04 Oktober 2025

Catatan Kecil dari Perjalanan Kolostomi

Akhirnya tagihan itu beneran datang. Salah satu pembaca blog bertanya,  “Kenapa tulisan tentang kanker kolorektal tidak dilanjutkan?”

Tentu saja saya ingin menuliskan cerita lanjutannya. Sayang sekali, flashdisk tempat saya menyimpan catatan selama istri menjalani perawatan hilang entah di mana. Jadi sekarang saya hanya mengandalkan ingatan, dibantu catatan medis dari rumah sakit untuk merangkai kembali kronologinya.

Transfusi Darah dan Harapan yang Tertunda

Saat awal dirawat, kadar Haemoglobin Yuni hanya kisaran 4g/dL. Terlalu rendah untuk menjalani prosedur invasif. Dokter memutuskan menunda biopsi. Yuni harus menerima transfusi terlebih dahulu, sampai kadar HB paling tidak mencapai 10 g/dL. Empat kantong darah mengalir ke tubuhnya, membawa oksigen dan harapan baru.

Sesuai kesepakatan antara dokter dengan saya sebelumnya, biopsi dilakukan bersamaan dengan kolostomi – operasi membuat saluran pembuangan feses melalui lubang di dinding perut. Rencananya, operasi dilakukan pagi sebelum Jumatan, tapi tertunda karena ada pasien darurat. Baru siang harinya Yuni masuk ruang operasi.

Empat Jam yang Mengubah Segalanya

Biopsi dan kolostomi berlangsung lancar sekitar 4 jam, tapi sampai hari ini saya belum punya nyali untuk melihat secara detail kantong yang terpasang di perut bagian kiri bawah. Saya hanya tahu, sejak saat itu istri saya tidak lagi BAB melalui dubur. Kotoran keluar melalui lubang di dinding perut, ditampung sementara di kantong yang secara berkala dibersihkan dan diganti setiap 2 atau 3 hari sekali.

Awalnya dokter berharap kolostomi itu hanya sementara. Tapi entah kenapa, saya merasa ragu. Ternyata dugaan saya benar, setelah operasi kanker dilakukan tujuh bulan kemudian, dokter memberitahu, jalur lama terpaksa ditutup permanen. Stoma bukan lagi jembatan sementara, melainkan menjadi bagian tetap dari hidup Yuni.

Yuni Ternyata Lebih Kuat

Hari-hari pertama pasca kolostomi terasa menegangkan. Bukan karena kondisi Yuni, tapi karena kecemasan saya sendiri. Yuni terlihat santai. Tapi justru sempat membuat saya kuwatir, dia menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Sampai beberapa hari kemudian, saya senewen sendiri, menunggu, kapan bom waktu itu akan meledak.

Alhamdulillah, tidak terjadi apa-apa. Yuni tetap santai. Tetap ceria seperti sebelumnya. Bahkan sangat antusias memberi penjelasan tentang kantongnya, seperti sedang promosi gadget baru.

Hari ini sudah dua tahun lebih Yuni mengenakan kantong. Aktifitasnya sudah kembali seperti sebelum covid. Motoran, jalan-jalan, bercocok-tanam, nyapu, ngepel, semua dikerjakan tanpa halangan. Tidak ada cerita tercium bau aneh, cairan rembes atau kantong bocor. Hanya ada satu perubahan – seperti kata Imah dulu, bunyi kentut tidak bisa disensor. Kadang terdengar nyaring, kadang hanya berdesis campur sedikit suara plupuk plupuk, kadang agak horor. Bagusnya, Yuni bisa santai menerima kebiasaan baru itu.

Meskipun sekarang semua baik-baik saja, tapi sekitar setahun pertama Yuni sempat enggan pergi jauh. Untuk menguras isi dan membersihkan kantong, dia membutuhkan closet duduk. Sekedar jongkok saja sudah cukup repot, keganjel kantong. Apalagi kalau harus mengeluarkan isi dan bersih-bersih di WC umum yang kebanyakan masih pakai kloset jongkok.

Dulu, ketika perawat memberitahu, kantong bisa digunakan 2 sampai 3 hari, saya sempat tidak setuju. Tas kresek bekas makanan basi saja susah dibersihkan, apalagi kantong yang menampung kotoran perut.

Ternyata kantongnya memang ada banyak macam. Ada yang hanya sekali pakai, ada pula yang bisa digunakan sampai 3 hari. Yang sekali pakai lebih praktis, tinggal dibuang bareng kotoran. Tapi, karena istri saya merasa lebih nyaman dengan yang bisa dipakai ulang sampai 3 hari – meskipun harus ribet bersih-bersih. Saya ngikut saja.

Perjalanan panjang ini mengajarkan banyak hal. Bukan hanya tentang kanker, kolostomi, atau manajemen kantong medis—tapi tentang kekuatan jiwa yang tak terlihat oleh mata. Yuni bukan sekadar survive. Ia berhasil berdamai dengan perubahan radikal dalam tubuhnya. Tidak membiarkan stoma mendefinisikan siapa dirinya. Justru, ia menunjukkan bahwa keindahan hidup tak terletak pada kesempurnaan fisik, melainkan pada kemampuan hati untuk menerima, menyesuaikan, dan terus melangkah.

Tidak ada komentar: