11 Oktober 2025

Refleksi tentang Keyakinan, Nafas, dan Kesembuhan

Tahun 1975, ketika saya masih kelas 2 SMP, Ibu saya didiagnosa kanker serviks. Di tengah keterbatasan informasi medis dan akses pengobatan modern saat itu, Ibu memilih jalan yang tidak lazim: terapi alternatif.

Barangkali berjodoh, atau memang jalannya begitu, setelah menjalani terapi, penyakit itu seolah tertidur. Tak ada gejala serius, tak ada rasa sakit yang mengganggu. `Baru mendadak serius hampir 20 tahun kemudian, setelah terapistnya – yang kami panggil Rama (kebanyakan orang nulisnya Romo – tapi sama saja), sakit, dan tidak lagi menerima tamu. Seakan ada ikatan tak kasat mata yang putus, dan penyakit itu terbangun dari tidur panjangnya.

Terapinya unik. Ibu hanya diberi dua lempengan karet berbentuk lingkaran yang saling direkatkan, dengan bagian tengah diantaranya diberi beberapa kepingan magnet. Setiap tidur malam lempengan itu harus diletakkan di bawah pinggang. Saya pernah iseng mencoba, rasanya tidak nyaman. Seperti ada tekanan aneh di punggung bawah. Tapi Ibu melakukannya setiap malam, bertahun-tahun, tanpa keluhan apapun. Mungkin karena percaya. Atau mungkin karena tubuhnya memang merespons dengan cara yang tak bisa dijelaskan logika.

Selain diberi lempengan karet dan ramuan nerbal yang harus diminum dua kali sehari, Ibu disuruh mengubah cara bernafas. Bukan lagi nafas dada, melainkan nafas perut. Di saat tertentu, selama sekitar 30an menit dalam sehari, Ibu harus melakukan pernafasan terkendali. Udara ditarik pelan dalam 4 hitungan melalui hidung, ditahan di perut selama 6 hitungan, lalu dihembuskan melalui mulut selama 8 hitungan.

Awalnya iseng, saya ikut melakukan. Setelah beberapa kali latihan ternyata badan terasa lebih enak. Entah sugesti, atau nyata, saat itu saya tidak terlalu perduli. Ketika Rama tahu saya ikut berlatih, saya tidak ditegur, malah diberi pengarahan. Hitungan untuk saya ditambah: Tarik 8 hitungan, tahan 10 hitungan, hembuskan tanpa suara 14 hitungan. Sebelum kembali tarik nafas, jeda dulu 6 hitungan. Lumayan menyiksa, tapi badan memang terasa semakin enak.

Seingat saya, sejak melakukan pernafasan terkendali, saya tidak pernah sakit – sekedar masuk angin sekalipun. Saya baru kembali berurusan dengan dokter setelah Merapi erupsi 2010, ketika badan mulai gampang capek dan sering pegel-pegel. Lebih dari 10 tahun setelah saya berhenti latihan.

Menjelang akhir dekade 80, setelah Rama tidak lagi bisa menerima tamu, Ibu ikut latihan pernafasan di salah satu perguruan silat. Berhubung latihan dilakukan setelah jam 7 malam, Ibu selalu saya antar. Ketimbang cuma bengong nunggu, saya ikut berlatih.

Berbeda dengan cara Rama yang statis dan lembut, latihan di perguruan ini menggunakan gerakan sampai 10 jurus. Lebih berat. Tapi Ibu mampu menjalaninya dengan konsisten. Terbukti, selama hampir 3 tahun berlatih, setiap kali ada ujian, Ibu selalu naik tingkat. Sementara saya, tetap setia di tingkat dasar. Tidak aneh, karena saya tidak pernah beneran serius. Saya lebih cocok dengan cara Rama: diam, tenang, dan dalam.

Setelah Ibu meninggal pada Oktober 91, dan saya semakin sering ke luar kota, saya berhenti berlatih. Malas latihan sendiri.

Oktober 2010, untuk pertama kalinya seumur hidup, saya berurusan dengan polisi lalu-lintas. Nabrak becak yang sedang berhenti. Bukan karena ugal-ugalan, tapi karena kehilangan kesadaran sesaat. Sejak saat itu, tubuh mulai sering rewel.

Salah satu teman seperguruan menyarankan agar saya kembali berlatih pernafasan. Saya hanya nyengir. Entah kenapa, saya tidak lagi percaya bahwa mengatur nafas bisa memperbaiki kondisi tubuh yang sudah banyak masalah.

Tapi hidup punya caranya sendiri untuk menegur. Juli 2016, saat ngantri menyerahkan berkas Tax Amnesty, saya tersungkur. Vertigo kambuh. Kondisi tubuh yang sebelumnya memang tidak sedang baik-baik saja, menjadi tambah runyam. Dokter yang harus rutin saya kunjungi setiap bulan, awalnya hanya dua, dalam waktu singkat nambah jadi 4. Segenggam obat mulai menjadi menu wajib tiga kali sehari.

Pandemi covid membuat jadwal kontrol kesehatan kacau. Bahkan kemudian terhenti sama sekali. Dalam kebuntuan itu, saya tidak punya pilihan lain: Dengan sisa-sisa keyakinan, saya memutuskan untuk kembali olah nafas. Awalnya ragu, tapi akhirnya saya jalani dengan sepenuh hati.

Entah beneran ngaruh, atau aktifitas latihan itu membuat saya lupa diri, realitanya, setelah pandemi berakhir, saya tetap baik-baik saja meskipun tidak lagi minum obat. Vertigo, rasa nylekit di dada sebelah kiri, sesak nafas, begah di ulu hati, tidak pernah kambuh. Tekanan darah yang sempat dua kali membuat saya ditolak vaksinasi covid, sedikit anteng di kisaran 120/90. Gangguan lain, seperti kram, migrain, dan pegel-pegel hanya terjadi secara sporadis. Biasanya menjadi tanda kalau kadar Trigliserida di atas 400 – hasil cek darah di apotek, kadar Trigliserida tidak terpantau.

Saya tidak perduli, apakah tubuh saya beneran sembuh atau justru mati rasa. Sensor di badan mungkin tidak berfungsi lagi, sehingga saya tidak merasakan gejala apapun selain gampang capek dan pegel-pegel. Sampai hari ini Trigliserida tetap rajin naik turun, bahkan beberapa kali bablas di atas 1000, tapi saya tidak lagi cemas seperti dulu.

Saya tidak mendewakan olah nafas, juga tidak menafikan terapi medis. Saya hanya mencoba memberi tubuh kesempatan untuk memperbaiki diri sendiri, tanpa saya recoki.

Salah satu dokter pernah berkata, obat tidak sepenuhnya aman. Ketika rutin dikonsumsi dalam jangka panjang, ada resiko menimbulkan gangguan pada organ tubuh yang lain. Tapi, tidak minum obat saat tubuh sedang tidak baik-baik saja juga membawa resiko. Sama-sama memicu bom waktu, kali ini, dengan menyadari segala resikonya,  saya memilih memberi kesempatan pada tubuh untuk menemukan keseimbangannya kembali.

Itu bukan pilihan nekad, apalagi ngawur, melainkan dengan perhitungan. Ibarat bangunan, tubuh saya sekarang mirip konstruksi yang seluruhnya sudah rapuh. Kesenggol sedikit saja, seluruh bangunan bisa roboh. Tapi, berbeda dari bangunan yang pasif dan semakin rusak ketika dibiarkan, tubuh mampu memperbaiki diri. 

Saya tidak berharap akan kembali seperti semula, tapi minimal tidak menambah beban pada sistem reparasi tubuh.  

Resiko terburuk bukan kematian. Semua orang akan mati. Itu proses alami, bukan petaka. Resiko terburuk adalah sistem tubuh gagal duluan sebelum kematian tiba. Dengan atau tanpa obat, saya menghadapi resiko itu. Bedanya, obat punya peluang menjadi beban, sementara imun tubuh, selama tidak direcoki, mampu berusaha memperbaiki keseimbangan secara alami. Sekalipun kondisinya mungkin hanya bisa sedikit diseimbangkan, tetap lebih bagus, ketimbang menjadi lebih rusak. 

Tidak ada komentar: