Kurir paket sempat berjalan beberapa langkah. Mendadak berhenti, balik badan menghadap saya, lalu bertanya, “Bapak percaya apa tidak kalau halaman yang kotor membuat rejeki seret?”
Saya spontan menengok ke sekeliling. Halaman rumah saya memang seperti kapal karam, kotor dan berantakan. Daun-daun
kering berserakan, bercampur potongan ranting dan dahan dari pohon yang minggu
lalu ditebang. Di bawah pohon mangga, beberapa lembar seng dan atap fiber
transparan bekas ganti juga masih teronggok, nyender pagar, seolah menunggu
keajaiban untuk menghilang.
Saya mengalami kesulitan membuang sampah-sampah itu. Tukang
sampah menolak membawa, meskipun saya menawarkan uang tambahan, dengan alasan
motor gebobagnya hanya kecil.
Pertanyaan kurir sempat membuat saya plonga-plongo. Saya
tidak tahu arah pertanyaan itu ke mana. Dia hanya nyindir, menegur, atau memang
serius?
Tapi entah kenapa, mulut saya malah punya jawaban sendiri:
“Sepertinya, kondisi lingkungan rumah adalah cerminan dari batin penghuninya.”
Begitu selesai bicara, saya langsung meringis. Kalimat itu seolah
memantul kembali, menusuk saya sendiri.
Penghuninya kan saya?
Kurir itu termenung sejenak, lalu kembali bertanya dengan
polos, “Apakah rejeki Bapak seret?”
What the hell …….. Dalam hati saya mengumpat, sekaligus
geli. Entah kurir itu lugu atau bego, tapi saya tidak punya alasan untuk merasa
diolok-olok.
Penginnya, setiap selesai bersih-bersih, sampah langsung
bisa dibuang. Masalahnya, sejak beberapa tahun belakangan, buang sampah tidak lagi
segampang era “penak jamanku to?” Dulu tukang sampah ngider tiap hari. Sekarang
sebulan diambil 4 kali saja sudah beruntung. Itupun sangat dibatasi. Sampah
daun dan ranting ditolak. Apalagi kalau yang akan dibuang komplit dengan dahan
yang lebih besar dari lengan orang obesitas.
Lepas dari sulitnya buang sampah, saya tidak akan ngeles
bahwa belakangan ini pikiran saya memang sedikit sumpeg tanpa alasan jelas.
Sejak kejadian itu, setiap malam menjelang tidur, saya
luangkan waktu untuk mengingat kembali kejadian-kejadian sebelumnya, barangkali
ada masalah yang terlewat, sehingga menyebabkan saya merasa sumpeg.
Sepertinya tidak ada. Semua masalah teridentifikasi jelas,
dan saya mampu mengalihkan tekanan batin menjadi energi untuk mencari
solusinya.
Suatu malam di pertemuan warga kampung, seseorang bertanya,
mengapa pohon yang saya tebang tidak segera dibuang? Saya diingatkan kalau tumpukan
daun dan ranting yang kering sangat rentan terbakar.
Aaahhh, ternyata ini biang kerok yang menyebabkan saya
suntuk. Sudah sejak lama saya kuwatir terhadap resiko itu. Sebagai solusi sementara,
setiap hari timbunan daun dan dahan saya guyur air. Rupanya, rasa kuwatir yang
saya anggap bisa diatasi itu nyelip di otak, menjadi semacam duri dalam daging.
Mengusik ketenangan.
Bila kepentok jalan buntu, saya punya cara sedikit aneh
untuk mencari solusi. Saya bayangkan masalahnya sebagai orang yang sedang gusar.
Wajahnya muram, matanya menyala-nyala dalam diam. Lalu saya berkata, “Jangan cuma marah. Bantu
aku menyelesaikannya.”
Mungkin terdengar konyol, tapi cara ini sering manjur. Tentu
saja solusi tidak datang dalam gagasan utuh dan siap pakai, melainkan berupa
petunjuk yang kadang jelas, kadang tersamar. Semacam bisikan halus yang
mengarahkan langkah
Kali ini, petunjuk datang lebih cepat dari biasanya.
Setelah membuang bayangan orang marah, saya berniat masuk
rumah lewat pintu belakang. Menjelang membuka pintu dapur, saya melihat tas
kresek hitam tergeletak di lantai. Saya tidak perlu repot bertanya, siapa yang
meletakkan di situ. Biasanya saya sendiri yang lupa memberesi.
Di dalam tas ukuran 5 kilo itu terdapat satu gergaji lipat
dan gunting tanaman yang biasa saya gunakan untuk memangkas dahan.
Seperti kena hipnotis, saya bawa tas dan isinya menuju
tumpukan daun dan ranting. Saya jongkok, meraih satu ranting seukuran jempol
kaki, membuka lipatan gergaji, lalu memotong ranting menjadi beberapa potongan
kecil sepanjang kira-kira dua ruas jari.
Satu ranting selesai dimutilasi, tangan pegel. Tapi justru saat itu
saya kesandung “Aha moment”. Mendadak muncul gagasan yang jelas.
Saya bergegas menuju gudang, mengambil gunting dahan elektrik dan karung 25
kiloan bekas kantong beras yang disimpan rapi oleh istri saya. Dalam waktu
kurang dari 3 jam, seluruh ranting dan dahan dengan diameter sampai 3 cm sudah
terpotong dan teronggok rapi di dalam karung. Daun-daun juga saya perlakukan
sama. Dipetik, lalu ditata satu-satu di tas kresek, baru dimasukkan karung.
Karena ringkas dan tidak morat-marit, tukang sampah tidak lagi menolak.
Ternyata, kadang solusi bukanlah hal besar yang datang dari
langit, melainkan gagasan sederhana yang muncul saat kita berhenti mengeluh dan
mulai bertindak.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar