22 Januari 2025

Offroad Tanpa GPS: Menyusuri Jalanan Tubuh Sendiri

 


Jengkel berulang kali ditanya, mengapa masih belum pensiun, seolah -olah hidup setelah enam puluh hanya pantas diisi dengan duduk di beranda sambil menunggu matahari terbenam, akhirnya keluar jawaban sedikit sok-sokan: “Aku masih suka tantangan.”

Kalimat yang terdengar perkasa di telinga,  tapi ternyata alam semesta mendengarnya sebagai undangan terbuka. Lalu dengan selera humornya yang tinggi, undangan itu dijawab sebagai hadiah tahun baru, dibungkus dengan nama yang indah: Coretax.

Ketika akses internet bawaan dari sononya seanggun siput depresi, ditambah pula ternyata aplikasi yang digadang-gadang bakal menjadi andalan Direktorat Jenderal Pajak itupun kurang responsif, menyebabkan saya sulit menahan diri.

Di saat jengkel akibat terus terusan mendapat sajian jam pasir jungkir balik di layar monitor, nunggu Coretax tidak kunjung terbuka, saya lebih mudah menahan tidak ngamuk ketimbang mengabaikan godaan donat cokelat yang sejak pagi terlihat terlantar sendiri di meja kantor. Dia bagai oasis di gurun digital. Tanpa perlawanan, donat itu ludes dalam hitungan detik. Rasa manisnya yang menggumpal sejenak menjadi pelindung dari kegeraman yang tak tersampaikan.

Setelah berhasil login, ternyata drama berlanjut. Setiap klik menu, hanya menyajikan layar putih. Bagaikan kanvas kosong yang seolah berkata, “Selamat datang di ketiadaan.”

Setelah donat ludes, tapi jengkelnya tak kunjung pergi, maka segala makanan apapun menjadi korban selanjutnya, sekedar untuk membuat syaraf yang nyaris sekarat sedikit tenang.

Saya tidak ngamuk lantaran tahu, ngumbar emosi hanya akan mendatangkan penyakit. Lucunya, saya malah sembarangan makan, mengabaikan Trigliserida yang tembus 1000 dan asam urat yang nyaris nyenggol angka 10. Padahal, tubuh saya sedang sensitif terhadap makanan. Disamping itu, baru selang beberapa hari saya nulis di blog, tentang bagaimana akhirnya saya sadar bahwa selama ini sangat kelewatan menyiksa tubuh, dan bertekad untuk berubah. Nyatanya, tekad itu luluh lantak oleh sebuah aplikasi yang lemah gemulai.

Akhirnya hukum karma datang. Bukan dengan gemuruh, tapi dengan sakit kepala yang menyiksa. Saya tumbang. Jangankan bergaya sok kuat, menggerakkan kepala sedikit saja bumi berasa horeg, lebih keras dari gempa megathrust.

Ketika keringat dingin mengalir deras, saya mulai ketakutan. Bukan takut mati, justru sebaliknya, takut tidak segera mati, dan hanya mecicil berkelanjutan.

Jadi ketahuan, nyali saya ternyata cuma segitunya.

Tapi, seperti kata pak ustad, semua ada hikmahnya. Saya jadi ngerti biang kerok masalah saya sebenarnya, selain masih agak kedodoran ngatur nyanyian otak, saya sangat kerepotan mengendalikan dorongan primitif saat stres melanda: Aktifitas ngunyah.

Puasa tidak lagi bisa jadi solusi. Lambung saya gampang melintir. Sementara diet bikin repot, karena nyaris segala makanan yang semula aman, sekarang berubah menjadi medan ranjau. Setiap suap selalu membawa resiko.

Saya masih berangan-angan pengin melakukan perjalanan offroad, paling tidak sekali lagi, seperti yang pernah saya lakukan empat puluh tahun lalu. Ternyata terkabul, tapi beda medan. Kali ini offroad di dalam tubuh sendiri. Medannya lebih liar, lebih tidak terduga, dan jauh lebih seru. Setiap detak jantung, setiap sendi yang ngilu, setiap kram di pinggang, adalah tikungan tajam dan jalanan bergelombang yang harus dinavigasi. Tanpa GPS, tanpa peta, bahkan tanpa navigator. Hanya ada naluri dan kepasrahan.

Pada akhirnya, perjalanan ini bukan tentang Coretax, donat, atau bahkan trigliserida, tapi tentang bagaimana saya belajar menerima kenyataan bahwa hidup di umur 60-an memang penuh tikungan tak terduga.

Tidak ada komentar: