Sebenarnya saya berencana menghabiskan malam pergantian
tahun 2022 ke 2023 di rumah sakit. Istri saya sudah tiga hari dirawat karena
trombosit dan HB-nya ngedrop. Eh, malah apes, menjelang tengah hari perut saya
tiba-tiba kolaps. Diare tiga kali dalam hitungan jam. Badan lemas, kepala
pusing. Tapi saya masih bertahan di kantor sampai tutup buku selesai. Menjelang
Ashar, saya menyerah. Pulang.
Perjalanan pulang serasa lomba marathon, panjang dan
melelahkan. Motor nyaris kehabisan bensin, sementara SPBU terdekat berada di
arah berlawanan dengan jalur pulang. Toko
pakan kucing dekat rumah, yang biasanya buka hingga malam ternyata sudah tutup,
membuat perjalanan semakin jauh. Setiba di depan rumah saya baru ingat, belum
beli makan malam.
Saya tahu betul kebiasaan tubuh saat sedang tidak enak
badan. Begitu nyenggol sofa, langsung kambuh malas.
Maka, selagi masih di luar dan belum tergoda untuk rebahan, harus beli makan
dulu. Saya tidak ingin masuk angin lagi hanya gara-gara telat makan.
Ternyata, perjalanan yang lebih panjang, ditambah sedikit maksa
bertahan tidak keburu ambruk, untuk memberi makan kucing dan ayam,
greges-greges, mual dan pegel-pegelnya tidak terasa lagi. Terutama setelah
melahap nasi bungkus yang semula saya siapkan untuk makan malam.
Menjelang Magrib, setelah mandi air hangat, badan terasa
lebih segar. Saya pun bersiap berangkat ke rumah sakit. Tapi begitu keluar
halaman, badan tiba-tiba menggigil.
Terpaksa putar balik, dan langsung meringkuk dalam selimut.
Mendekati pergantian tahun, perut mulai keroncongan. Di
rumah hanya tersisa kurma, wafer, dan beberapa bungkus mi instan. Sementara
lidah Jawa saya tetap minta nasi.
Beruntung, masih ada warung yang buka.
“Sendiri saja, Pak?” tanya penjualnya. Padahal dia tahu saya
datang sendiri.
Begitulah asyiknya Indonesia. Bermula dari pertanyaan
basa-basi, berkembang menjadi obrolan gayeng.
Perut saya ternyata cuma aleman. Setelah empat suap,
semangat ngunyah langsung ambyar. Nasi setengah porsi yang sebenarnya cuma
segenggam, mendadak nampak segunung.
Di saat saya bingung cari alasan untuk berhenti makan, ponsel
penjual nasi berdering. Suara dari loudspeaker terdengar cukup jelas. Orang di
sebelah sana memberi tahu, istrinya baru saja melahirkan.
“Tutup saja, Mas. Nggak apa-apa,” saya langsung memanfaatkan
situasi, menyelamatkan diri dari rasa bersalah karena makan masih tersisa
banyak.
Saya pulang jalan kaki, ditemani suara jedoran mercon
menyambut tahun baru.
Setiba di depan pagar rumah, para kucing muncul satu per
satu dan mulai ribut. Saya kira mereka minta makan, ternyata cuma pengin
ditemani. Mereka selonjoran manis di sekitar saya.
Tahun sudah berganti. Jedoran mercon mulai reda. Satu per
satu kucing-kucing pergi. Tinggal saya sendiri, termenung di teras.
Di saat mata mulai ngantuk, saya merasakan kehadiran sesuatu
di arah pintu masuk rumah. Hampir saja saya kabur. Tapi percuma. Kalau yang
datang itu punya niat buruk, saya tidak punya tempat untuk ngumpet.
Saya punya teman-teman khayalan, tapi setiap kali mereka
datang, saya tidak merasakan sensasi apapun. Beda dengan yang ini. Saya bisa
tahu persis dimana dia berada. Bahkan saya merasakan ketika dia sedang “melihat”
saya atau “memandang” ke arah lain.
Saya tidak tahu harus bagaimana, selain diam dan menunggu. Supaya
pikiran tidak ngelantur ke sana ke mari, awalnya saya menyanyi dalam hati, kemudian
memutar musik instrumental di ponsel.
Setelah beberapa lagu berlalu, dan mata semakin berat, saya
memberanikan diri bicara, “Aku ngantuk, boleh tidur?”
Entah kebetulan atau hanya perasaan saya, setelah itu sensasi
aneh di dekat pintu tidak terasa lagi. Suasana yang semula tenang dan tidak
terasa sepi, mendadak berubah menjadi hening, dingin dan terasa, saya sedang
sendiri.
Saya pun berdiri, mengucapkan terima kasih sudah ditemani, lalu
bergegas masuk rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar