Menjelang saya tidur, seorang teman telepon, menanyakan kabar
Yuni. Setengah suntuk, ditambah banyak urusan yang harus saya selesaikan
bersamaan, membuat sensor mulut saya sedikit longgar. Saya jadi seperti gendang
yang sedang ditabuh, bercerita apa saja, menjawab setiap pertanyaan tanpa
berpikir panjang.
Akibatnya, muncul nasehat
yang membuat saya sesak nafas, “Pikir
dulu baik-baik. Kalau bisa, gak usah kolostomi. Amit-amit, orangnya jadi bau
eek. Dulu budeku sampai stres. Gara-gara bau, nggak ada yang mau mendekat.”
What the hell? Sampai segitunya?
Awalnya, saya hanya memikirkan efek fisik dari operasi dan
penampakan kantong di perut. Ternyata, ada dampak sosial juga.
Ngantuk saya langsung buyar. Saya kembali ngubek-ubek Mbah
Google, mencari alternatif terapi selain kolostomi. Nihil. Hampir semua terapi
kanker usus besar disertai dengan kolostomi.
Yuni orangnya ceria. Selama 25 tahun kami menikah, hampir
tidak pernah mengeluh, kecuali tempo hari, saat sakitnya benar-benar tak
tertahankan. Sulit membayangkan dia nanti harus mengalami stres hanya karena
aroma yang tak sedap di sekitar tubuhnya.
Capek lahir batin, saya akhirnya tertidur. Baru bangun
setelah HP yang tergeletak dekat kepala berdering berkali-kali. Awalnya saya
kira dering HP anak atau Yuni. Setelah semua nyawa ngumpul, baru ingat, saya
home alone.
“Susah banget dihubungi. Di mana? Lagi ngapain?” terdengar
suara Cemplon, staff konsultan pajak saya, dengan nada sewot.
Sebenarnya jam 9 ada janjian ketemu orang. Ternyata saya
baru bangun jam 10 lewat. Ketika saya muncul, semua sudah bubar, tinggal
Cemplon bersama bosnya, kaji nDul, yang memang sengaja menunggu.
“Begini model mantan preman pasar. Sangar di luar, giliran
bini sakit langsung kopong!” celetuk kaji nDul jengkel.
Saya cuma diam. Selain merasa bersalah, saya tahu, bagi
nDul, ngomel adalah kebutuhan utama setelah bernafas.
“Ditelepon berkali-kali nggak diangkat, gua pikir lu bunuh
diri!”
“Alphard yang kamu sewa belum dibayar, mosok aku mau mati
duluan?”
“Lah, Plon, belum lu transfer?”
“Duitnya keburu masuk kas negara, bos,” jawab Cemplon
berlagak polos.
Sejak nDul ketahuan rutin berbagi rezeki ke pemandu karaoke,
keuangan perusahaan diawasi ketat oleh istrinya. Setiap pengeluaran harus
melalui anggaran resmi, dan cairnya nunggu lebaran monyet. Itu sebabnya nyonya
nDul mendapat gelar kehormatan "ibu negara”.
“Plon, Plon, rencananya mau beli HP, malah lu kasih ke
mamah.”
Hidup memang ironi. Ada yang punya penghasilannya besar,
tapi mau beli HP saja susah.
“Perlu berapa?” saya bertanya.
“Tujuh belas.”
“Ayo ngrampok BCA. Aku telepon satpamnya dulu, biar duitnya disiapkan!”
“Lambemu!” kaji nDul menggerutu.
Mulut Cemplon sudah nganga, menjelang ketawa, tapi batal
bersuara karena nDul melotot. Lalu Cemplon mengkureb di meja sambil
bergumam, “Apa dosaku, ketemu wong-wong tuwek gendheng kabeh.”
Selesai makan siang, Cemplon menelepon seseorang. “Tolong lu
ceritain pengalaman lu selama pakai kantong, dari yang baik sampai yang apes.
Bos gua lagi galau, bininya bakal kolostomi.”
Setelah itu, Cemplon menyerahkan HP ke saya.
Ternyata saya terhubung ke survivor kanker kolorektal yang
sudah 8 tahun jadi ostomate.
#Ostomate adalah orang yang menjalani kolostomi dan memakai kantong kolostomi.#
“Siang, om. Saya Imah, sudah 8 tahun pakai kantong
kolostomi,” sapa suara bersemangat di seberang.
Saya mendengarkan penjelasan detail tentang kolostomi dan
kantong yang digunakan.
“Perutnya enggak bolong begitu saja. Dibuatkan stoma dari
usus besar, dijahit ke kulit perut. Kalau mau lihat, ada video simulasinya di
Youtube.”
Gak wis. Terimakasih. Diceritain saja sudah bikin kepala
saya muter, apalagi nonton videonya.
“Kantongnya di sebelah kiri. Feses yang keluar biasanya
padat, karena sudah melewati usus besar.”
“Menurut dokter, sampai berapa lama pakai kantongnya?”
“Kalau saya sih permanen, om. Lubang aslinya sudah ditutup.”
Dia tertawa, saya meringis.
Membayangkan Yuni dengan kantong berisi "muatan",
menggantung di bagian perut, membuat saya tambah kenyang. Otak sayapun tidak
mau berhenti sampai di situ. Tebak-tebakannya berlanjut, tentang bagaimana cara
membersihkan kantongnya? Apakah harus dicuci atau hanya sekali pakai?
Seakan membaca pikiran saya, Imah menjelaskan, kantongnya
sekali pakai. Ada yang harus diganti setiap hari, ada yang bisa dipakai 3–4
hari.
“Nanti diajarin cara mengosongkan kantong, mengganti,
merawat kulit di sekitar stoma, dan diet biar enggak muncul gas, enggak bau,
diare, atau sembelit.”
“Baunya tidak merembes keluar?” Lalu penjelasan dari teman
semalam saya ceritakan.
Imah tertawa.
“Enggak lah om. Saya belum mandipun masih lebih wangi
ketimbang Cemplon.”
“Lho yaaaaaaa, aku maneh! TELOOOO!” Cemplon melengking.
Penjelasan Imah cukup membuat saya sedikit tenang. Terutama
setelah dia menambahkan, “Gas kentutpun terperangkap sempurna. Kalau enggak
sengaja dikeluarkan, kantongnya jadi kembung. Mungkin yang bau itu terjadinya
jaman Jenghis Khan masih hidup, kantongnya belum seperti yang sekarang.”
“Anusnya ditutup?” saya semakin penasaran.
“Karena saya bukan penggemar sodok belakang, ya ditutup om.
Kan enggak kepakai lagi.”
Semprul!
Kebayang, ritual buang hajat yang biasanya sepele akan
berubah jadi sesuatu yang lebih serius. Bayar pula. Di marketplace, harganya
sekitar 960 ribu sampai 1,3 juta per box. Kalau isinya 30 kantong dan bisa
dipakai 90 hari, berarti biaya per hari sekitar 9–14 ribu.
Kalau diukur dengan makanan, tidak mahal. Tapi kalau hanya
untuk nampung tai, mahalpun pakai banget. Tapi sisi positifnya, kalau kebelet
di jalan, nggak perlu panik, sudah ada WC portable.
Kaji nDul nyeletuk, “Utegmuuuu… Bisa-bisanya mikir WC
portable segala!”
Cemplon menengahi, “Wis, nggak usah protes. Kalian berdua
sama saja, penceng kabeh.”
“Elu juga. Tahu lagi bahas urusan boker, video callnya di
meja makan”
Tanpa sungkan lagi, Cemplon terbahak lepas.
Jadi, senewen saya semalam itu beneran hanya buang-buang
energi. Beruntung keburu ketemu Imah.
“Ada efek sampingnya apa tidak?” saya lanjut bertanya.
Dari hasil curi-curi browsing saat dimaki-maki kaji nDul,
saya sempat membaca sepenggal kalimat berikut ini:
A colostomy is a major surgery. As with any surgery,
there are risk of allergic reaction to anestesia and excessive bleeding.
Excessive bleedingnya membuat otak saya langsung travelling
liar. Apalagi kalimat berikutnya juga tidak kalah serem:
A colostomy also carries other risk, such as damage to
nearby organs, scar tissue forming in the abdomen which can cause blockages,
parastomal hernia, stoma blockage, stoma fistulla, stoma ischaemia – this may
require additional surgery.
Jawaban Imah membuat saya lega: “Sejauh ini aman-aman saja.
Paling cuma iritasi kulit sedikit.”
“Benar nggak, pupnya keluar begitu saja tanpa bisa
dikontrol?”
“Di stoma nggak ada petugas jaganya, ya langsung keluar
gitu, enggak bisa ditahan. Kentutnya apalagi, kadang sampai bunyi pula. Tapi
cuek saja, teman-teman sudah maklum.”
Diantara selingan gojeg kere, Imah bertanya lagi, “Maaf om,
agamanya apa?”
Sebenarnya saya tidak suka ditanya-tanya soal agama, tapi kali
ini pertanyaan itu sangat relevan. Bagaimana kalau pas shalat, tiba tiba ada
yang keluar? Di samping itu, kantongnya bukan jenis lepas-pasang. Meski
dibersihkan, mungkin masih ada najis yang tertinggal.
Ternyata ada fatwa MUI bagi penyandang kantong kolostomi.
Tertuang dalam fatwa MUI nomor 7 tahun 2009, tentang shalat bagi penyandang
stoma.
Pada bagian memutuskan, disebutkan:
1. Shalat bagi penyandang stoma (ostomate), selama masih
bisa melepaskan atau membersihkn kantung stoma sebelum shalat, wajib baginya
untuk melepaskan atau membersihkannya
2. Sedangkan apabila tidak dimungkinkan untuk
melaksanakan ketentuan nomor satu di atas, maka baginya shalat dengan keadaan
apa adanya, karena dalam kondisi tersebut ia termasuk daim al-hadats (orang
yang hadatsnya tidak bisa disucikan), yakni dengan berwudhu setiap akan
melaksanakan shalat fardhu dan dilakukan setelah masuk waktu shalat.
Saya lega. Ternyata, agama juga punya ruang bagi yang sakit.
***
Hidup ini penuh ketidakpastian, tapi selama kita mau
belajar dan beradaptasi, semua bisa dihadapi. Kadang sedikit agak sulit,
seringkali sulit banget. Tapi tetap bisa.
HOME