Setiap orang punya cara masing-masing untuk berdialog dengan diri sendiri. Ada yang menulis jurnal, ada yang ngajak bicara kucing (yang hanya menjawab dengan dengkuran – atau malah sering minta makan), dan ada juga yang, seperti saya, punya tamu tak diundang dalam kepala.
Ini bukan kisah horor. Tidak ada sosok misterius ndhekem di bawah
pohon mangga sambil berbisik, "Jangan lupa bayar BPJS." Tapi ada satu
entitas non fisik—atau beberapa, saya belum yakin jumlahnya—yang suka
muncul saat saya sedang serius merenungi hidup.
Biasanya sosok itu nyelonong begitu saja, tanpa permisi,
saat saya sedang duduk tenang, mengenang masa lalu, menimbang-nimbang keputusan
yang pernah saya ambil puluhan tahun lalu, ketika tiba-tiba terdengar suara
(dalam hati, tentu saja):
“Tahu nggak, kalau waktu itu kamu tidak asal-asalan nenggak sembarang
suplemen dan sedikit saja rajin olah-raga, sekarang kamu masih bisa menikmati
semua makanan kesukaanmu!”
Padahal saya sedang merenungi lensa kamera yang retak
gara-gara kepleset waktu motret Merapi, bukan mikir makanan.
Kadang mereka ini seperti radio rusak—menanggapi renungan
saya dengan komentar yang sama sekali nggak nyambung. Tapi anehnya, saya tidak
pernah merasa terganggu. Malah, mereka sering membuat saya tertawa sendiri.
Ada kalanya suara-suara itu memberi saran yang masuk akal.
Seperti saat saya bingung antara beli es krim atau patuh diet:
“Hasil cek terakhir, trigliseridamu di atas 1000. Sebaiknya
jangan terlalu sering melanggar diet. Tapi kalau kamu pengin sekali-kali
merasakan masuk ICU, terus sekujur tubuh dicublesi jarum, seliter es krim
sehari selama beberapa minggu kurasa cukup sebagai pengantar.”
Nah lho.
Saya menyebut mereka "Penasehat dari sebelah sono".
Mereka bukan malaikat, bukan jin, apalagi ilham surgawi. Dalam persepsi saya,
mereka lebih seperti gerombolan penggembira—dengan anggota yang kadang bijak,
kadang absurd. Ada yang cerewet seperti teman lama, ada yang filosofis ala guru
spiritual, dan ada juga yang tampaknya hanya mampir untuk bikin rame suasana.
Saya pernah mencoba mengabaikan mereka. Tapi justru saat
saya tidak mendengarkan, mereka makin heboh. Jadi sekarang saya terima saja
kehadiran mereka. Anggap saja mereka bagian dari proses berpikir saya yang unik.
Tentu saja, saya sadar sepenuhnya bahwa semua ini hanyalah
bagian dari imajinasi. Tapi bukankah hidup ini juga penuh dengan hal-hal yang
tidak selalu bisa dijelaskan logika?
Kalau Anda juga pernah mengalami hal serupa—entah itu suara
hati, insting, atau "komentator dalam kepala"—jangan khawatir. Bukan
berarti Anda mulai gila. Mungkin hanya terlalu sering berpikir mendalam.
Dan siapa tahu, di balik komentar absurd mereka, terselip
juga sepotong kebijaksanaan yang bisa membawa kita ke arah yang lebih baik.
Atau minimal, menghibur di tengah kesunyian.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar