Kadang, niat baik orang lain bisa berubah jadi ujian kesabaran — terutama ketika yang disebut “kepedulian” datang tanpa mempertimbangkan situasi yang sebenarnya. Saya baru benar-benar menyadarinya ketika Yuni, istri saya, menjalani masa pemulihan setelah kolostomi dan biopsi.
Ketika mendengar istri saya selesai menjalani “operasi”,
banyak teman-teman salah paham. Disangkanya yang dioperasi adalah kankernya,
padahal baru biopsi dan kolostomi. Setelah mendengar kabar bahwa Yuni sudah
pulang, beberapa langsung berniat menjenguk.
Rencana kunjungan itu sempat membuat saya bingung. Saya tahu
niat teman-teman baik, tapi memberi ijin orang menjenguk berarti membuka
peluang resiko. Kondisi Yuni belum benar-benar pulih. Pandemi juga belum
dinyatakan berakhir – himbauan mengenakan masker dan jaga jarak belum dicabut.
Operasi di bagian bawah membuat Yuni belum bisa duduk.
Artinya, saya harus mengijinkan tamu masuk kamar tidur. Kalau hanya satu atau
dua orang, mungkin masih bisa diatur. Tapi biasanya, ibu-ibu datang rombongan, dan
jam datangnya tidak bisa diprediksi.
Akhirnya saya terpaksa mengambil keputusan yang tidak
populer: tidak menerima tamu.
Sebelum ada yang terlanjur datang, saya kabarkan bahwa untuk
sementara pasien belum bisa ditengok, karena masih harus mempersiapkan diri untuk
operasi besarnya.
Reaksinya beragam. Kebanyakan paham – entah betulan atau
basa-basi, saya tidak perduli. Tapi ada juga yang terang-terangan nyinyir.
“Orang sakit biasanya senang ditengok. Ini malah tidak boleh. Aneh!”
Ya sudah, bodo amat.
Satu kesulitan bisa diatasi. Tidak ada tamu berkunjung. Bahkan
selain teman-teman dekat, tidak ada lagi yang menanyakan kabar. Ada yang
bilang, kami mendapat hukuman sosial. Tapi bagi saya, malah kebetulan. Saya dan
anak bisa fokus merawat pasien tanpa rangkap tugas menjadi juru bicara. Tidak
perlu berulangkali memberi penjelasan untuk hal yang sama pada setiap orang.
Suatu ketika, seseorang menegur saya, menganggap saya
mengabaikan perasaan Yuni. “Kamu pikir kelakuanmu itu tidak jadi beban pikiran
bagi istrimu? Kamu pikir istrimu tidak malu?”
Saya sempat terdiam.
Tapi lalu saya ingat, ada dua bekas luka panjang. Satu di
bagian anus, satu lagi di perut, masih basah – dan tentunya juga perih. Obat
pereda nyerinya MST Continus 15 mg, mengindikasikan derajad nyerinya bukan lagi
setara sakit gigi.
Selain itu, Yuni juga gampang alergi. Tamu bisa saja tanpa
sengaja membawa aroma parfum yang memicu alergi, atau malah debu dan kuman.
Jadi, apa yang salah kalau saya melindunginya?
Tapi biar adil, saya bertanya pada Yuni, apakah dia
keberatan tamunya saya tolak? Ternyata dia lebih suka kalau istirahatnya tidak
diganggu.
Bagi saya, jawaban itu sudah lebih dari cukup.
Belakangan datang lagi ujian kecil dalam bentuk lain. Salah
satu teman ngirim bingkisan berupa makanan, lauk, kue dan buah, dalam jumlah
besar. Makanan awetan dan buah mestinya bisa masuk kulkas. Masalahnya, dua
kulkas di rumah sudah terisi penuh kiriman serupa sebelumnya.
Langsung dimakan habis juga tidak mungkin. Selain jumlahnya terlalu banyak, saya sedang diet
ketat, menu makan Yuni juga masih dibatasi. Tinggal anak semata wayang,
satu-satunya yang masih bebas makan apapun. Tapi dia terlanjur eneg dijejali
kiriman-kiriman terdahulu.
Akhirnya, biar tidak basi lalu terbuang percuma, semua
bingkisan itu terpaksa dibagi-bagi ke siapa saja yang bersedia menerima.
Celakanya, entah bagaimana, teman itu tahu. Sayapun disindir
habis-habisan di Facebook. Kali ini muka badak saya tidak berdaya mengabaikan
teguran hati. Secuek apapun, saya tetap tidak bisa mengabaikan perasaan
bersalah. Saya temui dia, saya minta maaf. Tapi sampai hari ini tidak sepatah
katapun keluar dari mulutnya.
Kadang, kepedulian bisa berubah jadi beban, kalau tidak
disertai pengertian. Di sisi lain, mungkin saya juga harus belajar menerima
kebaikan orang tanpa terlalu sibuk mengatur arah niatnya. Tapi kalau harus
memilih, antara menjaga perasaan orang dan menjaga kesehatan istri, saya tetap
akan memilih yang kedua. Karena pada akhirnya, empati yang sejati bukan soal
datang menjenguk atau memberi bingkisan, tapi mampu memahami kapan harus
memberi ruang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar