07 Oktober 2025

Media Sosial Bukan Monopoli Generasi Muda


Dulu hidup terasa lebih sederhana. Kalau mau tahu kabar, tinggal nonton TV atau baca koran. Berita datang pelan-pelan, bisa dicerna sambil ngopi. Sekarang, kabar datang dari segala arah — cepat, bising, dan kadang bikin kepala muter.

Di dunia digital, siapa pun bisa jadi wartawan, ahli, bahkan ustaz dadakan. Semua merasa punya hak berkomentar. Kadang saya bingung, mana kabar sungguhan, mana yang cuma hasil jari gatal.

Tapi, setelah sekian belas tahun ikut mondar-mandir di media sosial, saya mulai melihat sisi lain dari dunia digital, terutama setelah saya sendiri masuk kategori “lansia aktif tapi cepat lelah”.

Media sosial tidak melulu tentang mengikuti tren. Setelah aktifitas saya di luar rumah mulai terbatas, medsos menjadi jendela yang memungkinkan saya bisa tetap menjelajah sampai ke ujung dunia.

Ketika pertama kali membuat akun Facebook hampir 20 tahun lalu, saya hanya ingin tahu kabar teman lama. Dari situ, muncul hal-hal kecil yang menyenangkan dan kadang mengejutkan: mendapati teman yang dulunya pendiam dan kurang bergaul, ternyata sudah nggendong cucu duluan - sementara anak saya baru kelas 3 SD, membaca kisah inspiratif orang lain, bahkan menemukan komunitas dengan minat yang sama—fotografi, menulis, hingga berkebun.

Pelan-pelan saya semakin paham, media sosial bukan sekadar tempat berbagi, melainkan tempat untuk tetap merasa nyambung dengan kehidupan. Karena sering kali, seiring umur bertambah, lingkaran sosial kita menyempit: teman pindah domisili, sibuk dengan keluarga masing-masing, atau bahkan sudah tenang di dunia seberang.

Media sosial memberi kesempatan saya untuk tetap hadir dalam percakapan dunia, tanpa harus beranjak dari kursi.

Tentu saja, ada sisi gelapnya. Di media sosial, kabar bohong, gosip, dan provokasi menyebar lebih cepat dari petir di musim kemarau. Terutama sekarang, ketika video mudah direkayasa. Nalar harus benar-benar dipelihara, supaya tidak mudah terbawa emosi atau langsung membagikan sesuatu hanya karena cocok dengan perasaan kita. Hati-hati dan waspada bukan lagi pilihan—melainkan keharusan.

 

Media Sosial Sebagai Ruang Ekspresi Diri

Yang paling saya suka, media sosial memberi ruang untuk menulis, berbagi pengalaman, dan meninggalkan jejak kecil tentang perjalanan hidup. Tempat untuk menumpahkan kenangan, pemikiran, dan refleksi hidup.

Media sosial bisa menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Kita mungkin tidak lagi lincah secara fisik, tapi masih bisa aktif secara makna. Asal digunakan dengan bijak, media sosial bukanlah tempat yang menyesatkan, melainkan ruang untuk tetap merasa hidup, berguna, dan terhubung.

Jadi kalau ada yang bertanya, “Ngapain orang tua main media sosial?”, saya nyengir saja sambil menjawab, “Biar orang tahu kalau saya masih hidup.”

Tidak ada komentar: