26 Oktober 2025

Digital Dopamin dan Otak yang Lupa Menikmati Proses

Hunting Foto

Belakangan ini saya kembali merasa sedikit malas. Tidak parah, tapi cukup terasa — terutama ketika niat membaca, menulis atau memeriksa laporan pajak mulai kalah oleh dorongan untuk menonton video pendek.

Diantara banyak macam tayangan, ternyata saya paling sering nonton video Dhar mann — video pendek yang punya pola mirip: ada yang bikin onar, lalu kena batunya.

Awalnya saya pikir, saya suka karena ceritanya seru. Tapi lama-lama saya sadar, yang membuat saya ingin selalu nonton, bukan ceritanya, melainkan rasa puas melihat keadilan ditegakkan. Sayapun mulai pensaran,  kenapa rasa puas itu begitu kuat? Apakah hanya karena saya butuh hiburan, atau ada sesuatu yang membuat otak suka?

Tanpa perlu diminta, otak memberikan jawabnya: dopamin.

Saya pernah membaca, dopamin bukan sekadar “hormon bahagia”, melainkan zat kimia yang membuat otak merasa “mendapat hadiah”. Setiap kali kita melihat sesuatu yang memuaskan — termasuk orang jahat kena batunya — hormon dopamin dilepaskan. Para peneliti menyebutnya justice reward — kepuasan moral yang membuat kita senang ketika keadilan ditegakkan. Jadi bukan cuma tubuh yang senang, moralitas di dalam diri ikut bersorak.

Dhar mann dan banyak konten kreator lain, sepertinya menyadari benar kondisi itu. Mereka menjadikannya sebagai alat untuk mengikat penonton supaya selalu kembali — dan terus kembali menikmati video-videonya, tanpa merasa bosan, meskipun alur ceritanya sama dan mudah ditebak.

Masalah mulai muncul ketika kecanduan itu pelan-pelan menggerogoti semangat saya untuk melakukan aktifitas lain. Bermula dari sekadar menunda, sampai kemudian saya mendapati keadaan kembali seperti dulu: banyak pekerjaan terbengkalai, dan disiplin mulai luntur.

Otak saya rupanya mulai menikmati kenyamanan instan — cukup scroll, tanpa harus berbuat apa-apa, dan  mulai menolak aktivitas yang membutuhkan effort. Semua menjadi terasa berat, terutama karena tidak ada reward instan, dan hasilnya lambat.

Kalau dulu saya menikmati proses — menulis paragraf demi paragraf, memeriksa ulang kata, lalu merasa lega ketika satu tulisan selesai — kini saya lebih mudah terdistraksi. Rasanya seperti otak sedang berkata: “Ngapain repot-repot?”

Tentu saja saya tidak menyalahkan Dhar mann — video videonya memberi pelajaran moral yang baik. Tapi saya sadar, terlalu banyak dopamin instan membuat otak lupa cara menikmati proses yang panjang dan pelan. Saya mulai kehilangan minat pada hal-hal yang dulu menenangkan, seperti blusukan hunting foto, membaca di teras sore hari, atau menulis catatan kecil. Sekarang, begitu ada waktu senggang, tangan ini refleks mencari ponsel.

Ternyata fenomena itu tidak hanya menimpa diri saya sendiri. Banyak orang, tanpa sadar, juga mengalami, dan bukan lagi sekedar kecanduan video ala Dharman, melainkan sudah menjadi kecanduan pada perangkat digital. Dari sana lahir istilah digital dopamine,  pelepasan hormon dopamin secara instan di otak, yang dipicu oleh interaksi dengan teknologi dan media digital seperti media sosial, game online, atau notifikasi.

Setelah merenung cukup lama, saya menemukan dua pemicu utama yang membuat saya seperti kecanduan:

1.      1.    Like, komentar, dan notifikasi.
2.    Video viral atau unggahan populer yang memberikan sensasi kesenangan singkat.

Tanpa sadar, akvitas digital membuat otak saya mengalami semacam pemrograman ulang, dan semakin masif setelah saya mulai beralih nonton video pendek. Logika saya menganggap aktivitas itu sekedar iseng saja. Durasinya pendek, dianggap tidak menyita waktu, kontennya ringan, bahkan kadang lucu. Saya tidak tahu, bahwa aktivitas pendek, yang dilakukan sambil lalu, tapi berulang dalam frekuensi lumayan sering, justru punya pengaruh lebih dalam terhadap otak.

Ditambah lagi, tema yang random membuat otak menjadi keranjang sampah digital, menampung apa saja, tanpa filter, tanpa skala prioritas. Akibatnya, sulit fokus, sulit tenang, dan semakin sulit menikmati proses panjang yang dulu justru menjadi sumber kepuasan sejati.

Sekarang, meskipun saaya sudah tahu dampaknya, dan berusaha memperbaiki, ternyata tidak gampang. Butuh usaha lebih keras dibanding bangun jam 3.30 pagi.

Saya mulai berpikir, sudah saatnya untuk kembali memperlambat langkah. Berhenti sejenak dari banjir dopamin digital, dan kembali menikmati rasa yang tumbuh perlahan: rasa lega setelah menulis satu halaman, rasa damai menatap langit sore, rasa syukur saat nyeruput kopi tanpa distraksi notifikasi.

Sepertinya, itulah hadiah sejati yang dulu saya nikmati tanpa sadar — bukan dari layar, tapi dari kehidupan yang berlangsung apa adanya.

Lucunya, setelah berpuluh tahun terbiasa menjalani proses, sekarang, saya harus belajar lagi cara menikmati proses yang pelan, dan memberi kesempatan pada otak untuk tenang tanpa diganggu hadiah instan.

Tidak ada komentar: