01 Januari 2023

Old & New, Home Alone

Sebenarnya saya berencana menghabiskan malam pergantian tahun 2022 ke 2023 di rumah sakit. Istri saya sudah tiga hari dirawat karena trombosit dan HB-nya ngedrop. Eh, malah apes, menjelang tengah hari perut saya tiba-tiba kolaps. Diare tiga kali dalam hitungan jam. Badan lemas, kepala pusing. Tapi saya masih bertahan di kantor sampai tutup buku selesai. Menjelang Ashar, saya menyerah. Pulang.

Perjalanan pulang serasa lomba marathon, panjang dan melelahkan. Motor nyaris kehabisan bensin, sementara SPBU terdekat berada di arah berlawanan  dengan jalur pulang. Toko pakan kucing dekat rumah, yang biasanya buka hingga malam ternyata sudah tutup, membuat perjalanan semakin jauh. Setiba di depan rumah saya baru ingat, belum beli makan malam. 

Saya tahu betul kebiasaan tubuh saat sedang tidak enak badan. Begitu nyenggol sofa, langsung kambuh malas. Maka, selagi masih di luar dan belum tergoda untuk rebahan, harus beli makan dulu. Saya tidak ingin masuk angin lagi hanya gara-gara telat makan. 

Ternyata, perjalanan yang lebih panjang, ditambah sedikit maksa bertahan tidak keburu ambruk, untuk memberi makan kucing dan ayam, greges-greges, mual dan pegel-pegelnya tidak terasa lagi. Terutama setelah melahap nasi bungkus yang semula saya siapkan untuk makan malam.

Menjelang Magrib, setelah mandi air hangat, badan terasa lebih segar. Saya pun bersiap berangkat ke rumah sakit. Tapi begitu keluar halaman,  badan tiba-tiba menggigil. Terpaksa putar balik, dan langsung meringkuk dalam selimut.

Mendekati pergantian tahun, perut mulai keroncongan. Di rumah hanya tersisa kurma, wafer, dan beberapa bungkus mi instan. Sementara lidah Jawa saya tetap minta nasi.

Beruntung, masih ada warung yang buka.

“Sendiri saja, Pak?” tanya penjualnya. Padahal dia tahu saya datang sendiri.

Begitulah asyiknya Indonesia. Bermula dari pertanyaan basa-basi, berkembang menjadi obrolan gayeng.

Perut saya ternyata cuma aleman. Setelah empat suap, semangat ngunyah langsung ambyar. Nasi setengah porsi yang sebenarnya cuma segenggam, mendadak nampak segunung.

Di saat saya bingung cari alasan untuk berhenti makan, ponsel penjual nasi berdering. Suara dari loudspeaker terdengar cukup jelas. Orang di sebelah sana memberi tahu, istrinya baru saja melahirkan.

“Tutup saja, Mas. Nggak apa-apa,” saya langsung memanfaatkan situasi, menyelamatkan diri dari rasa bersalah karena makan masih tersisa banyak.

Saya pulang jalan kaki, ditemani suara jedoran mercon menyambut tahun baru.

Setiba di depan pagar rumah, para kucing muncul satu per satu dan mulai ribut. Saya kira mereka minta makan, ternyata cuma pengin ditemani. Mereka selonjoran manis di sekitar saya.

Tahun sudah berganti. Jedoran mercon mulai reda. Satu per satu kucing-kucing pergi. Tinggal saya sendiri, termenung di teras.

Di saat mata mulai ngantuk, saya merasakan kehadiran sesuatu di arah pintu masuk rumah. Hampir saja saya kabur. Tapi percuma. Kalau yang datang itu punya niat buruk, saya tidak punya tempat untuk ngumpet.

Saya punya teman-teman khayalan, tapi setiap kali mereka datang, saya tidak merasakan sensasi apapun. Beda dengan yang ini. Saya bisa tahu persis dimana dia berada. Bahkan saya merasakan ketika dia sedang “melihat” saya atau “memandang” ke arah lain.

Saya tidak tahu harus bagaimana, selain diam dan menunggu. Supaya pikiran tidak ngelantur ke sana ke mari, awalnya saya menyanyi dalam hati, kemudian memutar musik instrumental di ponsel.

Setelah beberapa lagu berlalu, dan mata semakin berat, saya memberanikan diri bicara, “Aku ngantuk, boleh tidur?”

Entah kebetulan atau hanya perasaan saya, setelah itu sensasi aneh di dekat pintu tidak terasa lagi. Suasana yang semula tenang dan tidak terasa sepi, mendadak berubah menjadi hening, dingin dan terasa, saya sedang sendiri.

Saya pun berdiri, mengucapkan terima kasih sudah ditemani, lalu bergegas masuk rumah.


HOME


Tidak ada komentar: