15 Oktober 2025

Antara Kepedulian dan Kerepotan Sosial

 Kadang, niat baik orang lain bisa berubah jadi ujian kesabaran — terutama ketika yang disebut “kepedulian” datang tanpa mempertimbangkan situasi yang sebenarnya. Saya baru benar-benar menyadarinya ketika Yuni, istri saya, menjalani masa pemulihan setelah kolostomi dan biopsi.

Ketika mendengar istri saya selesai menjalani “operasi”, banyak teman-teman salah paham. Disangkanya yang dioperasi adalah kankernya, padahal baru biopsi dan kolostomi. Setelah mendengar kabar bahwa Yuni sudah pulang, beberapa langsung berniat menjenguk.

Rencana kunjungan itu sempat membuat saya bingung. Saya tahu niat teman-teman baik, tapi memberi ijin orang menjenguk berarti membuka peluang resiko. Kondisi Yuni belum benar-benar pulih. Pandemi juga belum dinyatakan berakhir – himbauan mengenakan masker dan jaga jarak belum dicabut.

Operasi di bagian bawah membuat Yuni belum bisa duduk. Artinya, saya harus mengijinkan tamu masuk kamar tidur. Kalau hanya satu atau dua orang, mungkin masih bisa diatur. Tapi biasanya, ibu-ibu datang rombongan, dan jam datangnya tidak bisa diprediksi.

Akhirnya saya terpaksa mengambil keputusan yang tidak populer: tidak menerima tamu.

Sebelum ada yang terlanjur datang, saya kabarkan bahwa untuk sementara pasien belum bisa ditengok, karena masih harus mempersiapkan diri untuk operasi besarnya.

Reaksinya beragam. Kebanyakan paham – entah betulan atau basa-basi, saya tidak perduli. Tapi ada juga yang terang-terangan nyinyir. “Orang sakit biasanya senang ditengok. Ini malah tidak boleh. Aneh!”

Ya sudah, bodo amat.

Satu kesulitan bisa diatasi. Tidak ada tamu berkunjung. Bahkan selain teman-teman dekat, tidak ada lagi yang menanyakan kabar. Ada yang bilang, kami mendapat hukuman sosial. Tapi bagi saya, malah kebetulan. Saya dan anak bisa fokus merawat pasien tanpa rangkap tugas menjadi juru bicara. Tidak perlu berulangkali memberi penjelasan untuk hal yang sama pada setiap orang.

Suatu ketika, seseorang menegur saya, menganggap saya mengabaikan perasaan Yuni. “Kamu pikir kelakuanmu itu tidak jadi beban pikiran bagi istrimu? Kamu pikir istrimu tidak malu?”

Saya sempat terdiam.

Tapi lalu saya ingat, ada dua bekas luka panjang. Satu di bagian anus, satu lagi di perut, masih basah – dan tentunya juga perih. Obat pereda nyerinya MST Continus 15 mg, mengindikasikan derajad nyerinya bukan lagi setara sakit gigi.

Selain itu, Yuni juga gampang alergi. Tamu bisa saja tanpa sengaja membawa aroma parfum yang memicu alergi, atau malah debu dan kuman. Jadi, apa yang salah kalau saya melindunginya?

Tapi biar adil, saya bertanya pada Yuni, apakah dia keberatan tamunya saya tolak? Ternyata dia lebih suka kalau istirahatnya tidak diganggu.

Bagi saya, jawaban itu sudah lebih dari cukup.

Belakangan datang lagi ujian kecil dalam bentuk lain. Salah satu teman ngirim bingkisan berupa makanan, lauk, kue dan buah, dalam jumlah besar. Makanan awetan dan buah mestinya bisa masuk kulkas. Masalahnya, dua kulkas di rumah sudah terisi penuh kiriman serupa sebelumnya.

Langsung dimakan habis juga tidak mungkin. Selain jumlahnya terlalu banyak, saya sedang diet ketat, menu makan Yuni juga masih dibatasi. Tinggal anak semata wayang, satu-satunya yang masih bebas makan apapun. Tapi dia terlanjur eneg dijejali kiriman-kiriman terdahulu.

Akhirnya, biar tidak basi lalu terbuang percuma, semua bingkisan itu terpaksa dibagi-bagi ke siapa saja yang bersedia menerima.

Celakanya, entah bagaimana, teman itu tahu. Sayapun disindir habis-habisan di Facebook. Kali ini muka badak saya tidak berdaya mengabaikan teguran hati. Secuek apapun, saya tetap tidak bisa mengabaikan perasaan bersalah. Saya temui dia, saya minta maaf. Tapi sampai hari ini tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya.

Kadang, kepedulian bisa berubah jadi beban, kalau tidak disertai pengertian. Di sisi lain, mungkin saya juga harus belajar menerima kebaikan orang tanpa terlalu sibuk mengatur arah niatnya. Tapi kalau harus memilih, antara menjaga perasaan orang dan menjaga kesehatan istri, saya tetap akan memilih yang kedua. Karena pada akhirnya, empati yang sejati bukan soal datang menjenguk atau memberi bingkisan, tapi mampu memahami kapan harus memberi ruang.

Tidak ada komentar: