Tahun 1975, ketika saya masih kelas 2 SMP, Ibu saya didiagnosa kanker serviks. Di tengah keterbatasan informasi medis dan akses pengobatan modern saat itu, Ibu memilih jalan yang tidak lazim: terapi alternatif.
Barangkali berjodoh, atau memang jalannya begitu, setelah
menjalani terapi, penyakit itu seolah tertidur. Tak ada gejala serius, tak ada
rasa sakit yang mengganggu. `Baru mendadak serius hampir 20 tahun kemudian, setelah
terapistnya – yang kami panggil Rama (kebanyakan orang nulisnya Romo – tapi
sama saja), sakit, dan tidak lagi menerima tamu. Seakan ada ikatan tak kasat
mata yang putus, dan penyakit itu terbangun dari tidur panjangnya.
Terapinya unik. Ibu hanya diberi dua lempengan karet
berbentuk lingkaran yang saling direkatkan, dengan bagian tengah diantaranya
diberi beberapa kepingan magnet. Setiap tidur malam lempengan itu harus
diletakkan di bawah pinggang. Saya pernah iseng mencoba, rasanya tidak nyaman. Seperti
ada tekanan aneh di punggung bawah. Tapi Ibu melakukannya setiap malam,
bertahun-tahun, tanpa keluhan apapun. Mungkin karena percaya. Atau mungkin
karena tubuhnya memang merespons dengan cara yang tak bisa dijelaskan logika.
Selain diberi lempengan karet dan ramuan nerbal yang harus
diminum dua kali sehari, Ibu disuruh mengubah cara bernafas. Bukan lagi nafas
dada, melainkan nafas perut. Di saat tertentu, selama sekitar 30an menit dalam
sehari, Ibu harus melakukan pernafasan terkendali. Udara ditarik pelan dalam 4
hitungan melalui hidung, ditahan di perut selama 6 hitungan, lalu dihembuskan
melalui mulut selama 8 hitungan.
Awalnya iseng, saya ikut melakukan. Setelah beberapa kali latihan
ternyata badan terasa lebih enak. Entah sugesti, atau nyata, saat itu saya
tidak terlalu perduli. Ketika Rama tahu saya ikut berlatih, saya tidak ditegur,
malah diberi pengarahan. Hitungan untuk saya ditambah: Tarik 8 hitungan, tahan
10 hitungan, hembuskan tanpa suara 14 hitungan. Sebelum kembali tarik nafas,
jeda dulu 6 hitungan. Lumayan menyiksa, tapi badan memang terasa semakin enak.
Seingat saya, sejak melakukan pernafasan terkendali, saya
tidak pernah sakit – sekedar masuk angin sekalipun. Saya baru kembali berurusan
dengan dokter setelah Merapi erupsi 2010, ketika badan mulai gampang capek dan
sering pegel-pegel. Lebih dari 10 tahun setelah saya berhenti latihan.
Menjelang akhir dekade 80, setelah Rama tidak lagi bisa
menerima tamu, Ibu ikut latihan pernafasan di salah satu perguruan silat. Berhubung
latihan dilakukan setelah jam 7 malam, Ibu selalu saya antar. Ketimbang cuma
bengong nunggu, saya ikut berlatih.
Berbeda dengan cara Rama yang statis dan lembut, latihan di
perguruan ini menggunakan gerakan sampai 10 jurus. Lebih berat. Tapi Ibu mampu
menjalaninya dengan konsisten. Terbukti, selama hampir 3 tahun berlatih, setiap
kali ada ujian, Ibu selalu naik tingkat. Sementara saya, tetap setia di tingkat
dasar. Tidak aneh, karena saya tidak pernah beneran serius. Saya lebih cocok
dengan cara Rama: diam, tenang, dan dalam.
Setelah Ibu meninggal pada Oktober 91, dan saya semakin sering
ke luar kota, saya berhenti berlatih. Malas latihan sendiri.
Oktober 2010, untuk pertama kalinya seumur hidup, saya
berurusan dengan polisi lalu-lintas. Nabrak becak yang sedang berhenti. Bukan
karena ugal-ugalan, tapi karena kehilangan kesadaran sesaat. Sejak saat itu,
tubuh mulai sering rewel.
Salah satu teman seperguruan menyarankan agar saya kembali
berlatih pernafasan. Saya hanya nyengir. Entah kenapa, saya tidak lagi percaya
bahwa mengatur nafas bisa memperbaiki kondisi tubuh yang sudah banyak masalah.
Tapi hidup punya caranya sendiri untuk menegur. Juli 2016,
saat ngantri menyerahkan berkas Tax Amnesty, saya tersungkur. Vertigo kambuh.
Kondisi tubuh yang sebelumnya memang tidak sedang baik-baik saja, menjadi
tambah runyam. Dokter yang harus rutin saya kunjungi setiap bulan, awalnya
hanya dua, dalam waktu singkat nambah jadi 4. Segenggam obat mulai menjadi menu
wajib tiga kali sehari.
Pandemi covid membuat jadwal kontrol kesehatan kacau. Bahkan
kemudian terhenti sama sekali. Dalam kebuntuan itu, saya tidak punya pilihan
lain: Dengan sisa-sisa keyakinan, saya memutuskan untuk kembali olah nafas. Awalnya
ragu, tapi akhirnya saya jalani dengan sepenuh hati.
Entah beneran ngaruh, atau aktifitas latihan itu membuat
saya lupa diri, realitanya, setelah pandemi berakhir, saya tetap baik-baik saja
meskipun tidak lagi minum obat. Vertigo, rasa nylekit di dada sebelah kiri,
sesak nafas, begah di ulu hati, tidak pernah kambuh. Tekanan darah yang sempat
dua kali membuat saya ditolak vaksinasi covid, sedikit anteng di kisaran
120/90. Gangguan lain, seperti kram, migrain, dan pegel-pegel hanya terjadi
secara sporadis. Biasanya menjadi tanda kalau kadar Trigliserida di atas 400 – hasil
cek darah di apotek, kadar Trigliserida tidak terpantau.
Saya tidak perduli, apakah tubuh saya beneran sembuh atau
justru mati rasa. Sensor di badan mungkin tidak berfungsi lagi, sehingga saya
tidak merasakan gejala apapun selain gampang capek dan pegel-pegel. Sampai hari
ini Trigliserida tetap rajin naik turun, bahkan beberapa kali bablas di atas
1000, tapi saya tidak lagi cemas seperti dulu.
Saya tidak mendewakan olah nafas, juga tidak menafikan
terapi medis. Saya hanya mencoba memberi tubuh kesempatan untuk memperbaiki
diri sendiri, tanpa saya recoki.
Salah satu dokter pernah berkata, obat tidak sepenuhnya
aman. Ketika rutin dikonsumsi dalam jangka panjang, ada resiko menimbulkan
gangguan pada organ tubuh yang lain. Tapi, tidak minum obat saat tubuh sedang
tidak baik-baik saja juga membawa resiko. Sama-sama memicu bom waktu, kali ini,
dengan menyadari segala resikonya, saya
memilih memberi kesempatan pada tubuh untuk menemukan keseimbangannya kembali.
Itu bukan pilihan nekad, apalagi ngawur, melainkan dengan perhitungan. Ibarat bangunan, tubuh saya sekarang mirip konstruksi yang seluruhnya sudah rapuh. Kesenggol sedikit saja, seluruh bangunan bisa roboh. Tapi, berbeda dari bangunan yang pasif dan semakin rusak ketika dibiarkan, tubuh mampu memperbaiki diri.
Saya tidak berharap akan kembali seperti semula, tapi minimal tidak menambah beban pada sistem reparasi tubuh.
Resiko terburuk bukan kematian. Semua orang akan mati. Itu proses alami, bukan petaka. Resiko terburuk adalah sistem tubuh gagal duluan sebelum kematian tiba. Dengan atau tanpa obat, saya menghadapi resiko itu. Bedanya, obat punya peluang menjadi beban, sementara imun tubuh, selama tidak direcoki, mampu berusaha memperbaiki keseimbangan secara alami. Sekalipun kondisinya mungkin hanya bisa sedikit diseimbangkan, tetap lebih bagus, ketimbang menjadi lebih rusak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar