan bahwa penghasilan adalah setiaptambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Anak teman saya sudah menikah, punya 2 anak. Selain menjadi Youtuber, dia bekerja sebagai karyawan pabrik.

Mari kita urai, mengapa “gaji” ngonten yang hanya 18,6 juta bisa kena pajak:

  1.  Secara pajak, penghasilan anak teman saya bukan lagi 18,6 juta, melainkan seluruh     penghasilan netto yang diterima dari pabrik DITAMBAH PANGHASILAN NETTO dari Youtube.
  2. Merujuk PER-17/PJ/2015, profesi Youtuber dikategorikan sebagai pekerjaan bebas yang tercatat dalam Kelompok Lapangan Usaha (KLU) Kegiatan Pekerja Seni dengan kode 90002. Tarif Normanya 50% dari penghasilan Brutto. Dari “gaji” 18,6 jt, penghasilan nettonya = 50% x 18,6 jt = 9,3 jt
  3. Total penghasilan netto = Penghasilan netto dari pabrik + 9,3 jt. Di dapat hasil akhir 93,7 jt.
  4. Pajak tidak dihitung dari penghasilan netto, melainkan dari PENGHASILAN KENA PAJAK (PKP). Rumus hitungannya: PKP = Penghasilan netto – PTKP
  5. PTKP Wajib Pajak yang menikah dengan tanggungan 2 anak = 54 jt (PTKP diri sendiri) + 4,5 (PTKP istri) + 2x4,5 (PTKP 2 anak) = 67,5 jt. Setelah PTKP dikurangkan, PKPnya = 26,2 jt, dengan rincian 16,9 juta berasal dari gaji di pabrik, 9,3 jt dari Youtube.
  6.  Dengan PKP <60 jt, dia kena tarif PPh 5%. Sehingga pajak terhutangnya = 5% x 26,2 jt =  1,31 jt
  7.  Sebagai pegawai tetap, tiap bulan gajinya dipotong pajak. Potongan itu dianggap sebagai cicilan, digunakan sebagai pengurang terhadap seluruh pajak gaji yang terhutang di akhir tahun. Orang yang menerima gaji tetap – berapapun jumlahnya, SELAMA TIDAK MEMILIKI PENGHASILAN LAIN, pada akhir tahun TIDAK LAGI PUNYA HUTANG PAJAK. Status SPTnya selalu NIHIL, alias NOL rupiah.
  8. Pajak gaji sudah lunas. Tapi PKP sebesar 9,3 jt dari ngonten masih terhutang pajak, sebesar 5% x 9,3 jt = 465 ribu. Karena hutang pajak ngonten belum dilunasi, status SPT yang semula NIHIL berubah menjadi KURANG BAYAR sebesar 465 ribu.

Bagaimana seandainya istri yang jadi content creator? Sama saja, penghasilan netto dari ngonten ditambahkan ke penghasilan netto suami. Hitungan selanjutnya, sama.


21 September 2025

Content Creator Bukan UMKM


 

Setiapkali ditanya, apakah content creator bisa menggunakan tarif pajak UMKM, 0,5% kali omset? Selalu saya jawab TIDAK. Content creator bukan pengusaha yang “menjual jasa”, melainkan orang yang bekerja dengan memanfaatkan keahliannya membuat content.

Secara umum pajak menggolongkan penerima penghasilan menjadi 4: Investor, pengusaha, pekerja bebas, dan pegawai / karyawan.

Seorang content creator yang bekerja terikat pada sebuah perusahaan dan menerima penghasilan tetap, secara pajak dia memiliki status sebagai karyawan. Pajak penghasilannya dihitung mengikuti aturan PPh pegawai tetap. 

Sementara kalau dia bekerja secara mandiri, dan menawarkan hasil karyanya pada pihak lain, entah perusahaan iklan, Youtube, atau FBPro, dan hanya menerima imbalan ketika hasil karyanya “laku”, merujuk PER-17/PJ/2015, profesi Youtuber dikategorikan sebagai pekerjaan bebas yang tercatat dalam Kelompok Lapangan Usaha (KLU) Kegiatan Pekerja Seni dengan kode 90002. Tarif Normanya 50% dari penghasilan Brutto.

Pajak penghasilannya sebagai pekerja bebas dihitung menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN).

Kalau ingin hitungan pajaknya “fair” dan sesuai dengan “laba bersih”, bahkan punya kesempatan memanfaatkan fasilitas pajak UMKM dengan tarif 0,5% omset, content creator bisa mengubah statusnya menjadi pengusaha, dengan cara mendirikan perusahaan, menggunakan ijin CV. Pajak lebih rendah, tapi kerja jadi lebih ribet, karena CV WAJIB MELAKSANAKAN PEMBUKUAN.

Jangan ngegas dulu. Meskipun kena tarif 50%, BELUM TENTU HARUS BAYAR PAJAK.

Seandainya sebagai creator pemula kamu menerima penghasilan 40 huta setahun, maka hitungan pajaknya seperti berikut ini:

1. Penghasilan Brutto      = 40 juta
2. Penghasilan Netto       = 50% x 40 jt = 20 jt
3. Penghasilan Kena Pajak (PKP) = 20jt – PTKP

Untuk creator laki-laki lajang atau wanita (meskipun sudah menikah tetap dianggap lajang) yang tidak memiliki tanggungan (misal menanggung biaya hidup orang tua), PTKPnya untuk saat ini sebesar 54jt. Maka setelah penghasilan Netto dikurangi PTKP, Penghasilan Kena Pajaknya (PKP) ketemu minus. Alias dianggap tidak punya PKP. Sehingga pajak yang harus dibayar menjadi 0 x 5% (tarif pajak untuk PKP 0 sampai 60jt) = Rp 0, alias TIDAK PERLU BAYAR PAJAK.

Tapi, kalau penghasilanmu setahun 1M misalnya, dan kamu berstatus menikah dengan 2 anak, hitungan pajaknya agak ngeri ngeri sedap:

1. Penghasilan Brutto      = 1m
2. Penghasilan Netto       = 500jt
3. PTKP menikah dengan 2 anak = 54jt + 4,5jt (PTKP istri) + (2x4,5) = 67,5 jt
4. PKP = 500jt – 67,5 jt = 432,5 jt

Pajak terhutangnya:

1. PKP 0-60 jt                    = 5% x 60 jt         = 3 jt
2. PKP >60-250 jt              = 15% x 190 jt    = 28,5 jt
3. PKP >250-432,4 jt           = 25% x 182,5 jt    = 45,625 jt

Total pajak yang harus dibayar = 77,125 jt.

20 September 2025

Pajak Content Creator: Bukan Pajak Baru

 


Seorang content creator mengeluh, karena mulai 2026 penghasilan dari FBPro akan dikenai pajak.

Sebenarnya, pernyataan Sri Mulyani tentang rencana mengenakan PPh terhadap content creator hanya merupakan penegasan semata. Sebagai pengingat bahwa penghasilan dari dunia maya, juga merupakan obyek pajak.

Sebelum keburu ada yang ngegas, mari kita bahas dulu ketentuan bakunya.

Pada dasarnya, setiap orang pribadi yang lahir, berada atau berminat tinggal di Indonesia, memiliki kewajiban pajak dimulai saat orang pribadi tersebut menerima dan memperoleh penghasilan, hingga orang tersebut meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya (Kalau mau lengkap, silakan baca langsung di UU Pajak Penghasilan 1984).

Menurut ketentuan itu, tidak perduli penghasilannya berasal dari gaji sebagai karyawan kantoran, honor menyanyi, upah sebagai tukang kebun, imbalan dari praktek dokter, atau “gaji” content creator, selama menambah kemampuan ekonomi, dianggap sebagai obyek pajak. Maka penerimanya WAJIB PUNYA NPWP dan WAJIB MELAPORKAN penghasilannya.

Tapi, meskipun sudah memiliki NPWP dan wajib lapor, TIDAK SEMUA HARUS BAYAR PAJAK.

Sekarang kita bahas realitanya:

Sampai hari ini, tidak sedikit orang-orang yang sudah masuk kategori kaya, masih bisa leluasa menikmati penghasilannya yang kadang super gede, meskipun tidak memiliki NPWP. Ada kesan seolah dibiarkan oleh pemerintah. Sehingga membuat orang awam beranggapan, hanya orang tertentu saja ( ASN, karyawan dengan gaji di atas PTKP dan pengusaha besar) yang wajib punya NPWP. Selain dari kelompok itu, boleh tidak perduli urusan pajak.

Maka ketika pemerintah mulai tegas terhadap UMKM, banyak pengusaha yang merasa “kecil” karena hanya berdagang di kaki-lima, menjadi kaget.

Menjelang laporan SPT massa Januari 2025, tidak sedikit teman-teman saya yang berprofesi sebagai tukang kebun, tukan service AC, driver lepas, kaget. Pada saat menerima upah sebagai pekerja lepas, mereka ditanya NIK. Ada yang upahnya dipotong pajak, tapi ada pula yang tidak.   

Pertengahan 2025, giliran pedagang onlinedibuat heboh – hasil penjualan di market place akan dipotong PPh final. Horegnya belum reda, menyusul conten creator dibuat kaget pula – mulai tahun 2026 penghasilannya akan dikenakan pajak.

Kalau pajak baru akan dikenakan mulai tahun depan, apakah tahun ini dan sebelumnya masih bebas pajak?

Kalau mengacu pada UU Pajak Penghasilan tahun 1984, mestinya sudah terhutang pajak. Penegasan diberikan supaya para creator yang sebelumnya tidak tahu bahwa penghasilannya rupakan obyek pajak, punya cukup waktu untuk belajar pajak.

Apakah selama ini ada creator yang sudah bayar pajak?

Sejak Program Pengungkapan Sukarela berakhir bulan Juni 2022, saya membantu beberapa teman menghitung PPh atas penghasilan yang mereka peroleh dari Youtube. Pajaknya lumayan gede, karena dihitung menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN).

Apakah tidak bisa dihitung menggunakan tarif PPh UMKM yang 0,5%?

Untuk sementara saya jawab, TIDAK. Penjelasannya akan saya bahas pada postingan berikutnya.

28 Mei 2025

Kenapa Blog Ini Ada?


Meskipun blog-blog yang saya buat hampir seluruhnya berantakan, meskipun tulisan saya hanya seputar  perkara remeh, saya tetep ngotot ngeblog. Ketika blog rusak, tidak bisa diperbaiki (lebih tepatnya saya tidak mampu memperbaiki), ya bikin baru lagi. Pokoknya selagi Blogger dan mbah Gugel tidak ngusir saya, cuek saja.

Tapi sebelum saya lanjut nulis ngalor ngidul, saya ucapkan selamat datang, terimakasih sudah bersedia mampir.

Entah Anda nyasar, mendapat kiriman link dari teman, atau sedanggabut dan klik blog ini tanpa alasan jelas—pokoknya terima kasih.

Jadi, kenapa blog ini ada?

Sederhana saja, karena saya membutuhkan tempat untuk bercerita. Di umur lewat 60 macam saya, sudah sulit bersosialisasi, karena badan sering ogah diajak dolan. Sehingga saya memrelukan media alternatif sekedar untuk menyalurkan kegabutan.   

Kadang otak ini suka usil, apa saja dipikir. Mulai dari “Kenapa tukang bakso baru lewat pas saya sedang makan?” sampai “Kenapa saya suka ingat hal-hal memalukan yang terjadi 30 tahun lalu?” Kalau dipendem semua, lama-lama bisa meledak.

Maka lahirlah blog ini:  yang saya olah supaya lumayan enak dibaca.
Syukur-syukur bisa bikin orang lain yang membaca tersenyum, atau minimal mikir, “Ternyata, bukan cuma aku yang seperti itu.”


Apa yang bisa Anda temukan di sini?

  • Cerita sehari-hari yng biasa aja, tapi disampaikan seolah-olah kejadian dramatis.
  • Hal-hal absurd yang sering terjadi tapi jarang dibahas, macam bingung saat di minimarket atau salah memanggil orang.
  • Curhatan ringan yang level dramanya masih jauh di bawah sinetron tapi cukup untuk diolah sebagai konten.

Dan pastinya,  tidak terlalu serius. Selain memang tidak bisa nulis secara serius,  saya percaya: hidup ini sudah cukup menantang, jangan ditambah nulis yang berat-berat.


Apa yang tidak akan Anda temukan di sini?

  • Motivasi hidup dari orang yang bangun subuh, meditasi, terus jogging 10 km.
    (Saya bisa bangun pagi saja sudah prestasi.)
  • Tips sukses dalam 7 hari - karena selama 60 tahun tidak ada sukses yang bisa saya capai dalam wktu singkat. Bahkan sekarang saya malah harus mengulang dari awal.
  • Curhatan galau.
    (Kecuali tiba-tiba saya punya hobby baru nonton drama Korea terus baper, tapi kemungkinannya kecil. Sejak 2018 seisi rumah tidak pernah nonton TV lagi. Ada TV lama, sengaja tidak dipasang STB)

Kesimpulannya:
Blog ini bukan tempat mencari pencerahan hidup, tapi tempat  mampir dan ngerasa,
“Oh, ternyata hidup orang lain juga nggak jauh beda.”

Kalau Anda suka bacaan ringan, kadang receh dan kadang tidak penting, blog ini semoga cocok.

Terima kasih sudah membaca sampai sini. Jangan lupa mampir lagi. Siapa tahu di postingan selanjutnya membawa banyak manfaat.


26 Mei 2025

Bertani, Memotret, dan Menikmati Hidup

Halo, nama saya Djati Widodo.


Ketika masih kinclong

Nama saya masih ditulis menggunakan ejaan lama karena saya memang produk jadul. Lahir tahun 1962, jadi ketika tulisan ini dibuat, umur saya sudah menjelang 64. Perasaan belum tua, ternyata sudah memenuhi syarat menjadi anggota Pos Yandu Lansia.

Saya masih aktif bekerja sebagai wiraswasta, mengelola rental mobil yang saya dirikan bersama teman-teman sejak tahun 2002. Belum pensiun. Selain karena penghasilan masih penting, pengalaman mengurung diri seminggu dirumah, mematuhi peraturan pemerintah saat Covid, membuat otak kopong. Jadi, bekerja bukan hanya soal uang, tapi juga menjaga supaya pikiran tetap waras.

Kadang orang bertanya, kapan saya akan punya waktu untuk menikmati hasil kerja? Jawaban saya sederhana, sejak awal saya sudah menikmati, tidak perlu menunggu pensiun. Kalau harus menunggu pensiun, bagaimana seandainya kesempatan saya bernafas mendadak dihentikan selagi masih muda? Hidup ini perjalanan yang harus dinikmati di setiap langkahnya. Tak perlu nunggu besok atau lusa, apalagi sampai pensiun.

Sejak 2014, saya dan istri yang memang hobi bercocok tanam mulai belajar bertani. Karena saya malas nyangkul dan kurang suka berpanas-panas, saya memilih hidroponik. 


sempat  jadi petani tapi malah baper gara-gara ulat

Selain menambah penghasilan, saya juga mendapat banyak teman. Bukan hanya teman bisnis, tapi teman dari berbagai penjuru tanah-air yang sering ngumpul bareng dalam acara family gathering.

Sayangnya, pada pertengahan 2022, saya terpaksa berhenti bertani. Bukan karena bosan apalagi bangkrut, tapi karena saya tidak tega terus-terusan jadi jagal kupu-kupu, ulat, dan belalang yang mampir di kebun. Silakan anggap saya aneh atau, seperti kata beberapa teman, baperan. Tapi begitulah kenyataannya.

Semua bermula dari 2015, ketika saya harus membuka tutup samping greenhouse karena suhu di dalam terlalu tinggi. Beberapa hari setelah perangkap serangga yang saya pasang terisi penuh, saya merasa diantara mereka, sambil sekarat, seolah bertanya, kami hanya mencari makan, kenapa dibunuh?

Saya sempat konsultasi ke psikolog, yang malah bertanya balik, “Kenapa Bapak tega makan daging?”

Karena daging-daging itu sudah tersedia, dan bukan saya yang menyebabkan binatangnya dibunuh. Saya hanya memanfaatkan yang sudah ada. Kalau tidak saya makan, sudah pasti akan dimakan orang lain, atau bisa jadi hanya berakhir di keranjang sampah. Saya tahu, itu adalah alasan yang absurd, tapi bagi otak saya, memang seperti itu adanya.


Ngumpul bareng teman-teman

Beberapa tahun saya mencoba memberi pemahaman pada diri sendiri bahwa membunuh hama bukan tindakan salah. Mereka mengganggu, memang layak dibunuh. Ternyata tidak pernah berhasil. Akhirnya, saya terpaksa menyerah. Pada pertengahan 2022, saya memutuskan menutup lahan hidroponik.

Selain bertani, saya juga punya beberapa hobi, tapi yang paling saya tekuni adalah fotografi. Saya menyukai tantangannya. Dulu, saat masih memakai kamera analog, saya harus benar-benar cermat sebelum menekan tombol shutter. Komposisi, kecepatan rana, dan bukaan lensa harus diperhitungkan, karena setelah tombol shutter ditekan, tidak ada lagi yang bisa diubah. Tidak seperti sekarang, kartu memori bisa dihapus, foto bisa diedit. Seribu kali melakukan kesalahnpun tidak akan membuat anggaran belanja tekor. 

Sekarang saya juga menggunakan kamera digital, tapi kebiasaan lama tetap saya pertahankan, tidak sembarangan menekan tombol shutter.


Menjadi tua bukan halangan untuk menikmati setiap langkah dalam hidup ini. Umur juga bukan alasan untuk berhenti berkarya, terus belajar, dan terus menikmati perjalanan.



Ngoprek HTML, Browser Ngambek: Drama Blog Saya


Berulang kali terjadi, blog saya tiba-tiba tidak dikenali oleh browser. Awalnya saya cuma bisa bengong, bingung, lalu menyerah. Biasanya langsung bikin blog baru, mulai lagi dari awal.

Tapi sejak saya mulai belajar sedikit tentang HTML, meta tag, dan SEO — entah ada hubungannya atau tidak dengan nasib sial blog-blog saya sebelumnya — blog terakhir saya, DjatiWidodo.My.Id, bertahan cukup lama.

Blog itu aslinya adalah blog pertama yang saya buat tahun 2008, dan langsung mangkrak.  Waktu itu saya ngeblog hanya ikut-ikutan, jadi ya gampang bosan dan akhirnya dibiarkan begitu saja.

Pada 7 Mei 2025, kejadian apes  terulang. Blog saya tiba-tiba tidak bisa dibuka di Chrome. Tapi kali ini, alasannya jelas: Chrome menandai blog saya sebagai laman berbahaya.

Saya sempat panik, tapi kemudian ingat, sebelumnya saya memang sempat "iseng" ngoprek HTML-nya dan mencoba bikin postingan langsung dengan kode HTML. Kemungkinan besar biang keroknya dari situ.

Harus saya akui, pengetahuan saya soal HTML memang masih sangat terbatas. Akibatnya, blog saya dianggap mencurigakan oleh browser.

Saya sudah minta bantuan teman-teman untuk memulihkan blog itu, tapi sampai lebih dari seminggu, Chrome tetap belum bersedia memafkan.

Kebetulan, di akun Blogspot masih ada blog lama "Ojo Lali Ambegan" yang juga terbengkelai. Akhirnya, saya memutuskan untuk boyongan ke blog itu.

Dan inilah, mulai pertengahan Mei 2025, blog ini  hidup kembali. Semoga  bisa bertahan lebih lama.


HOME


14 Februari 2025

Belajar Bersama di Balik Lensa


Hunting foto kali ini terasa lebih istimewa, karena saya melangkah bersama anak semata wayang. Lokasi yang kami pilih pun bukan tempat biasa: Candi Prambanan, saksi bisu perjalanan sejarah, kini menjadi latar cerita kecil keluarga kami.

Di sela-sela batu dan pepohonan, kami sibuk dengan kamera masing-masing. Bukan soal siapa yang lebih hebat, tapi tentang menikmati momen, berbagi pandangan, dan menemukan sudut indah dari cara yang berbeda.

Mungkin inilah salah satu cara sederhana untuk merajut kebersamaan: duduk berdampingan, membidik dunia lewat lensa, lalu belajar melihat kehidupan dari mata anak dan orang tua sekaligus.

13 Februari 2025

Kalitalang: Menyusuri Jejak Merapi dan Pikiran Sendiri

 

Jalan kecil menuju Kalitalang

Saat kamera saya sedang membidik Merapi, seorang pencari rumput yang kebetulan lewat memberitahu lokasi motret yang lebih dekat gunung dengan pemandangan lebih indah. Setelah saya lihat di map Google, jaraknya hanya kurang dari 9 km dari posisi saya saat itu—sangat dekat dibanding 30-an km yang baru saja saya tempuh. Kebetulan, Merapi sedang cerah.

Tempat itu bernama Kalitalang. Berada di wilayah Klaten, Jawatengah.  Saya nyaris terlambat tiba di sana. Beberapa menit kemudian seluruh badan Merapi diselimuti awan. Tapi saya sempat mengambil beberapa jeretan, meski hasilnya tidak bisa dibilang bagus.

Sejak pertama kali melihat puncak Merapi dari Kalitalang, saya jadi terobsesi. Sejak saat itu, hampir setiap dua atau tiga hari sekali saya berangkat pagi-pagi ke sana. Namun, lebih sering pulang tanpa hasil. Kadang baru jalan beberapa kilometer dari rumah, gunung yang semula terlihat cerah sudah tidak nampak lagi. Sembunyi di balik awan. Tapi lebih sering, saat saya sudah dekat,  bagian puncak yang menjadi target saya, tertutup awan dan tak pernah terlihat lagi sepanjang hari.

Berangkat lebih pagi ternyata tidak menjamin bisa ketemu Merapi dalam keadaan cerah. Ada kalanya sesampai di Kalitalang, kabut masih tebal. Saya menunggu lama, tetap saja gunung tak terlihat. Ironisnya, ketika saya sudah hampir sampai rumah, di kejauhan Merapi malah terlihat cerah. Pernah saya nekad putar balik, tapi cerah itu tidak bertahan lama. Saya baru menempuh beberapa kilometer, Merapi kembali sembunyi.

Suatu pagi, saat sedang menyapu halaman—tanpa niat sedikit pun untuk memotret—tiba-tiba muncul dorongan kuat untuk pergi. Tanpa mandi, tanpa sarapan, bahkan dengan baterai kamera yang baru terisi kurang dari 50%, saya langsung tancap gas ke Kalitalang. Saya tetap nekad menuju Merapi meskipun dari sawah sebelah utara rumah gunungnya sama sekali tidak terlihat, dan saya tetap melanjutkan perjalanan meskipun setelah menempuh lebih dari separo perjalanan, Merapi masih sembunyi.

Sepertinya saya memang diundang. Ketika saya tiba di Kalitalang, Cuaca yang semula redup, berangsur menjadi cerah. Langit dominan biru hanya dengan sedikit awan. Merapi juga terlihat sangat jelas, seolah sedang menunggu saya.

Layaknya bocah nemu mainan baru, saya menjelajahi seluruh penjuru Kalitalang. Motret, duduk bengong, rebahan, sambil menikmati kicau burung. Saat itu Kalitalang masih sepi. Sampai jam 9, ketika perut mulai protes, saya hanya ketemu pencari rumput. Di tempat parkir hanya ada satu motor.

Sejak saat itu saya semakin sering ke Kalitalang. Biasanya berangkat lepas subuh. Kadang mujur, setiba di sana pas Merapi cerah, kadang hanya ketemu kabut. Tapi tujuan saya memang tidak semata-mata untuk motret. Entah kenapa, saya suka berada dekat Merapi, meskipun saya pernah sampai terbirit birit ketika Merapi mendadak erupsi. Padahal, dampak erupsi freatik paling jauh hanya 2 km, sementara jarak dari Kalitalang menuju puncak lebih dari 5 km.

Kalitalang juga pernah menjadi tempat pelarian saya di masa-masa sulit. Selama setahun lebih mendampingi istri menjalani perawatan kanker, saya pernah sampai pada titik suntuk berat. Suatu malam, sepulang dari rumah sakit, pikiran saya kosong. Bingung, tidak tahu harus bagaimana, alih-alih pulang, saya menuju Kalitalang. Jangankan dingin dan gelap, entah nemu nyali di mana, resiko ketemu setanpun saya abaikan. Padahal seandainya waras, jangankan tengah malam, lewat magribpun saya tidak akan berani sendirian di sana.

Saya duduk lumayan lama, nyender di pohon, menghadap Merapi yang terlihat samar di keremangan malam. Beberapa kali sempat terlelap, terbangun dengan jantung berdebar. Anehnya, justru pikiran saya mulai tenang.  Menjelang pagi suasana horornya baru terasa. Perjalanan sejauh 300an meter menuju tempat parkir terasa seperti ekspedisi paling mencekam, padahal tidak terjadi apa-apa selain teror yang diciptakan pikiran saya sendiri.

Kalitalang bagi saya bukan sekadar tempat berburu foto Merapi, tapi juga menjadi ruang hening, tempat saya belajar menunggu, menerima ketidakpastian, dan berdamai dengan diri sendiri. Kadang Merapi terlihat jelas, kadang hanya ada kabut. Sama halnya dengan hidup—ada kalanya terang, ada kalanya samar.

06 Februari 2025

Berdamai dengan Rasa Kuwatir


Sejak beberapa bulan lalu saya meluangkan sedikit waktu untuk berusaha mengenali diri sendiri. Entah mengapa, saya merasa, kehidupan yang seru ini sebagian disebabkan karena saya tidak mengenali hardware dan software yang melengkapi hidup saya, sehingga saya cenderung asal-asalan dalam “mengoperasikannya”.

Karena tidak tahu harus mulai dari mana, saya awali saja dengan mengamati kondisi fisik yang gampang ngantuk, gampang lelah dan selalu pegel sepanjang hari. Tanpa mengabaikan pengaruh dari kadar Trigliserida, Asam Urat dan Kolesterol dalam darah yang di luar batas normal, saya merasa ada faktor lain yang ikut berperan. 

Secara gampang saya bisa menunjuk faktor psikologis. Tapi bagian mana? Saya sempat menduga, mungkin akibat pikiran yang semrawut. Tapi sepertinya ada yang lebih spesifik.

Setelah perenungan yang panjang, akhirnya saya nemu biangnya: Saya sering merasa kuwatir tanpa alasan jelas, terhadap ketidak pastian, terhadap kemungkinan-kemungkinan buruk, terhadap resiko gagal.

Rasa kuwatir selalu datang tanpa permisi. Merayap dalam senyap, lalu membisikkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab dengan pasti: Apa yang akan terjadi nanti? Apakah aku cukup baik? Apakah orang-orang akan kecewa? Bagaimana jika semuanya berjalan salah?

Pertanyaan yang sekilas terasa sepele itu ternyata punya kekuatan luar biasa. Bahkan kalau tidak ditangani secara benar, bisa mengacaukan segalanya – termasuk aktifitas di dalam tubuh.

Lalu bagaimana cara mengatasinya?

Awalnya saya sempat melawan. Tapi tubuh punya mekanisme pertahanan diri yang kuat terhadap segala bentuk perlawanan, dan justru membuat keadaan menjadi semakin runyam dan menguras energi.

Sebenarnya rasa kuwatir tidak sepenuhnya buruk. Pada dasarnya merupakan alarm alami yang berfungsi sebagai peringatan bahwa ada resiko yang perlu diperhitungkan. Rasa kuwatir terhadap kesehatan mendorong saya untuk lebih perduli pada tubuh. Rasa kuwatir terhadap hubungan sosial membuat saya lebih peka terhadap perasaan orang lain.

Masalah muncul bukan dari rasa kuwatir itu sendiri, melainkan dari cara saya menanggapi. Ketika saya membiarkan rasa kuwatir menguasai pikiran, saat itulah kuwatir berubah dari penasehat menjadi penyandera.

Melawan hanya akan membuat penyandera menjadi lebih agresif. Maka saya memutuskan untuk berdamai. Menganggap rasa kuwatir bukan sebagai musuh, melainkan sebagai bagian dari perjalanan yang perlu didengar, bukan ditakuti.

Ketika otak mulai menyuarakan keraguan, saya berhenti sejenak untuk mengamati keadaan “saat ini”, lalu bertanya pada diri sendiri, apakah yang saya kuwatirkan itu sudah mulai terjadi, atau baru kemungkinan yang akan terjadi ketika saya mengambil langkah tertentu? Cara ini membantu saya membedakan antara ancaman yang nyata dan ilusi yang diciptakan oleh pikiran.

Ternyata saya pernah membuktikan bahwa rasa khawatir bisa ditangani dengan cara yang sehat.

Pandemi COVID-19 awalnya tidak sekadar membuat saya khawatir, tapi benar-benar menjerumuskan ke dalam ketakutan. Media sosial menyajikan berita menakutkan: orang ambruk tiba-tiba di jalan. Video Youtube menayangkan mayat-mayat tergeletak di mana-mana. Sementara pemerintah menetapkan 13 April 2020 sebagai hari bencana nonalam nasional.

Takut dan bingung mendorong otak saya membuat analisa sendiri, “kalau begini caranya, kita tidak mati akibat virus, tapi mati karena ketakutan.”

Di tengah rasa putus asa, sebuah kalimat dari film action yang sedang saya tonton menyentak kesadaran: “I won’t give up without a fight.” Entah kenapa, kalimat itu memantik sejumput semangat. Bukan untuk melawan pemerintah, apalagi virus covid, tapi melawan keadaan yang nyaris membuat saya menyerah.

Saya mulai mencari informasi yang lebih masuk akal. Dari berbagai penjelasan, suara Moh. Indro Cahyono terasa menenangkan. Saya tidak perduli meskipun banyak yang menganggap dia “hanya” dokter hewan yang sok-sokan membahas penyakit manusia. Selain dia memang virolog, penjelasannya tentang virus covid sangat detail, gamblang dan mudah dipahami. Itu lebih dari cukup untuk membuat saya lebih waras dalam menghadapi situasi.

Juni 2021 saya mengalami demam. Orang yang sehari sebelumnya bersama saya, juga mengalami gejala sama, dan langsung masuk karantina. Saya memilih karantina mandiri. Mengisolasi diri dari siapapun, termasuk anak dan istri. Saya tidur di kamar belakang yang terpisah dari rumah utama.

Demam tinggi, mual, sulit menelan, bahkan saat sulit bernafas, saya jalani sendiri.   Makan dan minum diletakkan jauh dari kamar, saya ambil sendiri, tidak perduli badan menggigil. Satu-satunya obat yang saya minum hanya paracetamol. Itupan saya batasi hanya 4 butir – karena saya tahu efek sampingnya terhadap ginjal.

Sekitar 2 minggu saya berjuang sendiri hanya dengan bekal keyakinan, imun tubuh saya akan mampu mengatasi. Bukan tanpa resiko, tapi keputusan itu membuat saya sadar satu hal: kuwatir tidak perlu dilawan dengan pertempuran, melainkan dihadapi dengan pemahaman, keberanian, dan kesediaan untuk berdamai.

Hidup tak akan pernah lepas dari ketidakpastian. Tapi menurut saya, justru di situlah serunya. Selama kita mau belajar berdamai dengan rasa kuwatir, kita bisa tetap melangkah, meski hati kadang masih ragu.


HOME

03 Februari 2025

AI, Asisten pribadi dan Teman Diskusi Yang Tidak Baperan

 

Ada masanya saya puas dengan hasil Googling. Tapi lama-lama, daftar link terasa hambar. Otak saya ingin ngobrol, bukan sekadar disuguhi alamat. Sayangnya, teman-teman saya lebih suka bahas politik, ekonomi, atau agama. Saya ingin yang lain, yang lebih luas, meskipun kadang sedikit nyleneh. Misalnya, apakah alien juga makan micin? Atau, apakah sel kanker bisa diajak kompromi?

Suatu saat, ketika bertanya melalui chrome, saya baru sadar, respon yang saya dapat tidak seperti sebelumnya. Ada ulasan singkat berkaitan dengan topik yang saya tanyakan, dengan judul di bagian atas, “AI Overview.”

Spontan jiwa kepo saya meronta. Lalu, seperti biasa, saya mengajukan pertanyaan semi norak, tanpa perduli apakah Google bakal bisa memahami maksud saya atau tidak. “AI overview itu apa?”. Ternyata muncul penjelasan singkat tapi lengkap.

Pertanyaan selanjutnya gampang ditebak, “Apakah ada aplikasi AI yang beneran gratis? Bukan hanya free 3 hari setelah itu nagih bayaran.”

Jawaban itu kemudian mempertemukan saya dengan Gemini dan ChatGBT. Lalu seperti biasa pula, begitu nemu mainan baru, jiwa kemaruk saya tidak terbendung lagi. Segala macam hal saya tanyakan, mulai dari yang serius sampai yang receh. Saya bahkan sempat bertanya tentang Coretax—meski jawabannya tidak terlalu detail, rupanya memang ada keterbatasan teknis yang membuat AI tidak bisa menjawab semua hal secara mendalam.

Lepas dari segala keterbatasannya, terutama karena saya hanya memakai versi gratisan, saya merasa sudah lebih dari cukup. Dengan sedikit nekat dan banyak ngawur, saya bisa memeras banyak manfaat.

Saya pernah iseng minta dibantu menghitung rasio unsur hara untuk anggur dengan beberapa variabel tertentu. Jawaban yang saya terima membuat saya merasa punya asisten pribadi yang paham betul tentang lmu kimia dan pertanian

Sejak gangguan kesehatan membatasi aktifitas saya di luar rumah, saya merasa seperti terkurung dalam tempurung. Sekarang tempurung itu tetap ada, tapi saya bisa kembali menjelajah ke luar, bahkan nyaris tanpa batas, selain dibatasi oleh kemampuan saya memanfaatkan AI.

Saya rasa, AI bisa menjadi teman ngobrol yang asyik. Sabar, tidak menghakimi, tidak sok pinter, dan paling penting, tidak baperan meskipun saya mengajukan pertanyaan konyol.


HOME

31 Januari 2025

Cara Sederhana untuk Tidak Ambruk


Pertama kali kena gampar pajak tahun 2013, saya marah berkepanjangan. Di saat kondisi finansial pas-pasan, membaca angka 500 juta yang tertulis di surat, membuat saya merasa dikerjain – padahal sebenarnya, kalau mau sedikit cermat membaca, angka yang semula saya anggap sebagai tagihan ternyata hanya selisih omset selama 3 tahun yang diminta klarifikasinya.

Kemarahan kali itu ternyata bukan hanya menyebabkan nalar mampet dan otak kusut, tapi sekaligus nggampar mental. Collateral damagenya luar biasa, sampai dokter yang rutin memantau kesehatan saya memberi saran supaya saya konsultasi ke psikolog.

Uniknya, saya mendapat solusi untuk mengurai otak yang sedang kusut berat justru dari driver rental yang kebetulan saya temui di bandara. Entah kenapa, driver senior ini tiba-tiba mendekat, lalu bertanya, kenapa tampang saya seperti orang kalah judi. Biasanya saya tidak suka ditanya-tanya seperti itu, cuma kali itu, merasa harus menghormati orang yang sudah terlihat lanjut usia, saya basa-basi menjawab, “Mumet digampar pajak

Berhubung penumpang yang dijemput sudah muncul, dia hanya sempat memberi satu saran pendek: Untuk mengatasi stress, saya disarankan merawat tanaman atau binatang.

Barangkali lantaran terlalu suntuk mikir hidup yang semakin ruwet, saran itu kemudian saya turuti.

Di rumah, anak dan istri terbiasa memberi makan kucing-kucing liar. Awalnya saya keberatan. Anggaran makan kucing lebih dari 500 ribu sebulan. Tapi setelah menjalani, saya merasa beban di kepala jadi lebih ringan. Lama-lama saya ikut senang. Bahkan akhirnya  bukan hanya memberi makan, tapi juga rela keluar duit, membayar biaya dokter untuk kucing-kucing yang sakit.

Padahal, gara-gara kesehatan terganggu, penghasilan utama saya jadi mampet. Masih ada rental mobil, tapi saat itu, sekedar untuk nutup biaya perawatan medis saja hasilnya belum memadai. Apalagi ditambah ngopeni anabul liar dan merawat tanaman yang ternyata tidak murah. Tapi perasaan lega dan merasa lebih waras secara mental memberi saya motivasi untuk “hidup kembali.

Meskipun tidak secara langsung membantu menyelesaikan masalah, merawat tanaman dan binatang, bersama aktifitas rutin menulis, membuat saya lebih tahan banting. Tidak gampang emosi dan lebih mudah mengurai masalah.

23 Januari lalu umur saya genap 63 tahun. Sebelumnya saya tidak pernah menganggap ulang-tahun sebagai momen istimewa, kali itu sedikit beda. Sejak melek jam 3 dinihari, pikiran saya terusik oleh kilas balik berbagai kejadian yang pernah saya alami, terutama ketika saya mengalami depresi 10 tahun lalu.

Tidak bisa saya ingkari, tanaman dan kucing punya andil besar menyelamatkan saya dari banyak tekanan mental.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah hanya sekedar sugesti, atau memang beneran ada alasan tertentu?

Seperti biasa, saya ambil kertas dan pena, lalu mulai corat-coret, menuliskan apapun yang membuat saya penasaran.

Setelah beberapa hari, saya mulai mendapat jawabnya.

Merawat makhluk hidup sepertinya menciptakan seragkaian perubahan positif dalam tubuh, pikiran dan perasaan. Paling tidak untuk sesaat mengalihkan dari pikiran negatif dan rasa tidak nyaman.

Gangguan kesehatan yang menjadi serius membuat pikiran gampang terjebak dalam kecemasan. Merawat makhluk hidup memaksa saya sering fokus keluar, harus selalu ingat untuk memberi makan kucing dan menyiram tanaman. Aktifitas ini sepertinya memberi kesempatan otak untuk istirahat sejenak.

Rutinitas merawat menciptakan struktur harian yang sederhana dan mudah dikelola. Melatih otak untuk kembali aktif secara terarah. Di samping itu, melihat tanaman tumbuh subur, dan kucing-kucing gemuk yang lincah membantu melawan perasaan tidak berdaya yang semula sangat dominan.

Pada akhirnya, saya menyadari bahwa solusi seringkali datang dari tempat yang tak terduga. Bukan dari obat mahal atau nasihat motivasi yang bombastis, tetapi dari tindakan sederhana. Memberi tanpa berharap mendapat balasan.


HOME

25 Januari 2025

Menulis: Cara Healing Murah Meriah

 


Awalnya menulis hanya aktifitas iseng, sekadar untuk buang sebel. Sebagai tempat sampah yang paling loyal, menerima segala keluh kesah tanpa pernah protes, tidak menghakimi, dan tidak memungut bayaran.

Dengan menulis saya merasa mindah beban dari kepala ke layar monitor. Tidak menyelesaikan masalah, tapi lumayan membuat kepala sedikit enteng. Mirip buang gas perut. Lega, meski dunia tidak jadi lebih baik.

Ketika sedang ketemu masalah, apalagi kalau datang barengan, otak serasa seperti benang kusut yang baru saja diacak-acak kucing. Ditarik dari ujung mana pun, malah tambah ruwet, dan makin membuat frustrasi. Menulis memaksa saya pelan-pelan mengurai benang itu, mengubah kekacauan pikiran jadi kalimat yang lebih jelas. Setidaknya dengan menulis, saya bisa melihat masalah dengan lebih jernih—daripada terus muter-muter di kepala tanpa ujung pangkal.

Bagian yang menurut saya paling keren, saat menulis saya merasa seperti sedang bicara dengan diri sendiri. Kadang saya nemukan kalimat yang membuat saya manggut-manggut sendiri, seakan-akan kalimat itu ditulis oleh orang lain yang sangat memahami saya. Kadang malah muncul pertanyaan-pertanyaan kritis yang selama ini saya hindari. Dari situ saya sadar, ternyata diri saya bukan cuma satu lapisan. Ada bagian yang cerewet, ada yang pendiam, ada juga yang suka ngeyel. Dan menulis memberi ruang bagi semuanya untuk bersuara, didengarkan dan dipahami.

Lama-lama saya sadar, menulis bukan lagi sekedar cara buang sebel, tapi bisa berubah menjadi semacam cermin. Saat saya sedang sumpek, tulisan menunjukkan bagian mana yang sebenarnya saya takuti. Saat sedang semangat, tulisan merekam energi itu supaya bisa saya baca lagi nanti ketika sedang loyo. Bahkan ketika saya sedang bingung, tulisan seolah menegur dengan jujur: “Kamu sebenarnya maunya apa?”

Meskipun tidak bisa menyelesaikan masalah langsung, tapi menulis bisa memberi saya peta. Kalau hidup ini jalan yang ruwet, menulis adalah coretan kecil di tepi jalan yang bilang: “Hei, kamu tadi lewat sini.” Tidak selalu jelas arah akhirnya ke mana, tapi setidaknya saya tahu sudah berjalan sejauh ini. Dan itu cukup untuk melangkah lagi.

Bagi saya sekarang, menulis jadi semacam P3K untuk pikiran. Membantu menahan “pendarahan” biar pikiran tidak tambah kacau. Murah meriah pula—gak perlu bayar psikolog atau beli tiket healing ke Bali. Tinggal buka laptop, lalu ngetik, untuk memberi sedikit ruang lapang bagi kepala yang sedang kusut.

Pada akhirnya, menulis bukan lagi sekadar hobi. Tapi bisa menjadi semacam ritual harian, sebagai alternatif yang powerful untuk mengurai benang kusut di kepala, bercermin pada diri sendiri, sekaligus menyelipkan canda kecil biar tidak terlalu serius menghadapi hidup.

Menulis tidak membuat saya jadi orang yang lebih baik. Tapi setidaknya, membuat saya lebih sadar akan diri sendiri. Sadar akan kekacauan, ketakutan, dan juga harapan. Di dunia yang terus bergerak cepat, kadang hanya dengan menulis, saya bisa berhenti sejenak, menarik napas, lalu berkata:
“Oke. Aku masih di sini. Masih bisa bicara. Masih punya suara.”

22 Januari 2025

Offroad Tanpa GPS: Menyusuri Jalanan Tubuh Sendiri

 


Jengkel berulang kali ditanya, mengapa masih belum pensiun, seolah -olah hidup setelah enam puluh hanya pantas diisi dengan duduk di beranda sambil menunggu matahari terbenam, akhirnya keluar jawaban sedikit sok-sokan: “Aku masih suka tantangan.”

Kalimat yang terdengar perkasa di telinga,  tapi ternyata alam semesta mendengarnya sebagai undangan terbuka. Lalu dengan selera humornya yang tinggi, undangan itu dijawab sebagai hadiah tahun baru, dibungkus dengan nama yang indah: Coretax.

Ketika akses internet bawaan dari sononya seanggun siput depresi, ditambah pula ternyata aplikasi yang digadang-gadang bakal menjadi andalan Direktorat Jenderal Pajak itupun kurang responsif, menyebabkan saya sulit menahan diri.

Di saat jengkel akibat terus terusan mendapat sajian jam pasir jungkir balik di layar monitor, nunggu Coretax tidak kunjung terbuka, saya lebih mudah menahan tidak ngamuk ketimbang mengabaikan godaan donat cokelat yang sejak pagi terlihat terlantar sendiri di meja kantor. Dia bagai oasis di gurun digital. Tanpa perlawanan, donat itu ludes dalam hitungan detik. Rasa manisnya yang menggumpal sejenak menjadi pelindung dari kegeraman yang tak tersampaikan.

Setelah berhasil login, ternyata drama berlanjut. Setiap klik menu, hanya menyajikan layar putih. Bagaikan kanvas kosong yang seolah berkata, “Selamat datang di ketiadaan.”

Setelah donat ludes, tapi jengkelnya tak kunjung pergi, maka segala makanan apapun menjadi korban selanjutnya, sekedar untuk membuat syaraf yang nyaris sekarat sedikit tenang.

Saya tidak ngamuk lantaran tahu, ngumbar emosi hanya akan mendatangkan penyakit. Lucunya, saya malah sembarangan makan, mengabaikan Trigliserida yang tembus 1000 dan asam urat yang nyaris nyenggol angka 10. Padahal, tubuh saya sedang sensitif terhadap makanan. Disamping itu, baru selang beberapa hari saya nulis di blog, tentang bagaimana akhirnya saya sadar bahwa selama ini sangat kelewatan menyiksa tubuh, dan bertekad untuk berubah. Nyatanya, tekad itu luluh lantak oleh sebuah aplikasi yang lemah gemulai.

Akhirnya hukum karma datang. Bukan dengan gemuruh, tapi dengan sakit kepala yang menyiksa. Saya tumbang. Jangankan bergaya sok kuat, menggerakkan kepala sedikit saja bumi berasa horeg, lebih keras dari gempa megathrust.

Ketika keringat dingin mengalir deras, saya mulai ketakutan. Bukan takut mati, justru sebaliknya, takut tidak segera mati, dan hanya mecicil berkelanjutan.

Jadi ketahuan, nyali saya ternyata cuma segitunya.

Tapi, seperti kata pak ustad, semua ada hikmahnya. Saya jadi ngerti biang kerok masalah saya sebenarnya, selain masih agak kedodoran ngatur nyanyian otak, saya sangat kerepotan mengendalikan dorongan primitif saat stres melanda: Aktifitas ngunyah.

Puasa tidak lagi bisa jadi solusi. Lambung saya gampang melintir. Sementara diet bikin repot, karena nyaris segala makanan yang semula aman, sekarang berubah menjadi medan ranjau. Setiap suap selalu membawa resiko.

Saya masih berangan-angan pengin melakukan perjalanan offroad, paling tidak sekali lagi, seperti yang pernah saya lakukan empat puluh tahun lalu. Ternyata terkabul, tapi beda medan. Kali ini offroad di dalam tubuh sendiri. Medannya lebih liar, lebih tidak terduga, dan jauh lebih seru. Setiap detak jantung, setiap sendi yang ngilu, setiap kram di pinggang, adalah tikungan tajam dan jalanan bergelombang yang harus dinavigasi. Tanpa GPS, tanpa peta, bahkan tanpa navigator. Hanya ada naluri dan kepasrahan.

Pada akhirnya, perjalanan ini bukan tentang Coretax, donat, atau bahkan trigliserida, tapi tentang bagaimana saya belajar menerima kenyataan bahwa hidup di umur 60-an memang penuh tikungan tak terduga.

11 Januari 2025

Baru Sadar Saat Sudah Terlanjur Kacau

 

Ada satu hukum alam yang lucu sekaligus bikin gregetan tentang hidup: Saya baru ngeh kalau selama ini ternyata merusak diri sendiri, ketika semuanya sudah terlanjur acak-acakan. Rasanya persis seperti baru sadar bahwa  yang sejak tadi saya gebuk-gebukin ke meja karena channel TV gak pindah-pindah, ternyata ternyata bukan remote, tapi HP.

Saya, sebagai murid bandel di Sekolah Hidup Sehat, bukan cuma telat lima menit, tapi bertahun-tahun. Tubuh sudah protes, organ sudah kasih sinyal dengan berbagai macam rasa tidak nyaman dan angka lab yang aneh-aneh. Tapi otak saya, yang selama ini sibuk mikir deadline, cuan, pajak dan sop iga bakar, cuma menganggap sebagai kurang vitamin C atau efek kebanyakan ngopi.

Barangkali, lantaran jengkel terlalu lama diabaikan, sekujur tubuh kompakan, demo bareng, membawa saya pada fase "the great paradox of eating". Sekarang, apapun yang masuk ke mulut, termasuk obat, sayuran dan buah segar, yang mestinya memberi manfaat, malah membuat tubuh saya mirip mesin tua yang diberi bensin oplosan—ngedut, berisik, lalu rewel. Makan nasi, salah. Makan sayur dan buah segar, salah juga. Persis ujian pilihan ganda, dengan semua jawaban salah.

Untungnya, di tengah semua kekacauan ini, ada satu hal yang (sepertinya) masih bisa saya kendalikan: pikiran dan perasaan. Walaupun, jujur saja, ngontrolnya susah banget. Kelakuan pikiran dan perasaan persis kucing di rumah: lucu, manis, dan kalem …… kalau lagi tidur. Tapi bisa mendadak jadi ninja, parkour dari lemari ke kulkas tanpa alasan yang jelas.

Tapi akhirnya saya harus mau menerima kenyataan, begini saja sudah cukup, karena hidup tidak pernah janji bakal lurus mulus. Kadang ada belok beloknya juga, ketemu gang sempit, dicegat preman dan polisi tidur.

Lagi pula, terlambat bukan akhir. Masih bisa jalan pelan, belok arah, bahkan berhenti sebentar untuk mampir ……. beli gorengan 😅

Jadi, meskipun telat sadar, saya anggap ini bukan hukuman, melainkan undangan untuk lebih pelan, lebih jujur sama diri sendiri, dan lebih berterima kasih pada tubuh yang sudah bekerja keras walau sering saya cuekin.

Kalau dulu saya pikir hidup itu soal kecepatan dan pencapaian, sekarang saya tahu, hidup lebih mirip warung kopi pinggir jalan. Saya bisa mampir, duduk sebentar, lalu ketawa kecil melihat betapa absurd dan kocaknya perjalanan saya selama ini.

Siapa tahu, dengan cara itu, akhirnya saya bisa belajar menikmati kesadaran itu sendiri.

Lagi pula, terlambat masih jauh lebih baik daripada nggak sadar-sadar, lalu berujung bengong ketika malaikat mendadak muncul, ngajak jalan 😅