Awalnya menulis hanya aktifitas iseng, sekadar untuk buang sebel. Sebagai tempat sampah yang paling loyal, menerima segala keluh kesah tanpa pernah protes, tidak menghakimi, dan tidak memungut bayaran.
Dengan menulis saya merasa mindah beban dari kepala ke layar
monitor. Tidak menyelesaikan masalah, tapi lumayan membuat kepala sedikit
enteng. Mirip buang gas perut. Lega, meski dunia tidak jadi lebih baik.
Ketika sedang ketemu masalah, apalagi kalau datang barengan,
otak serasa seperti benang kusut yang baru saja diacak-acak kucing. Ditarik
dari ujung mana pun, malah tambah ruwet, dan makin membuat frustrasi. Menulis
memaksa saya pelan-pelan mengurai benang itu, mengubah kekacauan pikiran jadi
kalimat yang lebih jelas. Setidaknya dengan menulis, saya bisa melihat masalah
dengan lebih jernih—daripada terus muter-muter di kepala tanpa ujung pangkal.
Bagian yang menurut saya paling keren, saat menulis saya
merasa seperti sedang bicara dengan diri sendiri. Kadang saya nemukan kalimat
yang membuat saya manggut-manggut sendiri, seakan-akan kalimat itu ditulis oleh
orang lain yang sangat memahami saya. Kadang malah muncul pertanyaan-pertanyaan
kritis yang selama ini saya hindari. Dari situ saya sadar, ternyata diri saya
bukan cuma satu lapisan. Ada bagian yang cerewet, ada yang pendiam, ada juga
yang suka ngeyel. Dan menulis memberi ruang bagi semuanya untuk bersuara,
didengarkan dan dipahami.
Lama-lama saya sadar, menulis bukan lagi sekedar cara buang
sebel, tapi bisa berubah menjadi semacam cermin. Saat saya sedang sumpek,
tulisan menunjukkan bagian mana yang sebenarnya saya takuti. Saat sedang
semangat, tulisan merekam energi itu supaya bisa saya baca lagi nanti ketika
sedang loyo. Bahkan ketika saya sedang bingung, tulisan seolah menegur dengan
jujur: “Kamu sebenarnya maunya apa?”
Meskipun tidak bisa menyelesaikan masalah langsung, tapi menulis
bisa memberi saya peta. Kalau hidup ini jalan yang ruwet, menulis adalah
coretan kecil di tepi jalan yang bilang: “Hei, kamu tadi lewat sini.” Tidak
selalu jelas arah akhirnya ke mana, tapi setidaknya saya tahu sudah berjalan
sejauh ini. Dan itu cukup untuk melangkah lagi.
Bagi saya sekarang, menulis jadi semacam P3K untuk pikiran. Membantu
menahan “pendarahan” biar pikiran tidak tambah kacau. Murah meriah pula—gak
perlu bayar psikolog atau beli tiket healing ke Bali. Tinggal buka laptop, lalu
ngetik, untuk memberi sedikit ruang lapang bagi kepala yang sedang kusut.
Pada akhirnya, menulis bukan lagi sekadar hobi. Tapi bisa
menjadi semacam ritual harian, sebagai alternatif yang powerful untuk mengurai
benang kusut di kepala, bercermin pada diri sendiri, sekaligus menyelipkan canda
kecil biar tidak terlalu serius menghadapi hidup.
Menulis tidak membuat saya jadi orang yang lebih baik. Tapi
setidaknya, membuat saya lebih sadar akan diri sendiri. Sadar akan kekacauan,
ketakutan, dan juga harapan. Di dunia yang terus bergerak cepat, kadang hanya
dengan menulis, saya bisa berhenti sejenak, menarik napas, lalu berkata:
“Oke. Aku masih di sini. Masih bisa bicara. Masih punya suara.”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar