Jengkel berulang kali ditanya, mengapa masih belum pensiun, seolah -olah hidup setelah enam puluh hanya pantas diisi dengan duduk di beranda sambil menunggu matahari terbenam, akhirnya keluar jawaban sedikit sok-sokan: “Aku masih suka tantangan.”
Kalimat yang terdengar perkasa di telinga, tapi ternyata alam semesta mendengarnya
sebagai undangan terbuka. Lalu dengan selera humornya yang tinggi, undangan itu
dijawab sebagai hadiah tahun baru, dibungkus dengan nama yang indah: Coretax.
Ketika akses internet bawaan dari sononya seanggun siput
depresi, ditambah pula ternyata aplikasi yang digadang-gadang bakal menjadi
andalan Direktorat Jenderal Pajak itupun kurang responsif, menyebabkan saya
sulit menahan diri.
Di saat jengkel akibat terus terusan mendapat sajian jam
pasir jungkir balik di layar monitor, nunggu Coretax tidak kunjung terbuka, saya
lebih mudah menahan tidak ngamuk ketimbang mengabaikan godaan donat cokelat
yang sejak pagi terlihat terlantar sendiri di meja kantor. Dia bagai oasis di
gurun digital. Tanpa perlawanan, donat itu ludes dalam hitungan detik. Rasa
manisnya yang menggumpal sejenak menjadi pelindung dari kegeraman yang tak
tersampaikan.
Setelah berhasil login, ternyata drama berlanjut. Setiap
klik menu, hanya menyajikan layar putih. Bagaikan kanvas kosong yang seolah
berkata, “Selamat datang di ketiadaan.”
Setelah donat ludes, tapi jengkelnya tak kunjung pergi, maka
segala makanan apapun menjadi korban selanjutnya, sekedar untuk membuat syaraf
yang nyaris sekarat sedikit tenang.
Saya tidak ngamuk lantaran tahu, ngumbar emosi hanya akan
mendatangkan penyakit. Lucunya, saya malah sembarangan makan, mengabaikan
Trigliserida yang tembus 1000 dan asam urat yang nyaris nyenggol angka 10.
Padahal, tubuh saya sedang sensitif terhadap makanan. Disamping itu, baru
selang beberapa hari saya nulis di blog, tentang bagaimana akhirnya saya sadar
bahwa selama ini sangat kelewatan menyiksa tubuh, dan bertekad untuk berubah. Nyatanya,
tekad itu luluh lantak oleh sebuah aplikasi yang lemah gemulai.
Akhirnya hukum karma datang. Bukan dengan gemuruh, tapi
dengan sakit kepala yang menyiksa. Saya tumbang. Jangankan bergaya sok
kuat, menggerakkan kepala sedikit saja bumi berasa horeg, lebih keras dari
gempa megathrust.
Ketika keringat dingin mengalir deras, saya mulai ketakutan.
Bukan takut mati, justru sebaliknya, takut tidak segera mati, dan hanya mecicil
berkelanjutan.
Jadi ketahuan, nyali saya ternyata cuma segitunya.
Tapi, seperti kata pak ustad, semua ada hikmahnya. Saya jadi
ngerti biang kerok masalah saya sebenarnya, selain masih agak kedodoran ngatur
nyanyian otak, saya sangat kerepotan mengendalikan dorongan primitif saat stres
melanda: Aktifitas ngunyah.
Puasa tidak lagi bisa jadi solusi. Lambung saya gampang
melintir. Sementara diet bikin repot, karena nyaris segala makanan yang semula
aman, sekarang berubah menjadi medan ranjau. Setiap suap selalu membawa resiko.
Saya masih berangan-angan pengin melakukan perjalanan
offroad, paling tidak sekali lagi, seperti yang pernah saya lakukan empat puluh
tahun lalu. Ternyata terkabul, tapi beda medan. Kali ini offroad di dalam tubuh
sendiri. Medannya lebih liar, lebih tidak terduga, dan jauh lebih seru. Setiap
detak jantung, setiap sendi yang ngilu, setiap kram di pinggang, adalah
tikungan tajam dan jalanan bergelombang yang harus dinavigasi. Tanpa GPS, tanpa
peta, bahkan tanpa navigator. Hanya ada naluri dan kepasrahan.
Pada akhirnya, perjalanan ini bukan tentang Coretax, donat,
atau bahkan trigliserida, tapi tentang bagaimana saya belajar menerima
kenyataan bahwa hidup di umur 60-an memang penuh tikungan tak terduga.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar