13 Februari 2025

Kalitalang: Menyusuri Jejak Merapi dan Pikiran Sendiri

 

Jalan kecil menuju Kalitalang

Saat kamera saya sedang membidik Merapi, seorang pencari rumput yang kebetulan lewat memberitahu lokasi motret yang lebih dekat gunung dengan pemandangan lebih indah. Setelah saya lihat di map Google, jaraknya hanya kurang dari 9 km dari posisi saya saat itu—sangat dekat dibanding 30-an km yang baru saja saya tempuh. Kebetulan, Merapi sedang cerah.

Tempat itu bernama Kalitalang. Berada di wilayah Klaten, Jawatengah.  Saya nyaris terlambat tiba di sana. Beberapa menit kemudian seluruh badan Merapi diselimuti awan. Tapi saya sempat mengambil beberapa jeretan, meski hasilnya tidak bisa dibilang bagus.

Sejak pertama kali melihat puncak Merapi dari Kalitalang, saya jadi terobsesi. Sejak saat itu, hampir setiap dua atau tiga hari sekali saya berangkat pagi-pagi ke sana. Namun, lebih sering pulang tanpa hasil. Kadang baru jalan beberapa kilometer dari rumah, gunung yang semula terlihat cerah sudah tidak nampak lagi. Sembunyi di balik awan. Tapi lebih sering, saat saya sudah dekat,  bagian puncak yang menjadi target saya, tertutup awan dan tak pernah terlihat lagi sepanjang hari.

Berangkat lebih pagi ternyata tidak menjamin bisa ketemu Merapi dalam keadaan cerah. Ada kalanya sesampai di Kalitalang, kabut masih tebal. Saya menunggu lama, tetap saja gunung tak terlihat. Ironisnya, ketika saya sudah hampir sampai rumah, di kejauhan Merapi malah terlihat cerah. Pernah saya nekad putar balik, tapi cerah itu tidak bertahan lama. Saya baru menempuh beberapa kilometer, Merapi kembali sembunyi.

Suatu pagi, saat sedang menyapu halaman—tanpa niat sedikit pun untuk memotret—tiba-tiba muncul dorongan kuat untuk pergi. Tanpa mandi, tanpa sarapan, bahkan dengan baterai kamera yang baru terisi kurang dari 50%, saya langsung tancap gas ke Kalitalang. Saya tetap nekad menuju Merapi meskipun dari sawah sebelah utara rumah gunungnya sama sekali tidak terlihat, dan saya tetap melanjutkan perjalanan meskipun setelah menempuh lebih dari separo perjalanan, Merapi masih sembunyi.

Sepertinya saya memang diundang. Ketika saya tiba di Kalitalang, Cuaca yang semula redup, berangsur menjadi cerah. Langit dominan biru hanya dengan sedikit awan. Merapi juga terlihat sangat jelas, seolah sedang menunggu saya.

Layaknya bocah nemu mainan baru, saya menjelajahi seluruh penjuru Kalitalang. Motret, duduk bengong, rebahan, sambil menikmati kicau burung. Saat itu Kalitalang masih sepi. Sampai jam 9, ketika perut mulai protes, saya hanya ketemu pencari rumput. Di tempat parkir hanya ada satu motor.

Sejak saat itu saya semakin sering ke Kalitalang. Biasanya berangkat lepas subuh. Kadang mujur, setiba di sana pas Merapi cerah, kadang hanya ketemu kabut. Tapi tujuan saya memang tidak semata-mata untuk motret. Entah kenapa, saya suka berada dekat Merapi, meskipun saya pernah sampai terbirit birit ketika Merapi mendadak erupsi. Padahal, dampak erupsi freatik paling jauh hanya 2 km, sementara jarak dari Kalitalang menuju puncak lebih dari 5 km.

Kalitalang juga pernah menjadi tempat pelarian saya di masa-masa sulit. Selama setahun lebih mendampingi istri menjalani perawatan kanker, saya pernah sampai pada titik suntuk berat. Suatu malam, sepulang dari rumah sakit, pikiran saya kosong. Bingung, tidak tahu harus bagaimana, alih-alih pulang, saya menuju Kalitalang. Jangankan dingin dan gelap, entah nemu nyali di mana, resiko ketemu setanpun saya abaikan. Padahal seandainya waras, jangankan tengah malam, lewat magribpun saya tidak akan berani sendirian di sana.

Saya duduk lumayan lama, nyender di pohon, menghadap Merapi yang terlihat samar di keremangan malam. Beberapa kali sempat terlelap, terbangun dengan jantung berdebar. Anehnya, justru pikiran saya mulai tenang.  Menjelang pagi suasana horornya baru terasa. Perjalanan sejauh 300an meter menuju tempat parkir terasa seperti ekspedisi paling mencekam, padahal tidak terjadi apa-apa selain teror yang diciptakan pikiran saya sendiri.

Kalitalang bagi saya bukan sekadar tempat berburu foto Merapi, tapi juga menjadi ruang hening, tempat saya belajar menunggu, menerima ketidakpastian, dan berdamai dengan diri sendiri. Kadang Merapi terlihat jelas, kadang hanya ada kabut. Sama halnya dengan hidup—ada kalanya terang, ada kalanya samar.

Tidak ada komentar: