Ada satu hukum alam yang lucu sekaligus bikin gregetan
tentang hidup: Saya baru ngeh kalau selama ini ternyata merusak diri sendiri, ketika
semuanya sudah terlanjur acak-acakan. Rasanya persis seperti baru sadar bahwa yang sejak tadi saya gebuk-gebukin ke meja
karena channel TV gak pindah-pindah, ternyata ternyata bukan remote, tapi HP.
Saya, sebagai murid bandel di Sekolah Hidup Sehat, bukan
cuma telat lima menit, tapi bertahun-tahun. Tubuh sudah protes, organ sudah
kasih sinyal dengan berbagai macam rasa tidak nyaman dan angka lab yang
aneh-aneh. Tapi otak saya, yang selama ini sibuk mikir deadline, cuan, pajak
dan sop iga bakar, cuma menganggap sebagai kurang vitamin C atau efek
kebanyakan ngopi.
Barangkali, lantaran jengkel terlalu lama diabaikan, sekujur
tubuh kompakan, demo bareng, membawa saya pada fase "the great paradox of
eating". Sekarang, apapun yang masuk ke mulut, termasuk obat, sayuran dan
buah segar, yang mestinya memberi manfaat, malah membuat tubuh saya mirip mesin
tua yang diberi bensin oplosan—ngedut, berisik, lalu rewel. Makan nasi, salah.
Makan sayur dan buah segar, salah juga. Persis ujian pilihan ganda, dengan
semua jawaban salah.
Untungnya, di tengah semua kekacauan ini, ada satu hal yang
(sepertinya) masih bisa saya kendalikan: pikiran dan perasaan. Walaupun, jujur saja,
ngontrolnya susah banget. Kelakuan pikiran dan perasaan persis kucing di rumah:
lucu, manis, dan kalem …… kalau lagi tidur. Tapi bisa mendadak jadi ninja,
parkour dari lemari ke kulkas tanpa alasan yang jelas.
Tapi akhirnya saya harus mau menerima kenyataan, begini saja
sudah cukup, karena hidup tidak pernah janji bakal lurus mulus. Kadang ada
belok beloknya juga, ketemu gang sempit, dicegat preman dan polisi tidur.
Lagi pula, terlambat bukan akhir. Masih bisa jalan pelan,
belok arah, bahkan berhenti sebentar untuk mampir ……. beli gorengan
😅
Jadi, meskipun telat sadar, saya anggap ini bukan hukuman, melainkan
undangan untuk lebih pelan, lebih jujur sama diri sendiri, dan lebih berterima
kasih pada tubuh yang sudah bekerja keras walau sering saya cuekin.
Kalau dulu saya pikir hidup itu soal kecepatan dan
pencapaian, sekarang saya tahu, hidup lebih mirip warung kopi pinggir jalan. Saya
bisa mampir, duduk sebentar, lalu ketawa kecil melihat betapa absurd dan
kocaknya perjalanan saya selama ini.
Siapa tahu, dengan cara itu, akhirnya saya bisa belajar
menikmati kesadaran itu sendiri.
Lagi pula, terlambat masih jauh lebih baik daripada nggak
sadar-sadar, lalu berujung bengong ketika malaikat mendadak muncul, ngajak
jalan 😅
Tidak ada komentar:
Posting Komentar