![]() |
Rasa penasaran itu kemudian membawa saya pada penjelajahan
intelektual yang tak terduga. Dengan bantuan AI, saya menjangkau lebih banyak
sumber referensi baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Tidak hanya mendalami penjelasan
lengkap tentang pernafasan dalam, tapi juga diperkenalkan pada konsep grounding
— teknik menyatukan diri dengan alam untuk meredakan kecemasan.
Terakhir, saya mendapatkan penjelasan sangat rinci
tentang tapping atau Emotional Freedom Techniques (EFT). Terapi yang
dulu saya anggap sekadar tren populer berbalut afirmasi manis dan efek plasebo
belaka, ternyata memiliki dasar neurologis yang dapat dijelaskan.
Semakin banyak saya membaca dan mencoba, saya semakin mengerti
bahwa tubuh dan pikiran ternyata jauh lebih terhubung daripada yang saya kira. Semakin
banyak saya membaca dan mencoba, saya semakin mengerti
bahwa tubuh dan pikiran ternyata jauh lebih
terhubung daripada yang saya kira. Kondisi kesehatan saya yang sekarang
bisa dibilang “berantakan” ini, sepertinya bukan semata-mata karena pola makan
dan minum yang asal nuruti lidah, atau kebiasaan minum suplemen secara
ugal-ugalan. Melainkan karena saya membiarkan tubuh merusak dirinya sendiri
melalui emosi yang tidak terkontrol.
Emosi, seperti yang kemudian saya pahami, punya peran luar
biasa dominan terhadap kondisi tubuh. Emosi negatif yang dipendam, dan seringkali
tanpa disadari, adalah racun yang bekerja secara perlahan. Menggerogoti energi
mental, memicu stres kronis, dan pada akhirnya mengacaukan keseimbangan
hormon-hormon dalam tubuh. Dampak berantainya, sistem kekebalan tubuh melemah,
dan risiko penyakit kronis seperti gangguan jantung, hipertensi, hingga kanker
pun meningkat. Bahkan, pikiran yang gelisah dan tak tenang bisa menjelma
menjadi gejala fisik yang nyata, seperti gangguan pencernaan (IBS), sakit
kepala, atau rasa lelah kronis yang tak kunjung hilang meski tidur sudah cukup.
Pemahaman ini juga membuat saya memandang efek plasebo dari
sisi yang baru. Bukan sekadar “khayalan semata”, melainkan respons fisiologis
nyata yang dipicu oleh harapan positif. Ketika seseorang sungguh-sungguh percaya
bahwa suatu tindakan terapi akan menyembuhkan, otak merespons dengan melepaskan
koktail neurokimiawi seperti endorfin, dopamin, serotonin, dan oksitosin, yang
secara aktif meredakan nyeri, membuat pikiran lebih tenang, dan menciptakan
rasa nyaman secara emosional.
Sekarang saya paham, mengapa dulu dokter memberi saran
supaya saya juga konsultasi ke psikolog. Untuk kondisi saya saat itu, pengobatan
medis tidak akan banyak memberi manfaat – bahkan kemudian membuat saya semakin
jauh dari sehat, karena emosi yang menjadi biang kekacauan belum ditangani dan
diperbaiki.
Mungkin suatu saat nanti saya akan kembali ke dokter, tapi
bukan sekarang. Berurusan dengan emosi tidak segampang nyomot tempe dari
piring. Tubuh saya yang sudah ringkih ini perlu disiapkan dulu, supaya kuat
menerima bantuan dari luar.
Sementara saya belajar berdamai dengan emosi, saya memilih
menggunakan pernafasan dalam, grounding dan tapping terlebih dahulu. Bukan
untuk sembuh, tapi untuk merawat diri sembari membantu tubuh mendapatkan keseimbangan
baru.
Pemahaman terhadap kerja hormon dan keterkaitan emosi
terhadap aktifitas otak membuat saya tidak lagi memerlukan afirmasi. Saya tahu,
ketika satu titik tertentu di tubuh diberi stimulasi, akan berpengaruh terhadap
aktifitas otak, dan menimbulkan reaksi berantai ke seluruh tubuh. Yang perlu
saya lakukan hanya tenang, tidak sambat, dan tidak memaksakan sesuatu terjadi.
Tubuh punya caranya sendiri.
Apakah benar Emotional Freedom Techniques (EFT) bisa mengubah
nasib? Saya belum berpikir ke arah sana. Untuk saat ini, saya memilih fokus pada
kondisi fisik terlebih dahulu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar