Dulu hidup terasa lebih sederhana. Kalau mau tahu kabar, tinggal nonton TV atau baca koran. Berita datang pelan-pelan, bisa dicerna sambil ngopi. Sekarang, kabar datang dari segala arah — cepat, bising, dan kadang bikin kepala muter.
Di dunia digital, siapa pun bisa jadi wartawan, ahli, bahkan
ustaz dadakan. Semua merasa punya hak berkomentar. Kadang saya bingung, mana
kabar sungguhan, mana yang cuma hasil jari gatal.
Tapi, setelah sekian belas tahun ikut mondar-mandir di media
sosial, saya mulai melihat sisi lain dari dunia digital,
terutama setelah saya sendiri masuk kategori “lansia aktif tapi cepat lelah”.
Media sosial tidak melulu tentang mengikuti tren. Setelah
aktifitas saya di luar rumah mulai terbatas, medsos menjadi jendela yang memungkinkan
saya bisa tetap menjelajah sampai ke ujung dunia.
Ketika pertama kali membuat akun Facebook hampir 20 tahun
lalu, saya hanya ingin tahu kabar teman lama. Dari situ, muncul hal-hal kecil
yang menyenangkan dan kadang mengejutkan: mendapati teman yang dulunya pendiam
dan kurang bergaul, ternyata sudah nggendong cucu duluan - sementara anak saya
baru kelas 3 SD, membaca kisah inspiratif orang lain, bahkan menemukan
komunitas dengan minat yang sama—fotografi, menulis, hingga berkebun.
Pelan-pelan saya semakin paham, media sosial bukan sekadar
tempat berbagi, melainkan tempat untuk tetap merasa nyambung dengan kehidupan.
Karena sering kali, seiring umur bertambah, lingkaran sosial kita menyempit:
teman pindah domisili, sibuk dengan keluarga masing-masing, atau bahkan sudah tenang
di dunia seberang.
Media sosial memberi kesempatan saya untuk tetap hadir dalam
percakapan dunia, tanpa harus beranjak dari kursi.
Tentu saja, ada sisi gelapnya. Di media sosial, kabar
bohong, gosip, dan provokasi menyebar lebih cepat dari petir di musim kemarau. Terutama
sekarang, ketika video mudah direkayasa. Nalar harus benar-benar dipelihara,
supaya tidak mudah terbawa emosi atau langsung membagikan sesuatu hanya karena
cocok dengan perasaan kita. Hati-hati dan waspada bukan lagi pilihan—melainkan
keharusan.
Media Sosial Sebagai Ruang Ekspresi Diri
Yang paling saya suka, media sosial memberi ruang untuk
menulis, berbagi pengalaman, dan meninggalkan jejak kecil tentang perjalanan
hidup. Tempat untuk menumpahkan kenangan, pemikiran, dan refleksi hidup.
Media sosial bisa menjadi jembatan antara masa lalu dan masa
kini. Kita mungkin tidak lagi lincah secara fisik, tapi masih bisa aktif secara
makna. Asal digunakan dengan bijak, media sosial bukanlah tempat yang
menyesatkan, melainkan ruang untuk tetap merasa hidup, berguna, dan
terhubung.
Jadi kalau ada yang bertanya, “Ngapain orang tua main media
sosial?”, saya nyengir saja sambil menjawab, “Biar orang tahu kalau saya masih
hidup.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar