06 Februari 2025

Berdamai dengan Rasa Kuwatir


Sejak beberapa bulan lalu saya meluangkan sedikit waktu untuk berusaha mengenali diri sendiri. Entah mengapa, saya merasa, kehidupan yang seru ini sebagian disebabkan karena saya tidak mengenali hardware dan software yang melengkapi hidup saya, sehingga saya cenderung asal-asalan dalam “mengoperasikannya”.

Karena tidak tahu harus mulai dari mana, saya awali saja dengan mengamati kondisi fisik yang gampang ngantuk, gampang lelah dan selalu pegel sepanjang hari. Tanpa mengabaikan pengaruh dari kadar Trigliserida, Asam Urat dan Kolesterol dalam darah yang di luar batas normal, saya merasa ada faktor lain yang ikut berperan. 

Secara gampang saya bisa menunjuk faktor psikologis. Tapi bagian mana? Saya sempat menduga, mungkin akibat pikiran yang semrawut. Tapi sepertinya ada yang lebih spesifik.

Setelah perenungan yang panjang, akhirnya saya nemu biangnya: Saya sering merasa kuwatir tanpa alasan jelas, terhadap ketidak pastian, terhadap kemungkinan-kemungkinan buruk, terhadap resiko gagal.

Rasa kuwatir selalu datang tanpa permisi. Merayap dalam senyap, lalu membisikkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab dengan pasti: Apa yang akan terjadi nanti? Apakah aku cukup baik? Apakah orang-orang akan kecewa? Bagaimana jika semuanya berjalan salah?

Pertanyaan yang sekilas terasa sepele itu ternyata punya kekuatan luar biasa. Bahkan kalau tidak ditangani secara benar, bisa mengacaukan segalanya – termasuk aktifitas di dalam tubuh.

Lalu bagaimana cara mengatasinya?

Awalnya saya sempat melawan. Tapi tubuh punya mekanisme pertahanan diri yang kuat terhadap segala bentuk perlawanan, dan justru membuat keadaan menjadi semakin runyam dan menguras energi.

Sebenarnya rasa kuwatir tidak sepenuhnya buruk. Pada dasarnya merupakan alarm alami yang berfungsi sebagai peringatan bahwa ada resiko yang perlu diperhitungkan. Rasa kuwatir terhadap kesehatan mendorong saya untuk lebih perduli pada tubuh. Rasa kuwatir terhadap hubungan sosial membuat saya lebih peka terhadap perasaan orang lain.

Masalah muncul bukan dari rasa kuwatir itu sendiri, melainkan dari cara saya menanggapi. Ketika saya membiarkan rasa kuwatir menguasai pikiran, saat itulah kuwatir berubah dari penasehat menjadi penyandera.

Melawan hanya akan membuat penyandera menjadi lebih agresif. Maka saya memutuskan untuk berdamai. Menganggap rasa kuwatir bukan sebagai musuh, melainkan sebagai bagian dari perjalanan yang perlu didengar, bukan ditakuti.

Ketika otak mulai menyuarakan keraguan, saya berhenti sejenak untuk mengamati keadaan “saat ini”, lalu bertanya pada diri sendiri, apakah yang saya kuwatirkan itu sudah mulai terjadi, atau baru kemungkinan yang akan terjadi ketika saya mengambil langkah tertentu? Cara ini membantu saya membedakan antara ancaman yang nyata dan ilusi yang diciptakan oleh pikiran.

Ternyata saya pernah membuktikan bahwa rasa khawatir bisa ditangani dengan cara yang sehat.

Pandemi COVID-19 awalnya tidak sekadar membuat saya khawatir, tapi benar-benar menjerumuskan ke dalam ketakutan. Media sosial menyajikan berita menakutkan: orang ambruk tiba-tiba di jalan. Video Youtube menayangkan mayat-mayat tergeletak di mana-mana. Sementara pemerintah menetapkan 13 April 2020 sebagai hari bencana nonalam nasional.

Takut dan bingung mendorong otak saya membuat analisa sendiri, “kalau begini caranya, kita tidak mati akibat virus, tapi mati karena ketakutan.”

Di tengah rasa putus asa, sebuah kalimat dari film action yang sedang saya tonton menyentak kesadaran: “I won’t give up without a fight.” Entah kenapa, kalimat itu memantik sejumput semangat. Bukan untuk melawan pemerintah, apalagi virus covid, tapi melawan keadaan yang nyaris membuat saya menyerah.

Saya mulai mencari informasi yang lebih masuk akal. Dari berbagai penjelasan, suara Moh. Indro Cahyono terasa menenangkan. Saya tidak perduli meskipun banyak yang menganggap dia “hanya” dokter hewan yang sok-sokan membahas penyakit manusia. Selain dia memang virolog, penjelasannya tentang virus covid sangat detail, gamblang dan mudah dipahami. Itu lebih dari cukup untuk membuat saya lebih waras dalam menghadapi situasi.

Juni 2021 saya mengalami demam. Orang yang sehari sebelumnya bersama saya, juga mengalami gejala sama, dan langsung masuk karantina. Saya memilih karantina mandiri. Mengisolasi diri dari siapapun, termasuk anak dan istri. Saya tidur di kamar belakang yang terpisah dari rumah utama.

Demam tinggi, mual, sulit menelan, bahkan saat sulit bernafas, saya jalani sendiri.   Makan dan minum diletakkan jauh dari kamar, saya ambil sendiri, tidak perduli badan menggigil. Satu-satunya obat yang saya minum hanya paracetamol. Itupan saya batasi hanya 4 butir – karena saya tahu efek sampingnya terhadap ginjal.

Sekitar 2 minggu saya berjuang sendiri hanya dengan bekal keyakinan, imun tubuh saya akan mampu mengatasi. Bukan tanpa resiko, tapi keputusan itu membuat saya sadar satu hal: kuwatir tidak perlu dilawan dengan pertempuran, melainkan dihadapi dengan pemahaman, keberanian, dan kesediaan untuk berdamai.

Hidup tak akan pernah lepas dari ketidakpastian. Tapi menurut saya, justru di situlah serunya. Selama kita mau belajar berdamai dengan rasa kuwatir, kita bisa tetap melangkah, meski hati kadang masih ragu.


HOME

Tidak ada komentar: