28 September 2025

Menaklukkan Kemalasan dan Keraguan

 


Kamar di bagian belakang rumah, tempat saya dulu menjalani karantina covid mandiri, sekarang berubah menjadi gudang yang berantakan. Saya tidak ingat lagi kapan mulai seperti itu. Mungkin sejak istri saya di rawat di rumah-sakit.

Mumet mikir kondisi istri, capek setahun lebih mondar-mandir ke rumah-sakit, bercampur dengan bibit malas yang mendapat alasan untuk tumbuh, menyebabkan saya merasa baik-baik saja, bahkan setelah kekacauan itu merembet ke luar kamar. Sering muncul keinginan untuk menata ulang, tapi niatan itu tidak pernah saya laksanakan.

Saya tidak bisa menyalahkan istri atau anak. Selain sejak dulu beres-beres rumah adalah tanggung-jawab saya, mereka justru selalu berusaha membereskan, tapi aura malas, ceroboh dan seenak udel saya lebih dominan, sehingga keadaan selalu kembali berantakan.

Dalam program menata diri yang sedang saya jalani, sepertinya ada sudut kecil di otak saya yang belum tersentuh. Diantara perjalanan yang mulai lancar, tersisa beberapa sisi yang masih berusaha mempertahankan “selera asal”. Terlihat jelas dari meja kerja saya yang selalu kembali berantakan hanya beberapa saat setelah dirapikan.

Suatu hari istri saya usul ngecat ulang tembok kamar itu. Spontan otak saya memberi reaksi, “Temboknya masih kelihatan bersih, kenapa harus dicat ulang?”. Tapi pikiran waras saya justru melihatnya sebagai tantangan halus—bukan sekadar mengecat kamar, melainkan menangani sudut kecil di otak yang selama ini saya abaikan.

Seperti biasa, langsung terjadi perdebatan sengit di kepala. “Nanti akan merembet menjadi bongkar-bongkar seisi rumah. Meskipun kamu bisa menyuruh orang, tetap saja akan kebagian capek. Kondisi fisikmu tidak seperti dulu lagi. Kamu butuh banyak istirahat.”

Peringatan yang sangat masuk akal. Setiap hari sepulang kantor, sekedar menahan tidak rebahan saja butuh usaha keras. Apa jadinya kalau masih harus ikut beres-beres rumah? Masalahnya, kalau tidak dikerjakan sekarang, mau kapan lagi?

Seseorang pernah berkata, manakala diri sendiri mulai tidak yakin, saat itu saya sedang berada di titik kritis. Semakin kuat saya berusaha meyakinkan diri sendiri, justru membuat peluang berhasil semakin tipis. Sementara kalau jalan terus sambil membawa keraguan, sama saja mengaku sudah kalah sebelum mulai.

Untuk sesaat saya merasa sedang jadi rebutan antara dua kutub yang saling berlawanan. Antara jalan terus, mengikuti keinginan atau menerima kenyataan kalau saya memang tidak akan mampu.

Atau, mungkin ada pilihan lain, jalan terus tanpa perduli apapun bisikan di kepala?

Akhirnya saya memilih setuju saran istri, sambil tidak perduli pada apapun suara yang kemudian muncul. Tidak memberi perhatian pada peringatan yang menjadi semakin gencar, tidak juga perduli pada suara penyemangat yang merasa mendapat angin.

Urusan ngecat dikerjakan oleh tukang. Saya kebagian bersih-bersih dan menata ulang isi kamar. Sepulang dari kantor, tanpa mikir lagi, setelah ganti baju, langsung mulai beres-beres.

Sore pertama saya hanya mampu bertahan sekitar 1 jam. Terpaksa berhenti ketika pinggang dan kaki mulai kram. Jam 8 malam sempat saya coba melanjutkan, tapi hanya kuat beberapa menit sebelum kramnya kambuh.

Sore kedua saya mulai dengan cara sedikit beda. Saya tidak pasang target seperti sebelumnya. Saya tidak lagi perduli apakan pekerjaan ini akan rampung seminggu atau setahun. Ketika capek dan pegel terasa mulai mengganggu, saya segera istirahat, sekedar minum, ngemil atau nonton Youtube. Ternyata saya mampu bertahan sampai jam 8 malam tanpa kram. Pegel dan capek juga hanya seperti biasa. Lumayan mengganggu, tapi tidak protes

Peringatan otak saya beneran terjadi. Hari ke tiga, setelah kamar rapi, giliran ruang lain dibuat berantakan. Saya sendiri yang kemudian pengin seluruh rumah di cat ulang. Artinya saya tidak hanya berurusan dengan rak buku, lemari kecil dan container plastik. Ada beberapa lemari kayu yang besar dan berat yang harus digeser atau dipindah.

Peringatan peringatan lain bermunculan. Lebih sering dan bersuara lebih keras. Mirip banjir bandang, melanda kepala, nyaris tanpa henti. Saya tahu, sebagian besar peringatan itu benar, tapi saya biarkan berlalu begitu saja.

Saya juga tidak perduli ketika kemudian muncul tantangan keras, “Oke, kita lihat bagaimana caramu menangani lemari-lemari itu!”.

Tidak perduli bukan berarti mengabaikan. Lemari lemari itu membawa resiko yang nyata. Kesulitan yang bakal saya hadapi tidak bisa diselesaikan hanya dengan menganggapnya tidak ada. Tidak juga  melalui afirmasi, meyakinkan diri, “Pasti bisa”. Tantangan itu saya terima sebagai peringatan, tapi tidak saya tanggapi. Seperti berada di aliran sungai, saya hanya perlu menghindar setiap kali ada batang kayu atau sampah melaju ke arah saya, sambil tetap waspada terhadap resiko selanjutnya.

Tentu saja saya tidak akan menyuruh anak dan istri ikut ngangkat dan mendorong lemari. Saya hanya minta dibantu memasang roda-roda kecil di bawah kaki lemari. Saya juga tidak perlu buang tenaga ngangkat lemari sendiri. Saya menggunakan tuas sekedar untuk membuat satu demi satu kaki lemari sedikit terangkat. Tuas dan roda-roda itu awalnya tidak pernah terpikirkan. Fotonya muncul begitu saja di layar HP saat saya sedang istirahat sambil nonton Youtube.

Saya rasa, kalau kita mengerjakan sesuatu dengan kondisi pikiran santai, tidak membiarkan target menjadi beban, tidak membiarkan pikiran tersandera oleh rasa kuwatir, tubuh akan memberi toleransi melebihi kemampuan  yang semula kita anggap sebagai batas. Otak pun bekerja lebih kreatif, menghadirkan solusi yang sebelumnya bahkan tidak terpikirkan.

Kadang hidup mirip kamar yang berantakan. Kita menunda-nunda menyelesaikan masalah, berdebat dengan diri sendiri, sampai akhirnya sadar, tidak ada waktu yang benar-benar “tepat.” Yang perlu dilakukan hanya segera mulai, dan biarkan segala sesuatu mengalir dengan sendirinya. 


HOME

Tidak ada komentar: