Saya bukan dokter, hanya seorang suami yang kadang sok tahu, suka berpikir berlebihan, dan mudah panik ketika ada yang tidak beres dengan orang yang saya cintai.
Tapi suatu hari, semua rasa panik itu tiba-tiba menjadi
sangat nyata.
Istri saya, Yuni, mulai duduk sambil meringis kesakitan.
Jalannya terpincang-pincang dan terlihat tidak nyaman. BABnya begitu menyengat,
menembus pintu kamar mandi yang tertutup rapat.
Di situlah, otak saya yang gemar overthinking langsung
berulah. "Jangan-jangan, ini kanker?"
Perut saya langsung mual. Jantung berdebar kencang, seolah
ingin melompat keluar dari dada. Pikiran saya panik level dewa mabok. Tapi
saya mencoba tenang, karena awalnya berasal dari gangguan yang terasa begitu
sepele: wasir. Penyakit yang sudah menjadi teman lama Yuni, bahkan sebelum kami
menikah tahun 1998.
Dulu, jarang kambuh. Kalau pun terjadi, cukup diobati dengan
salep resep dokter atau suppositoria yang dibeli di apotek. Sembuh
dalam hitungan hari.
Tapi pandemi mengubah segalanya.
Rumah sakit tiba-tiba berubah menjadi tempat yang paling
menakutkan setelah neraka. Yuni sebenarnya ingin konsultasi ke dokter, tapi
takut ketularan covid membuat kami memilih untuk mengobati dengan obat tanpa
resep.
Kami memilih aman, tapi ternyata salah.
Sejak pertengahan 2020, wasir Yuni semakin sering kambuh.
Obat yang biasanya manjur, kali ini hanya numpang lewat.
Yuni mulai mengeluh, merasa tidak nyaman saat duduk. Bukan
sakit biasa, tapi seperti ada tekanan di dalam yang tak kunjung reda. Jalanpun
berubah, megol-megol Saya sempat tertawa waktu pertama kali melihatnya, tapi
tawa itu cepat menghilang ketika saya menyadari, ini bukan lelucon. Ini tanda
bahaya.
Saya mulai risih, lalu khawatir, lalu panik. Otak saya
langsung masuk ke mode investigasi ala detektif amatir: Apakah ini
infeksi? Penyakit usus? Atau… jangan-jangan kanker?
Saya pun terseret ke dalam dunia tebak-tebakan versi horor
dengan teori ngawur saya sendiri tentang sel wasir yang "harusnya
mati, tapi malah bermutasi."
Otak saya mulai panik. Hati saya lebih panik lagi, tapi
mulut saya masih berusaha denial: "Palingan cuma
wasir parah."
Kami mencoba berbagai cara alternatif. Mulai dari ramuan
herbal yang katanya "ampuh untuk semua penyakit", sampai
terapi dari seorang pensiunan tenaga medis yang viral di Facebook—"sembuh
tanpa operasi!"
Ada sedikit perbaikan, tapi hanya bertahan tiga hari.
Selebihnya malah semakin memburuk. Rasa sakitnya seolah tidak mau kompromi
lagi. Yuni tidak bisa tidur nyenyak. Tidak bisa duduk lama. Setiap menit adalah
perjuangan.
Sampai akhirnya, saya berkata pada diri sendiri: "Sudah
cukup. Tidak bisa dibiarkan."
Selasa sore, 5 Juli 2022. Saya mengantar Yuni ke dokter
spesialis bedah wasir, berharap bisa segera ditangani. Tapi yang kami dapatkan
jauh lebih menohok daripada yang pernah kami bayangkan.
Setelah pemeriksaan, dokter menatap saya dengan ekspresi
serius, lalu menulis satu kata di selembar kertas dengan huruf besar:
KANKER.
Saya lemas. Dunia seolah berhenti berputar. Napas terasa
berat. Saya minta ijin agar Yuni keluar dari ruang periksa dulu—saya tidak
ingin pikirannya terganggu oleh diagnosa yang belum pasti.
Baru setelah Yuni pergi, dokter menjelaskan dengan tenang,
tapi jujur. Ada lesi mencurigakan, perubahan tekstur jaringan, dan pola
gejala yang tidak sesuai dengan wasir biasa. Dia merujuk kami ke dokter
bedah digestif untuk biopsi dan pemeriksaan lebih lanjut.
Meskipun dokter masih berharap ini hanya kesalahan
diagnosa, firasat saya yang kadang sok tahu kali ini malah yakin, dokter
tidak keliru.
Wasir bukan penyakit mematikan, tapi ketika gejalanya
berubah—menjadi lebih sering, lebih sakit, lebih aneh, bisa jadi merupakan alarm
dari tubuh untuk sesuatu yang jauh lebih serius.
Konsultasi ke dokter bukan tanda kelemahan. Justru itu tanda
keberanian. Berani menghadapi kenyataan, seburuk apa pun.
Kini, Yuni sedang menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Perjalanan kami masih jauh dari selesai. Kami masih menunggu hasil biopsi,
rencana pengobatan, dan keputusan besar di depan. Tapi setidaknya, kami
tidak lagi menutup mata.
Saya berharap, tulisan ini bisa menjadi pengingat bagi siapa
pun yang sedang mengalami hal serupa:
Dengarkan tubuhmu.
Dengarkan rasa sakitmu.
Dengarkan firasatmu.
Terkadang, gejala kecil adalah teriakan terakhir sebelum
badai datang.
Jangan tunggu sampai terlambat.
Kesehatan bukan hal yang bisa ditawar—dan waktu tidak pernah menunggu.
Untuk Yuni, yang masih kuat.
Dan untuk siapa pun yang sedang berjuang: kamu tidak sendiri.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar