08 November 2022

Ketika Rasa Nyeri Adalah Alarm yang Tak Boleh Diabaikan

 

nyeri, kanker, wasir, sakit

Saya bukan dokter, hanya seorang suami yang kadang sok tahu, suka berpikir berlebihan, dan mudah panik ketika ada yang tidak beres dengan orang yang saya cintai.

Tapi suatu hari, semua rasa panik itu tiba-tiba menjadi sangat nyata.

Istri saya, Yuni, mulai duduk sambil meringis kesakitan. Jalannya terpincang-pincang dan terlihat tidak nyaman. BABnya begitu menyengat, menembus pintu kamar mandi yang tertutup rapat.

Di situlah, otak saya yang gemar overthinking langsung berulah. "Jangan-jangan, ini kanker?"

Perut saya langsung mual. Jantung berdebar kencang, seolah ingin melompat keluar dari dada. Pikiran saya panik level dewa mabok. Tapi saya mencoba tenang, karena awalnya berasal dari gangguan yang terasa begitu sepele: wasir. Penyakit yang sudah menjadi teman lama Yuni, bahkan sebelum kami menikah tahun 1998.

Dulu, jarang kambuh. Kalau pun terjadi, cukup diobati dengan salep resep dokter atau suppositoria yang dibeli di apotek. Sembuh dalam hitungan hari.

Tapi pandemi mengubah segalanya.

Rumah sakit tiba-tiba berubah menjadi tempat yang paling menakutkan setelah neraka. Yuni sebenarnya ingin konsultasi ke dokter, tapi takut ketularan covid membuat kami memilih untuk mengobati dengan obat tanpa resep.

Kami memilih aman, tapi ternyata salah.

Sejak pertengahan 2020, wasir Yuni semakin sering kambuh. Obat yang biasanya manjur, kali ini hanya numpang lewat.

Yuni mulai mengeluh, merasa tidak nyaman saat duduk. Bukan sakit biasa, tapi seperti ada tekanan di dalam yang tak kunjung reda. Jalanpun berubah, megol-megol Saya sempat tertawa waktu pertama kali melihatnya, tapi tawa itu cepat menghilang ketika saya menyadari, ini bukan lelucon. Ini tanda bahaya.

Saya mulai risih, lalu khawatir, lalu panik. Otak saya langsung masuk ke mode investigasi ala detektif amatir: Apakah ini infeksi? Penyakit usus? Atau… jangan-jangan kanker?

Saya pun terseret ke dalam dunia tebak-tebakan versi horor dengan teori ngawur saya sendiri tentang sel wasir yang "harusnya mati, tapi malah bermutasi." 

Otak saya mulai panik. Hati saya lebih panik lagi, tapi mulut saya masih berusaha denial"Palingan cuma wasir parah."

Kami mencoba berbagai cara alternatif. Mulai dari ramuan herbal yang katanya "ampuh untuk semua penyakit", sampai terapi dari seorang pensiunan tenaga medis yang viral di Facebook—"sembuh tanpa operasi!"

Ada sedikit perbaikan, tapi hanya bertahan tiga hari. Selebihnya malah semakin memburuk. Rasa sakitnya seolah tidak mau kompromi lagi. Yuni tidak bisa tidur nyenyak. Tidak bisa duduk lama. Setiap menit adalah perjuangan.

Sampai akhirnya, saya berkata pada diri sendiri: "Sudah cukup. Tidak bisa dibiarkan."

Selasa sore, 5 Juli 2022. Saya mengantar Yuni ke dokter spesialis bedah wasir, berharap bisa segera ditangani. Tapi yang kami dapatkan jauh lebih menohok daripada yang pernah kami bayangkan.

Setelah pemeriksaan, dokter menatap saya dengan ekspresi serius, lalu menulis satu kata di selembar kertas dengan huruf besar:

KANKER.

Saya lemas. Dunia seolah berhenti berputar. Napas terasa berat. Saya minta ijin agar Yuni keluar dari ruang periksa dulu—saya tidak ingin pikirannya terganggu oleh diagnosa yang belum pasti.

Baru setelah Yuni pergi, dokter menjelaskan dengan tenang, tapi jujur. Ada lesi mencurigakan, perubahan tekstur jaringan, dan pola gejala yang tidak sesuai dengan wasir biasa. Dia merujuk kami ke dokter bedah digestif untuk biopsi dan pemeriksaan lebih lanjut.

Meskipun dokter masih berharap ini hanya kesalahan diagnosa, firasat saya yang kadang sok tahu kali ini malah yakin, dokter tidak keliru.

Wasir bukan penyakit mematikan, tapi ketika gejalanya berubah—menjadi lebih sering, lebih sakit, lebih aneh, bisa jadi merupakan alarm dari tubuh untuk sesuatu yang jauh lebih serius.

Konsultasi ke dokter bukan tanda kelemahan. Justru itu tanda keberanian. Berani menghadapi kenyataan, seburuk apa pun.

Kini, Yuni sedang menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Perjalanan kami masih jauh dari selesai. Kami masih menunggu hasil biopsi, rencana pengobatan, dan keputusan besar di depan. Tapi setidaknya, kami tidak lagi menutup mata.

Saya berharap, tulisan ini bisa menjadi pengingat bagi siapa pun yang sedang mengalami hal serupa:

Dengarkan tubuhmu.
Dengarkan rasa sakitmu.
Dengarkan firasatmu.

Terkadang, gejala kecil adalah teriakan terakhir sebelum badai datang.

Jangan tunggu sampai terlambat.
Kesehatan bukan hal yang bisa ditawar—dan waktu tidak pernah menunggu.

Untuk Yuni, yang masih kuat.
Dan untuk siapa pun yang sedang berjuang: kamu tidak sendiri.


Tidak ada komentar: