06 Oktober 2025

Kembali Menapak Bumi

Beberapa hari berturut-turut hujan turun—pagi dan sore. Meskipun kebanyakan hanya gerimis, karena enggan basah-basahan dan mengingat kondisi fisik tidak lagi sekuat dulu, saya memilih mengganti jalan kaki keliling lapangan dengan nggenjot sepeda statis di rumah

Masalahnya, ketika hujan kagetan berhenti, dan hari-hari kembali cerah, saya terlanjur merasa nyaman nggenjot sepeda dan mulai kambuh malas ke lapangan. Awalnya saya pikir, sama-sama olah-raga, keringat tetap keluar. Tapi pada hari ke sebelas tubuh mulai memberi sinyal: badan terasa lebih berat, lebih pegel dan sering sakit kepala. Hari ke tiga belas saya tumbang. Seluruh badan nyeri, terutama di dengkul. Agak siang sedikit, ditambah demam dan migrain.

Sempat punya niat ke dokter. Saya tunda karena dari catatan harian, tidak ada kebiasaan makan, minum maupun aktifitas lain yang berubah, kecuali mengganti jalan kaki dengan nggenjot sepeda. Saya mulai berpikir, jangan-jangan akibat saya berhenti grounding. Karena sejak nggenjot sepeda, hanya aktifitas itu yang sama sekali tidak saya lakukan.

Saya jadi teringat pengalaman sekitar enam belas tahun lalu, awal saya mulai merasa gampang capek, salah satu teman yang pernah sama-sama berlatih olah nafas memberi saran, supaya saya kembali latihan. Alih-alih nurut, saya memilih ke dokter. Hasilnya, tidak lama kemudian saya rutin menenggak segenggam obat, tiga kali sehari.

Pandemi tanpa sengaja memaksa saya berhenti minum obat. Meski tidak tahu apakah saya beneran kembali sehat atau hanya sekedar lebih kuat menahan capek dan pegel yang sudah menjadi menu harian, saya memilih bertahan tanpa obat. Saya hanya tahu, sejak pandemi berakhir, nyeri di dada kiri, vertigo, sesak nafas, bengkak di kaki, kram yang dulu selalu kambuh setiap kali telat minum obat, tidak pernah muncul lagi. Itu sudah lebih dari cukup bagi saya sebagai alasan untuk menganggap tubuh sedang belajar pulih dengan caranya sendiri.

Sejak rutin jalan kaki keliling lapangan, saya merasa semakin baik. Hanya ada masalah baru di makanan. Apapun yang saya makan, sedikit saja berlebihan, tubuh bakal memberi tanda secara signifikan. Entah kencing jadi bau, lebih capek, atau lebih sulit konsentrasi. Tapi semua kembali “normal” setelah saya jeda dari makanan tertentu selama beberapa hari.

Dengan kondisi badan masih berat, sakit di sekujur tubuh, pusing dan sedikit sempoyongan, saya paksa kembali jalan kaki nyeker di rumput lapangan. Awalnya hanya kuat 3 putaran. Itupun sudah sangat memaksa. Dengkul protes keras. Tapi saya tidak segera pulang. Hanya istirahat, lesehan di pinggir lapangan.

Ketika dua lagu di headphone selesai, saya mencoba jalan lagi. Dua putaran, lalu istirahat kembali. Meskipun setelah istirahat berikutnya saya merasa masih mampu ngider, demi dengkul, saya memutuskan berhenti.

Entah sugesti atau memang beneran groundingnya ngaruh, hari berikutnya badan terasa lebih enteng. Dengkul tidak lagi menggigit sekeras sebelumnya. Saya belum kembali ngantor, tapi sudah tidak rebahan. Bahkan menjelang sore saya kembali bersih-bersih rumah. Kejutannya, ketika tanpa sengaja jongkok, ternyata dengkul tidak protes. Meski ketika berdiri masih terasa nylekit, tapi menurut saya, sudah lebih mendingan.

Setelah grounding saya lanjutkan, badan terasa semakin segar – kecuali capek dan pegelnya, masih setia menjadi menu harian, tapi seperti sebelumnya, gampang saya abaikan. Dengkul juga semakin ramah. Bisa jadi memang hanya sugesti, bodo amat. Saya memilih menikmati saja apapun yang terjadi, ketimbang terlalu banyak mikir lalu berujung stres.

Saya tidak lagi perduli apakah grounding benar-benar menyembuhkan, atau sekadar membantu tubuh mengingat cara alaminya untuk pulih. Tapi setiap kali menapak rumput tanpa alas, saya merasa seperti sedang tersambung kembali — bukan hanya dengan bumi, tapi juga dengan diri sendiri. Mungkin, disaat tidak muda lagi seperti sekarang, itulah bentuk kesehatan yang paling jujur: bukan bebas sakit, melainkan bisa berdamai dengan tubuh, apa adanya.

Tidak ada komentar: