Beberapa hari berturut-turut hujan turun—pagi dan sore. Meskipun kebanyakan hanya gerimis, karena enggan basah-basahan dan mengingat kondisi fisik tidak lagi sekuat dulu, saya memilih mengganti jalan kaki keliling lapangan dengan nggenjot sepeda statis di rumah
Masalahnya, ketika hujan kagetan berhenti, dan hari-hari
kembali cerah, saya terlanjur merasa nyaman nggenjot sepeda dan mulai kambuh
malas ke lapangan. Awalnya saya pikir, sama-sama olah-raga, keringat tetap
keluar. Tapi pada hari ke sebelas tubuh mulai memberi sinyal: badan terasa
lebih berat, lebih pegel dan sering sakit kepala. Hari ke tiga belas saya tumbang.
Seluruh badan nyeri, terutama di dengkul. Agak siang sedikit, ditambah demam
dan migrain.
Sempat punya niat ke dokter. Saya tunda karena dari catatan harian,
tidak ada kebiasaan makan, minum maupun aktifitas lain yang berubah, kecuali mengganti
jalan kaki dengan nggenjot sepeda. Saya mulai berpikir, jangan-jangan akibat
saya berhenti grounding. Karena sejak nggenjot sepeda, hanya aktifitas itu yang
sama sekali tidak saya lakukan.
Saya jadi teringat pengalaman sekitar enam belas tahun lalu,
awal saya mulai merasa gampang capek, salah satu teman yang pernah sama-sama
berlatih olah nafas memberi saran, supaya saya kembali latihan. Alih-alih
nurut, saya memilih ke dokter. Hasilnya, tidak lama kemudian saya rutin
menenggak segenggam obat, tiga kali sehari.
Pandemi tanpa sengaja memaksa saya berhenti minum obat. Meski
tidak tahu apakah saya beneran kembali sehat atau hanya sekedar lebih kuat
menahan capek dan pegel yang sudah menjadi menu harian, saya memilih bertahan
tanpa obat. Saya hanya tahu, sejak pandemi berakhir, nyeri di dada kiri, vertigo,
sesak nafas, bengkak di kaki, kram yang dulu selalu kambuh setiap kali telat
minum obat, tidak pernah muncul lagi. Itu sudah lebih dari cukup bagi saya
sebagai alasan untuk menganggap tubuh sedang belajar pulih dengan caranya
sendiri.
Sejak rutin jalan kaki keliling lapangan, saya merasa
semakin baik. Hanya ada masalah baru di makanan. Apapun yang saya makan,
sedikit saja berlebihan, tubuh bakal memberi tanda secara signifikan. Entah
kencing jadi bau, lebih capek, atau lebih sulit konsentrasi. Tapi semua kembali
“normal” setelah saya jeda dari makanan tertentu selama beberapa hari.
Dengan kondisi badan masih berat, sakit di sekujur tubuh, pusing
dan sedikit sempoyongan, saya paksa kembali jalan kaki nyeker di rumput
lapangan. Awalnya hanya kuat 3 putaran. Itupun sudah sangat memaksa. Dengkul
protes keras. Tapi saya tidak segera pulang. Hanya istirahat, lesehan di
pinggir lapangan.
Ketika dua lagu di headphone selesai, saya mencoba jalan
lagi. Dua putaran, lalu istirahat kembali. Meskipun setelah istirahat berikutnya
saya merasa masih mampu ngider, demi dengkul, saya memutuskan berhenti.
Entah sugesti atau memang beneran groundingnya ngaruh, hari
berikutnya badan terasa lebih enteng. Dengkul tidak lagi menggigit sekeras
sebelumnya. Saya belum kembali ngantor, tapi sudah tidak rebahan. Bahkan
menjelang sore saya kembali bersih-bersih rumah. Kejutannya, ketika tanpa
sengaja jongkok, ternyata dengkul tidak protes. Meski ketika berdiri masih
terasa nylekit, tapi menurut saya, sudah lebih mendingan.
Setelah grounding saya lanjutkan, badan terasa semakin segar
– kecuali capek dan pegelnya, masih setia menjadi menu harian, tapi seperti
sebelumnya, gampang saya abaikan. Dengkul juga semakin ramah. Bisa jadi memang
hanya sugesti, bodo amat. Saya memilih menikmati saja apapun yang
terjadi, ketimbang terlalu banyak mikir lalu berujung stres.
Saya tidak lagi perduli apakah grounding benar-benar
menyembuhkan, atau sekadar membantu tubuh mengingat cara alaminya untuk pulih.
Tapi setiap kali menapak rumput tanpa alas, saya merasa seperti sedang
tersambung kembali — bukan hanya dengan bumi, tapi juga dengan diri sendiri. Mungkin,
disaat tidak muda lagi seperti sekarang, itulah bentuk kesehatan yang paling
jujur: bukan bebas sakit, melainkan bisa berdamai dengan tubuh, apa adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar