![]() |
closeup puncak Merapi |
Ketika biaya rumah sakit sudah lebih dari tiga ratus juta sementara operasi kankernya belum bisa dipastikan kapan akan dilaksanakan, mental saya sempat ambyar. Perjalanan masih jauh, belum ketahuan di mana akan berakhir. Bahkan setelah Yuni pindah ke kelas dua, tagihan rumah-sakit tetap melaju lebih cepat ketimbang jaman taksi argo kuda.
Saya berhitung, memutar akal, mencoba menenangkan diri —
tapi tetap saja, dada ini seperti disesaki batu besar yang tak tahu harus didorong
ke mana.
Ambyarnya mental itu terlihat jelas ketika saya malam-malam
berani main ke Kalitalang – tempat wisata yang hanya berjarak 5 km dari puncak
Merapi. Indah di kala siang, tapi di malam hari, untuk penakut macam saya,
selain gelap dan sunyi, juga mencekam.
Malam itu, tanpa ada rasa takut bakal ketemu setan, di
hadapan Merapi yang terlihat samar di keremangan malam, saya sambat. Bukan pada
gunung, karena saya masih sadar, gunung tidak akan menjawab. Juga bukan pada
Tuhan, karena saya tahu, Tuhan pasti menolong. Saya sambat pada diri sendiri —
untuk sesuatu yang saya pun tidak tahu.
Tidak ada lagi angka di rekening, tidak ada lagi rencana
besar, tidak ada lagi rasa “harus kuat” yang saya paksakan. Yang tersisa
hanyalah segala kelemahan dan rasa kuwatir yang berlebihan pada seseorang yang
sedang berjuang di rumah sakit. Saya duduk lama, diam, mendengarkan angin, dan
membiarkan pikiran berjalan ke mana pun ia mau.
Entah berapa kali saya tertidur, bangun, lalu terlelap
kembali dalam posisi duduk nyender pohon. Di antara desir angin dan dingin yang
menggigit, saya merasa seperti ditarik kembali ke titik nol. Tapi, justru di
situlah kekuatan muncul kembali. Bukan dari luar, bukan dari kata-kata orang,
melainkan dari diam. Dari pasrah yang bukan menyerah. Dari penerimaan bahwa
saya tidak bisa mengendalikan segalanya, tapi saya masih bisa memilih untuk
tetap ada — menemani, berdoa, menjaga, dan mencintai.
Pagi menjelang. Semburat merah muda di langit timur
menyingkap puncak Merapi yang mulai terang. Diantara suasana horor yang mulai
terasa, saya tersenyum kecil. Bukan karena masalahnya selesai, tapi karena saya
tahu, saya sudah kembali utuh.
Entah bagaimana, udara dingin seperti menampar lembut
kesadaran yang sempat tumpul. Kicau burung yang mulai terdengar samar di
kejauhan, desau angin, dan semburat cahaya di ufuk timur seperti berkata,
“Masih ada hari baru. Masih ada yang bisa kamu lakukan.”
Penutup:
Sejak malam di Kalitalang itu, saya belajar bahwa kekuatan tidak selalu datang dalam bentuk keberanian, tapi kadang dalam bentuk kelelahan yang diterima dengan ikhlas. Bahwa doa tak selalu harus diucapkan dengan kata-kata, kadang cukup dengan diam yang tulus, di antara dingin gunung dan detak hati yang pelan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar