![]() |
| Closeup puncak Merapi dari Bronggang |
Di salah satu kopdar kecil penggemar fotografi, kehadiran saya sangat mencolok. Selain paling tua, saya nggendong back pack volume 45 liter – berisi bekal komplit, tripod terikat di bagian bawah dan matras kecil nyelip di bagian atas, saya nyangklong tas kamera ukuran jumbo dan nenteng kursi lipat. Mirip pedagang obat keliling di alun-alun jaman dulu – segala perabotan diangkut. Tinggal dilengkapi toa, dan saya bisa langsung jualan jamu.
Begitu acara berburu obyek dimulai, dua kamera saya langsung
bikin heboh. Bukan lantaran antik atau mahal, melainkan karena ukurannya
terlalu besar untuk untuk jaman di mana kamera mirrorless dan ponsel pintar
sudah jadi raja.
Canon 650Dnya masih mending. Meskipun sudah jadul, posturnya
tidak gede-gede amat. Tapi kamera satunya, Nikon P900, kalau diletakkan jejeran
dengan kamera mirrorless, mirip bulldog duduk sebelahan anak kucing.
“Ih, gede amat.” Tiba-tiba salah satu teman kopdar, gadis
seumuran mahasiswa, nyeletuk. Suasana langsung riuh, menanggapi kalimat yang
kemudian sengaja dipelesetkan.
“Eeeehhh, maksud gua kameranyaaaa!!!!” si bocah berusaha
meluruskan pikiran penceng orang-orang, tapi yang terjadi kemudian, malah
membuat yang lain jadi semakin iseng. Ketika jari lentiknya menggeser tombol
zoom, dan dia melihat lensa modot – menjulur panjang, mulut imutnya
spontan nyeplos, “Laahhh, pan ……ja …… nggg”. Meskipun, setelah sadar, suaranya
buru-buru dipelankan, semua terlanjur ngakak.
Saya masih menggunakan kamera jadul bukan karena sok klasik,
melainkan murni soal realisme finansial dan logika. Pindah ke mirrorless butuh
dana tidak sedikit. Beli body saja mungkin masih bisa diusahakan. Masalahnya, kalau
sudah terlanjur gatel tangan seperti saya, tidak bakal puas hanya menggunakan
lensa 18-55mm. Minimal, harus tersedia
pula lensa fix 50mm f 1.8 dan tele 70-300mm. Apesnya, mirrorless idaman tidak
kompatibel dengan koleksi lensa saya. Ketimbang buang duit dan nanti malah
menyesal, mending belanjanya ditunda dulu.
Selain DSLR, saya masih setia pada kamera prosumer. Sebelumnya saya memakai FujiFilm HS 10, yang memiliki optical zoom sampai 30 kali, atau setara 720mm. Tahun 2017, saya ganti dengan Nikon P900. Saya memilih kamera “pemburu bulan” ini, selain harganya tidak membuat saya diomelin istri, zoomnya yang bisa mentok sampai 80 kali atau setara 2000mm, membuat P900 mampu memotret permukaan bulan sama jelasnya dengan melihat mangga di atas meja.
Tapi bukan bulan yang jadi obsesi saya — melainkan puncak Merapi. Entah kenapa, puncak yang hanya berwujud bongkahan batu itu selalu membuat saya penasaran. Dengan kamera HS10 sebenarnya sudah bisa mendapatkan foto closeup puncak. Tapi, dengan zoom hanya 30 kali, saya harus motret pada jarak relatif dekat. Banyak detail puncak bagian atas, yang hanya nampak dari jauh, tidak terlihat di kamera.
Sejak beralih ke P900, segalanya berubah. Saya bisa motret closeup puncak dari atas sabo
dam Bronggang, yang berjarak sekitar 15km dari kawah Merapi, dengan detail yang
tajam dan jernih. Disamping tidak perlu menempuh jarak lebih jauh sampai kaki
gunung, selisih 10an km membuat saya puya lebih banyak peluang ketemu momen
ketika puncak belum tertutup awan. Dan tidak perlu buru-buru ngacir saat Merapi
mendadak erupsi freatik.
Sekarang P900 punya adik P1000, dan yang terbaru P1100.
Zoomnya lebih mantap, bisa sampai 125 kali atau setara 3000mm. Bahkan P1100
punya fitur khusus untuk bird watching dan motret kembang api. Sempat pengin
ganti, tapi ternyata harganya lebih mahal ketimbang motor bebek baru.
Kadang saya berpikir, kamera hanyalah perpanjangan dari cara saya memandang hidup. Menggunakan perangkat baru atau lama, hasilnya tergantung orang di balik lensa. Kamera jadul saya memang kalah canggih dari mirrorless modern, tapi mereka sudah menampung banyak cerita di lapangan, tawa di kopdar, keheningan di sabo dam, dan rasa takjub tiap kali memandang Merapi
Mungkin benar kata pepatah: “Lensa boleh tua, mata harus tetap tajam.”
Dan selama mata ini masih mampu melihat keindahan dalam hal-hal
sederhana—seperti batu di puncak gunung atau senyum spontan seorang teman—maka
kamera apa pun yang saya pegang akan tetap mampu bercerita.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar