15 Desember 2022

CT-Scan Menyusul

 

Setelah hasil biopsi menyatakan positif kanker, Yuni harus menjalani CT Scan.

Untuk apa? Bukankah hasil biopsi saja sudah cukup? Dan apakah CT Scan yang menggunakan sinar-X itu aman bagi tubuhnya?

Paparan sinar-X dari CT Scan ternyata jauh lebih rendah dibandingkan radioterapi. CT Scan hanya dilakukan satu kali, sementara radioterapi akan dilakukan sebanyak 25 kali, hampir setiap hari. Kalau saya bisa menerima radioterapi, tidak ada alasan untuk menolak CT Scan.

Menurut American Cancer Society, pemeriksaan kanker terdiri dari tiga metode utama: tes pencitraan (salah satunya CT Scan), prosedur endoskopi, dan biopsi1.

Karena hasil biopsi sudah menyatakan positif kanker, dokter membutuhkan CT Scan untuk memetakan bentuk dan ukuran kanker secara detail, serta menemukan lokasi pastinya. Ini penting agar radiasi dari radioterapi tepat sasaran, sehingga meminimalkan kerusakan pada jaringan sehat di sekitar kanker.

Saya hanya bisa berharap, semoga dua prosedur ini cukup. Saya benar-benar tidak tega jika Yuni harus melalui kolonoskopi lagi. Sudah cukup banyak prosedur invasif yang menunggu ke depan. Kalau ada yang bisa dihindari, lebih baik begitu. Selain itu, ini juga lebih hemat biaya.

Mencari Jawaban di Tengah Keraguan

Saya kembali membaca ulang semua materi tentang kanker dan terapinya. Namun, bukannya mendapat jawaban yang menenangkan, saya malah kembali mentok pada argumen lama: memilih yang terbaik di antara yang buruk.

Masalahnya, argumen itu justru terasa berlebihan jika dibandingkan dengan hasil pemeriksaan histopatologi yang, dalam pemahaman saya, menunjukkan stadium awal.

Dengan bantuan seorang teman, saya mulai meneliti hasil Patologi Anatomi (PA) secara lebih teliti. Saya bahkan membuat salinan hardcopy-nya, supaya bisa saya coret-coret dan tandai. Sampai akhirnya saya hafal luar kepala semua kalimatnya, saya malah seperti diyakinkan bahwa terapi radiasi sebenarnya tidak perlu.

Namun, teman saya segera mematahkan kesimpulan itu. Sambil menunjuk bagian yang saya tandai dengan spidol merah, ia berkata, “Ini bagaimana?” — yang ditunjukkan adalah kalimat “tumor rektum susp ganas”.

Saya sempat menganggap itu hanya dugaan awal dokter yang sudah tak relevan setelah PA keluar. Namun, sebelum sempat saya membantah, teman saya menambahkan, “Itu hasil pemeriksaan fisik dokter. Sementara PA cuma menganalisis sampel. Tes lab hanya membaca data, bukan merasakan.”

Perlahan-lahan otak saya mulai menyadari. Dugaan dokter terhadap keganasan tidak dibatalkan oleh hasil PA. Mungkin saat dokter menekan area massa tumor, reaksi tubuh Yuni memberi sinyal tambahan yang tidak terbaca oleh sampel PA. Artinya, hasil PA bukanlah kata putus terhadap dugaan ganasnya kanker.

Beh, bajigur!

Saya memegangi kepala saya yang mendadak pening. Ternyata saya keliru menetapkan target. Saya terlalu fokus mencari terapi dengan efek samping paling ringan, padahal yang seharusnya saya cari adalah terapi yang bisa mencegah kanker berkembang menjadi ganas.

Baiklah. Deal. Radioterapi tetap harus dijalankan.

Efek sampingnya? Sudah terpetakan. Nanti pasti ada petunjuk bagaimana cara mengatasinya. Yang penting, saya tidak lagi berpegang pada angan-angan semata, melainkan berusaha sekuat tenaga menghadapi realita.

Catatan Kaki

  1. American Cancer Society. Understanding Diagnostic Tests for Cancer. https://www.cancer.org/cancer/cancer-basics/how-cancer-is-diagnosed/tests-used-to-diagnose-cancer.html

14 Desember 2022

Hari Penentuan, dan Prasangka yang Tak Bisa Dipendam

Akhirnya, hari penentuan itu tiba. Saya mendapat kabar dari perawat, hasil Pemeriksaan Hispatologi yang dilakukan oleh Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran UGM sudah diterima oleh rumah sakit tempat Yuni dirawat. Dokter akan segera menjelaskan hasilnya.

Saat saya duduk menunggu dokter, beberapa pesan WhatsApp masuk. Banyak yang menanyakan kondisi Yuni, menunjukkan perhatian dan empati. Tapi ada satu pesan yang bikin saya nyengir. Dari Nyai, dia bilang, “Berdoa saja, semoga bukan kanker.”

Kalau baru berdoa setelah hasilnya keluar, yo telat, tapi nggak apa-apa lah. Niatnya kan baik. Lagipula, saya tahu, Nyai juga sedang menjalani perawatan untuk breast cancer-nya. Mungkin dia lagi suntuk, dan butuh hiburan dengan bercanda sedikit.

Saya jadi ingat, Nyai sempat marah saat tahu saya baru membawa Yuni ke dokter setelah HB-nya drop sampai 4,2. “Lanangan cap apa, istri sakit enggak segera diajak ke dokter?” katanya dengan nada tinggi.

Ya wis, salaaaahhh… saya hanya unjal ambegan sambil berusaha memaklumi kekhawatirannya.

Akhirnya, dokter memanggil saya. Hasilnya ternyata sesuai dugaan saya beberapa bulan sebelumnya: Yuni memang positif kanker. Berdasarkan pemeriksaan histopatologi terhadap sampel dengan diagnose klinis tumor rectum terduga ganas, hasilnya: Adenocarcinoma, NOS, Low Grade. Fistologic grade: Well Differentiated; Grade I of IV (AJCC 8th ed. Grading).

Dari berbagai sumber bacaan, terhadap hasil biopsi itu, saya mendapat kesimpulan sebagai berikut:

1. "Adenocarcinoma, NOS"

  • Adenocarcinoma = Kanker yang berasal dari sel-sel kelenjar (bisa di usus besar, lambung, pankreas, dll).
  • NOS (Not Otherwise Specified) = Jenis ini tidak termasuk subtipe tertentu; hanya disebut umum sebagai adenokarsinoma.

2. "Low Grade"

  • Artinya tingkat keganasan sel kanker masih rendah. Masih cukup mirip dengan sel normal. Tumbuhnya lebih lambat, dan kemungkinan menyebarnya juga masih lambat.

3. "Histologic grade: Well Differentiated"

  • Menunjukkan bahwa sel kanker masih mirip sel normal, sehingga disebut “well differentiated”.
  • Biasanya dianggap tingkat keganasan yang paling ringan dibanding "moderately differentiated" atau "poorly differentiated".

4. "Grade I of IV (AJCC 8th ed. Grading)"

  • Dalam sistem grading kanker (berdasarkan American Joint Committee on Cancer - AJCC Edisi ke-8),
    • Grade I dari IV = tingkat paling ringan (ada empat tingkat: I, II, III, IV).
    • Berarti sel kanker tumbuh lambat, lebih jinak, dan memiliki prognosis yang lebih baik.

Hasil Biopsi menunjukkan kanker kelenjar (adenokarsinoma) yang tergolong ringan atau stadium awal dalam hal keganasan. Sel-selnya masih cukup mirip dengan sel sehat, tumbuh lambat, dan berpotensi lebih mudah ditangani dibanding kanker dengan grade lebih tinggi.

Setelah sesaat sempat lega, saya teringat tulisan di salah satu blog yang membahas efek samping radiasi:

Secondary malignancies are caused by treatment with radiation or chemotherapy. They are unrelated to the first cancer that was treated, and may occur months or even years after initial treatment.

Dalam pemahaman saya, Secondary malignancy adalah kanker baru yang muncul akibat pengobatan kanker sebelumnya, tidak berhubungan langsung dengan kanker awal, dan biasanya muncul dalam jangka panjang setelah pengobatan selesai.

Otak saya langsung ribut. Seandainya radiasi malah bisa memicu kanker baru, mengapa dokter tetap menyarankan radiasi? Apakah untuk kanker dengan grade rendah, radiasi masih diperlukan? 

Saya tahan pertanyaan itu untuk diri sendiri. Kalau saya utarakan pada orang lain, kuwatirnya nanti malah ada yang ngompori, nuduh dokter macam-macam. Dalam posisi saat itu saya harus menjaga, jangan sampai benih prasangka buruk yang sudah bersemi di otak saya, tumbuh liar akibat komentar sembarangan. Saya harus berusaha tetap tenang dan berpikiran jernih. Nasib Yuni sepenuhnya berada di tangan saya.

Pada kesempatan konsultasi, hampir saja temuan itu saya tanyakan pada dokter, tapi saya urungkan. Kondisi emosi saya sedang kritis, takutnya nanti saya bicara lepas kontrol, lalu membuat suasana jadi tidak nyaman. Ujung-ujungnya malah tambah repot.

Tapi ada satu hal yang membuat prasangka saya sedikit mereda. Dari cara dokter bicara, tatapan matanya, dan bahasa tubuhnya, saya melihat kesungguhan yang tulus. Bukan basa-basi. Bukan asal bicara, apalagi tersembunyi niatan komersial.

Masalahnya, otak saya terus saja bertingkah, “Atau jangan-jangan dokternya juga tidak paham terhadap resiko yang itu?”.

Bisa saja. Penelitian berlangsung setiap hari, seandainya efek samping itu baru diketahui belum lama berselang, ada kemungkinan dokter belum mengetahui. Atau bisa pula  temuan itu masih sebagai dugaan, sementara alternatif lain untuk terapi kanker belum ada, sehingga dokter tidak punya pilihan.

Saya lanjutkan menggali semakin dalam. Tapi tidak gampang. Selain harus memeras otak untuk memahami berbagai istilah yang baru kali itu saya temui, setelah pahampun justru membuat saya tambah kuwatir.

Repotnya, ketika saya belum nemu petunjuk lain, sementara jadwal radiasi semakin dekat, ada masukan dari seseorang yang paham medis. “Keponakanku tumbuh kanker baru di tempat lain, lebih ganas. Dugaanku, disebabkan oleh radiasi.”

Tiba-tiba badan ini terasa sangat lelah. Pikiran saya rasanya penuh. Hati saya pun begitu. Rasanya saya ingin menyerah. Tapi saya tahu, ini bukan tentang saya. Ini tentang Yuni, yang sedang berjuang dengan tubuhnya, yang tetap tersenyum meski dalam sakitnya.


HOME


12 Desember 2022

Antara Nutrisi, Imunoterapi, dan Realita

 

Di saat pikiran semakin kusut, saya mulai menghindar dari siapa pun. Saya memilih menyendiri di pojok kantin rumaah-sakit di bagian sebelah timur. Di sana saya habiskan sebagian besar waktu ketika tidak sedang menunggu Yuni, sambil manteng laptop dan ngulik HP.

Kantin timur ini biasanya sepi, jarang ada orang yang mau duduk satu meja. Tapi kali ini sedikit berbeda. Entah kenapa, seseorang yang membeli makan dari kantin barat justru melewati beberapa kursi kosong lalu minta izin duduk di hadapan saya. Setelah basa-basi singkat, dia mulai bercerita tentang ibunya yang menderita kanker.

Sempat terlintas di benak saya: Apakah saya kelihatan seperti dukun kanker? Sampai-sampai ada orang yang tidak pernah saya temui sebelumnya curhat panjang lebar, bahkan minta saran.

“Setelah operasi dua tahun lalu,” katanya, “saya ikut saran keluarga, beralih ke terapi herbal. Tidak kemo, tidak radiasi, karena katanya efek sampingnya berat. Sekarang Ki-67-nya tinggi.”

Nah, apa pula itu Ki-67?

Saya pun bertanya ke mbah Gugel. Jawabnya singkat tapi cukup bikin merinding: “A high Ki-67 index indicates aggressive tumor growth.”1

Orang itu melanjutkan ceritanya, tapi jujur saja, membuat otak saya agak enggan menyimak. Saya memutuskan fokus ke masalah kanker kolorektal saja, supaya kepala saya tidak overheat. Tapi tentu saja, saya tetap mendengarkan. 

“Kenapa tetangga saya bisa sembuh hanya dengan herbal, sementara ibu saya malah semakin parah?” Orang itu bertanya, seolah olah saya punya kuasa menentukan kesembuhan..

Saya memberikan jawaban klasik, “Tergantung derajat sakitnya dan kondisi pasien, termasuk ada atau tidak penyakit penyerta.”

Lalu datanglah pertanyaan yang paling saya khawatirkan:

“Saya harus bagaimana?”

Sebenarnya, orang seperti itu tidak sungguh-sungguh membutuhkan jawaban. Mereka sadar bahwa yang ditanya juga tidak punya solusi. Tapi begitulah, ketika pikiran sudah buntu, seringkali kita melontarkan pertanyaan yang sebenarnya hanya butuh pengakuan, bukan jawaban.

Akan sangat konyol bila kemudian saya menjawab, “Ikuti saran dokter,”

Dia sendiri pasti sudah tahu. Hanya saja realita dan ekspektasi sering tak sejalan. Mau saya bilang, “Berdoa saja,” rasanya juga aneh. Memangnya cuma saya yang selalu ingat berdoa? Bisa saja justru orang itu lebih sering berdoa.

Entah dari mana, tiba-tiba saya nyeletuk begitu saja:

“Sebenarnya bukan operasi, bukan kemo, bukan radiasi yang menyebabkan pasien bisa bertahan. Semua itu hanya ikhtiar untuk mengurangi dan mencegah penyebaran kanker. Pasien bisa bertahan hidup semata-mata karena kekuatan tubuhnya sendiri. Coba konsultasikan ke dokter soal diet yang cocok, lalu minta ahli gizi untuk menyusun menunya. Pasien butuh asupan nutrisi yang cukup supaya daya tahan tubuhnya kuat.”

Begitu selesai bicara, saya justru terdiam sendiri. Dari mana saya dapat ide seperti itu? Tapi sebelum sempat saya jawab pertanyaan sendiri, otak saya keburu kumat lagi, mengembangkan teori tanpa dasar, tentang kemungkinan memperkuat antibodi untuk melawan kanker.

Barangkali tambah mumet, atau sadar omongan saya tidak layak didengar, orang itu kemudian pamit.  Sementara saya,  plonga-plongo, mikir ulang semua yang barusan muncul di otak. 

Lalu, seperti biasa, kemudian bertanya kepada mbah Gugel. 

Ternyata otak saya tidak ngawur-ngawur amat. Memang ada terapi kanker dengan memanfaatkan kerja sistem imun tubuh. Hanya beda cara dari yang dibayangkan oleh otak saya. 

Sekilas sempat saya baca, imunoterapi minim efek samping. Laman Cancer Therapy Advisor mengatakan, because it targets only your immune system, you may experiance fewer side effects.

Sejauh ini memang hanya efek samping dari terapi yang membuat pikiran saya semakin kusut. Kalau ternyata ada terapi yang hanya menimbulkan sedikit efek samping, tentu sangat cocok dengan harapan saya.

Tapi, setelah saya membaca lebih lanjut, ternyata hanya seindah impian di siang bolong. Pada bagian Risk of immunotherapy disebutkan, some immunotherapies can cause your immune system to attack your intestines, kidney, heart, and other organs.

Lhaaaaaa, sami mawon!!!!

Dan harapan saya memanfaatkan imunoterapi semakin pupus setelah tahu kalau terapi itu hanya bekerja terhadap kanker tertentu, diantaranya kanker paru, ginjal, kandung kemih dan kanker serviks. Dari berbagai laman yang saya jelajahi, tidak satupun nyebut kanker kolorektal.

Ya wis lah, dilakoni yang ada saja, radiasi, kemo, lanjut operasi. Sambil berusaha (dan berdoa tentunya – ketimbang nanti ada yang protes, disangka tidak pernah berdoa), supaya terapi konvensional yang bakal dijalani Yuni nanti efek sampingnya hanya muncul yang ringan-ringan saja.

Sebagai ikhtiar tambahan, saya memutuskan kembali ke ide awal: memperbaiki daya tahan tubuh secara alami lewat asupan nutrisi. Bukan untuk melawan kankernya, tapi supaya tubuh Yuni kuat menghadapi efek samping terapi.

Masalahnya, menentukan asupan yang baik dan mana yang harus dihindari tidak mudah. Saya menerima saran. Harus begini, harus begitu. Hindari ini, jauhi itu. Tapi saya ragu, apakah semua itu beneran cocok untuk kondisi Yuni.

Contohnya saja, ada yang bilang mengurangi asupan karbo supaya sel kanker ‘kelaparan’. Tapi ternyata, menurut artikel eCancer: "The main goal of tumour cell is, above all, to survive... including the ability to continue surviving when glucose levels are very low. This could be one of the reasons why widely used anti-angiogenic agents often fail to eliminate cancer."4

Jadi, daripada saya asal mencoba, lebih baik saya tanyakan langsung pada dokter yang menangani Yuni. Ternyata jawabannya sederhana: kondisi Yuni tidak membutuhkan diet khusus. 

Pada akhirnya, saya menyadari bahwa di tengah kebingungan dan keputusasaan, saya cenderung mencari jawaban instan atau solusi ajaib yang terdengar meyakinkan. Namun, realitanya, tidak ada jalan pintas untuk menghadapi kanker—hanya langkah-langkah kecil yang dijalani dengan sabar dan penuh harapan. 

Ketika tubuh lemah dan pikiran lelah, mungkin yang paling penting bukan sekadar berpegangan pada teori atau metode terapi, melainkan juga menjaga semangat, merawat tubuh dengan baik, dan tetap berpijak pada harapan yang realistis. Karena dalam perjalanan ini, bukan hanya soal bertahan, tapi juga bagaimana kita tetap manusiawi di tengah segala keterbatasan.

Catatan Kaki:

  1. American Cancer Society. A high Ki-67 index indicates aggressive tumor growth. https://www.cancer.org/
  2. Siloam Hospitals. Imunoterapi untuk kanker. https://www.siloamhospitals.com/
  3. Cancer Therapy Advisor. Because it targets only your immune system, you may experience fewer side effects. Some immunotherapies can cause your immune system to attack your intestines, kidney, heart, and other organs. https://www.cancertherapyadvisor.com/ 2
  4. eCancer. The main goal of tumour cell is, above all, to survive... including the ability to continue surviving when glucose levels are very low. https://ecancer.org/

10 Desember 2022

Ketika Nalar dan Hati Harus Kompak

 JIH 9 Juli 2022

Meskipun sejak ditangani dokter bedah digestif, istri saya sudah empat hari menjalani rawat inap, biopsi dan kolostomi yang direncanakan belum bisa dilaksanakan. Masih harus menunggu kadar hemoglobin (HB) Yuni naik ke angka 10. Saat pertama masuk rumah sakit, HB Yuni hanya 4. Sudah mendapat transfusi beberapa kantong, tapi berdasarkan cek terakhir, HB baru sedikit di atas 8.

Sekali lagi, nalar saya menggedor-gedor kepala, mengingatkan kalau proses terapi ini mungkin bakal tidak selancar perkiraan awal. Kondisi Yuni punya potensi membuat prosedur pengobatan ini berliku-liku dan berkepanjangan. Ujungnya tentu saja akan berdampak pada biaya rumah sakit. Apalagi Yuni dirawat di kelas VIP.

Mumet lagi. Jual emas ternyata pajaknya gede. Jual kebon warisan dari mertua ……… enggak ah. Tanah – apalagi warisan, sebaiknya tidak dijual, kecuali duitnya digunakan untuk tambahan beli tanah barru yang lebih luas. 

Alternatif terakhir tinggal menjual saham. Saya memiliki 30 persen saham di rental mobil yang sudah 20an tahun saya kelola bersama teman. Tapi pemegang saham lain menolak keras. “Kamu keberatan bayar pajak emas, malah mau buang duit lebih banyak buat bayar pajak keuntungan jual saham?” 

Akhirnya, sebagai solusi, saya mendapat pinjaman lunak jangka panjang dari perusahaan.

Meskipun masalah keuangan bisa dianggap beres, hutang tetap hutang, nantinya harus dibayar. Jadi, saya tetap harus berhemat, supaya hutangnya tidak gede-gede amat. 

Saya sempat mengajukan turun kelas, ternyata waktunya tidak tepat. Kamar kelas satu dan dua sudah penuh kembali. 

Akhirnya, daripada otak saya tambah ruwet dan malah depresi, saya putuskan untuk memanfaatkan waktu tunggu ini dengan mencari informasi sebanyak mungkin tentang kanker. 

Saya mulai menyelami dunia yang sebelumnya hanya saya kenal lewat potongan-potongan cerita orang lain. Saya membaca artikel ilmiah, nonton video Youtube, testimoni pasien, dan panduan medis. Saya mencatat ringkasan dari berbagai sumber, dan mencoba memahami istilah-istilah medis yang asing.

Tapi, seperti sering saya alami, antara niat dengan hasil kadang tidak bersesuaian. Semakin banyak yang saya baca, semakin terasa seperti terjebak dalam labirin. Setiap informasi baru yang saya dapat seolah menambah beban di kepala. Saya berharap informasi ini bisa membuat saya tenang dan yakin dengan langkah yang akan diambil untuk Yuni. Tapi yang saya rasakan justru sebaliknya.

Ternyata pengetahuan lebih luas bukan hanya membawa pencerahan, tapi juga membawa bayang-bayang ketakutan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Saya jadi tahu betapa rumit dan tidak pasti jalannya pengobatan kanker. Lalu, tanpa diminta, otak saya mulai liar membayangkan segala kemungkinan buruk: komplikasi, efek samping, bahkan skenario-skenario yang paling tidak ingin saya pikirkan.

Saya jadi sulit tidur. Kadang saya duduk di depan layar laptop yang menyala tanpa tahu apa yang harus saya lakukan. Pikiran saya berputar-putar: bagaimana kalau terapi gagal? Bagaimana kalau biaya terus membengkak dan saya tidak sanggup lagi menutupinya? Bagaimana kalau saya terlalu lemah untuk mendampingi Yuni?

Saya merasa seperti sedang terombang-ambing di tengah laut, dengan ombak informasi yang datang dari segala arah. Setiap fakta baru tentang kanker bukan seperti pelampung yang menyelamatkan, tapi justru menjadi beban yang menarik saya jauh lebih ke dalam.

Ujung-ujungnya, saya hanya bisa menarik napas panjang,  dan berusaha menenangkan diri. Mengingatkan diri bahwa saya tidak boleh terlalu larut dalam rasa takut. Bahwa Yuni membutuhkan saya, bukan hanya sebagai orang yang mengambil keputusan, tapi sebagai suami yang tetap bisa memberikan ketenangan dan keyakinan.

Saya sadar, pengetahuan tanpa keteguhan hati hanya akan membuat saya semakin terpuruk. Jadi saya harus belajar memilah mana informasi yang benar-benar penting, dan mana yang hanya menambah beban pikiran tanpa manfaat nyata.

Karena meskipun semakin banyak tahu membuat saya merasa takut, saya juga tahu, saya tidak bisa berhenti di sini. Karena ini bukan hanya tentang saya—ini tentang Yuni. Tentang keberanian kami menghadapi sesuatu yang tidak pasti, dengan segala keterbatasan yang kami punya.

Saya sadar, nalar dan hati saya harus kompak. Karena hidup memang jarang memberikan jalan yang lurus dan mulus. Kadang kita harus siap berkelok-kelok, menahan diri, dan tetap mencari titik terang di ujung lorong.

Saya mematikan laptop, mematikan lampu, dan mencoba tidur. Dalam hati saya berdoa, semoga besok, dan hari-hari selanjutnya, saya tetap diberi kekuatan. Karena besok adalah satu langkah lagi menuju kesembuhan.




09 Desember 2022

Drama Kecil Tentang Radiasi

 Di rumah ada dua smartphone, satu tablet, dan dua laptop. Saya gunakan semua untuk membuka laman-laman yang membahas radiasi. Secara bergantian saya baca, lalu saya tulis masing-masing ringkasannya di kertas HVS.

Lewat tengah malam, ketika saya mulai lelah, tanpa sengaja saya kembali "landing" di laman National Cancer Institute. Sebelumnya saya sudah teliti membaca paparan tentang radio terapinya. Materi yang dibahas tidak jauh beda dari laman-laman lain, hanya sedikit lebih detail. Tapi ketika menjelang menutup tab Chrome yang memuat laman NCI, sekilas saya sempat membaca kalimat:

"…THEN CANCER CELLS KEEP DYING FOR WEEKS OR MONTHS AFTER RADIATION THERAPY ENDS."

Saya merasa tidak pernah ketemu kalimat itu sebelumnya. Atau mungkin pernah terbaca sekilas, hanya karena otak terlalu lelah, jadi luput dari perhatian.

Sempat saya ulang membaca beberapa kali untuk memastikan bahwa memang yang tertulis seperti itu.

Jadi, sel kanker yang diradiasi hanya sekarat saja selama beberapa minggu, atau paling lama dalam hitungan bulan?

Tidak, tidak, tidak. Pasti bukan seperti itu maksudnya. Tidak mungkin mereka menggunakan terapi dengan risiko tinggi hanya untuk mendapat hasil sementara dalam hitungan minggu atau bulan saja.

Tiba-tiba saya merasa sangat lapar.

Setelah menghabiskan sebungkus Indomie guyur (hanya diguyur air panas doang, tanpa direbus) dan segelas kopi manis (naaahhhh, gula lagi), otak saya encer kembali. Barulah saya paham bahwa maksud kalimat itu adalah proses kematian sel kanker terus berlangsung sampai beberapa bulan kemudian setelah terapi berakhir. Bukan berarti selnya hanya sekarat selama beberapa minggu belaka, seperti dugaan semula.

Lega?

Ternyata malah membuat otak ugal-ugalan saya kambuh menciptakan skenario drama baru. Kalau proses pembunuhan terhadap sel kankernya saja berlangsung sampai selama itu, bagaimana nasib sel normal? Padahal kita tahu, sinar radiasi memicu sel normal bermutasi.

Saya memang sedikit punya masalah dengan otak yang kadang kebablasan kreatifnya dalam menciptakan skenario drama. Repotnya, kalau skenario itu saya abaikan, di belakang hari kadang beneran terjadi.

Seperti ketika saya pertama kali melihat rangka atap baja ringan, otak saya langsung melihat potensi tukang atap mati kesetrum seandainya ada kabel terkelupas nyenggol rangka. Merasa kemungkinan itu hanya drama rekayasa otak, saya abaikan dan tidak memberi saran pemilik rumah untuk memasang ELCB sebagai pengaman. Beberapa bulan kemudian beneran terjadi, ada kucing mati kesetrum, dan orang yang disuruh mengambil bangkainya nyaris ikut kesetrum.

(#Bagi yang belum tahu, ELCB berfungsi sebagai proteksi apabila terjadi kebocoran arus listrik pada peralatan listrik, atau ada yang kesetrum#)

Terlalu asyik ngulik internet membuat saya telat tidur. Besoknya bangun kesiangan dengan sekujur badan pegal berat. Gampang ditebak, trigliserida saya pasti njeplak tinggi. Sejak Yuni masuk rumah-sakit menu saya praktis dominan karbo dan gula. Anak sibuk ngurus emaknya. Tidak ada "satpam diet," membuat saya cenderung makan seadanya, asal enak di mulut.

"Harus selalu diawasi gitu? Nggak bisa mikir sendiri kalau istrimu sedang butuh kamu?" Gembul, teman imajiner saya, muncul lagi, langsung nyap-nyap. "Kalau langsung mati, tinggal sorong ke kuburan. Lah kalau kejet-kejet dulu di ICU, siapa yang ngopeni kamu? Punya duit buat bayar?"

Indomie rebus bakal sarapan pagi bersama kopi anget yang sudah siap di meja terpaksa dibuang.

Terus sarapan apa?

Nah, kan? Makanan yang dijajakan di luar semuanya mengandung karbo.

Di meja ada sisa alpukat dari jaman batu, masih bisa dimakan. Tapi kalau tanpa gula... hiyeeeekkkkk...

Akhirnya saya sarapan kentang iris goreng. Karbo juga sih, tapi masa nggak sarapan?

Bagi saya, kenyang identik dengan otak waras. Setelah membuat perjanjian dengan otak untuk tidak gentayangan seenak udel, saya kembali membaca penjelasan mengenai radiasi.

Efek samping masih membuat saya was-was, tapi nalar saya mulai bisa mengerti bahwa saya harus memilih terapi yang memberi manfaat maksimum sekalipun ada risiko besar bersamanya, ketimbang memilih risiko kecil tapi tidak bisa diharapkan manfaatnya. Saya berhadapan dengan kanker yang tidak kenal kompromi.

Sekarang saya mulai yakin, keputusan tetap lanjut radiasi bukan sekadar untung-untungan belaka. Selebihnya tinggal berdoa, semoga hasilnya baik, tanpa ada masalah di kemudian hari.

Saya tahu, keputusan ini tidak menjamin akhir yang mulus. Tapi hidup memang tidak pernah bisa ditebak. Kita hanya bisa berusaha semampu kita, mencari tahu sebanyak mungkin, lalu memilih langkah yang paling masuk akal—meskipun tetap dengan jantung deg-degan.

Kadang saya membayangkan, hidup ini seperti jalan malam di kampung yang sepi. Lampu depan motor cuma bisa menerangi beberapa meter ke depan. Tapi, meski tidak bisa melihat ujung jalan, kita tetap melaju pelan-pelan, percaya bahwa sepanjang tetap di jalur, kita akan sampai tujuan.

Dan kalaupun nanti di ujung jalan itu ada yang tidak sesuai harapan, setidaknya saya tahu bahwa saya sudah mencoba berpikir, berdoa, dan berjuang.

Saya tidak ingin menyesal hanya karena membiarkan rasa takut mengatur keputusan. Karena kalau ada satu hal yang saya pelajari dari malam-malam panjang bersama internet dan kopi manis: pengetahuan bisa menakutkan, tapi ketidaktahuan seringkali jauh lebih kejam.



HOME


08 Desember 2022

Selingan Yang Meresahkan

 %: Kenapa kamu tetap tidak percaya pada pengobatan alternatif yang jelas lebih aman?

@: Aku mendapat lebih dari 30 saran. Semua haqul yakin metode yang dia sarankan manjur dan aman, tapi hanya berdasar kesaksian orang yang tidak jelas identitas aslinya. Terus aku kudu percaya yang mana? Kalau kemudian terjadi masalah, siapa yang tangung-jawab?

%: Mikirmu terlalu ruwet.

@: Ini menyangkut hari depan istriku, bukan sekedar reparasi motor, kalau tidak cocok bisa ganti bengkel seenak udel.

%: Nah, itu kamu tahu. Kenapa masih milih cara yang punya resiko tinggi dan banyak gagalnya?

@: Dari mana kamu tahu kalau alternatif yang kamu usulkan itu tidak pernah gagal. Hanya berdasar informasi dari video dengan durasi 2 jam, bagaimana kamu bisa yakin tidak ada resiko dan efek sampingnya?

%: Bu dhe ku sembuh!!!!

@: Kapan bu dhemu mulai sakit, kapan dinyatakan sembuh, dan oleh siapa? 

%: Juli 2019 dokter bilang bu dhe kena kanker payudara. Dua tahun terapi herbal, desember 2021 oleh dokternya dinyatakan sembuh.

@: Setelah dua tahun menghindari pengobatan medis, bu dhemu tiba-tiba mengunjungi dokternya kembali, diperiksa, lalu dinyatakan sembuh. Begitu? Kowe ngarang cerita.

%: Dikandhani ngeyel

@: Kowe sing ngeyel. Tidak paham kanker tapi berani memberi saran. Orang-orang yang ngerti kanker tidak ada yang berani ngomong seyakin kamu.

%: Itu karena biar kamu tetap ikut cara mereka.

@: Enggak juga. Kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang beneran aktif pernah merawat penyandang kanker. Bukan macam kamu, sekedar punya kerabat sakit kanker, cuma nengok satu atau dua bulan sekali, tapi berani memberi kesaksian.

%: Aku sering ngantar bu dhe kemo.

#Tipikal orang bohong, selalu kepleset lidah. Katanya tanpa terapi medis, tapi keceplosan ngaku sering ngantar kemo. Hampir saya debat di situ, tapi kemudian saya sadar tidak ada gunanya.#

@: Oke, sekarang tolong kasih penjelasan tentang alternatifmu. Apa yang dilakukan terhadap kanker? Bagaimana caranya membedakan sel normal dengan sel kanker supaya tidak salah sasaran?

Sudah lebih dari 3 bulan berlalu,  pertanyaan itu tidak dijawab, dan dia tidak pernah WA lagi.

Saya senang menerima masukan dari teman-teman. Apapun itu, semua saya pelajari. Bahkan kadang saya diskusikan dengan teman-teman yang paham pengobatan, baik medis maupun non medis. Tapi, seandainya usulan kalian tidak saya tindak-lanjuti, janganlah merasa saya abaikan.

Ada banyak faktor yang harus saya pertimbangkan sebelum mengambil keputusan, termasuk seandainya terjadi masalah. Jangan sampai saya disalahkan oleh dokter yang ketiban repot di belakang gara-gara saya memilih metode hanya berdasar informasi singkat dari video Youtube dan kesaksian segelintir orang belaka.



HOME

07 Desember 2022

Keputusan Yang Membelah Hati

Setelah kata kolostomi resmi jadi bagian dari hidup saya,, bab selanjutnya ternyata lebih seru lagi — masuk ke dunia pengobatan alternatif.

Begitu kabar penyakit Yuni mulai terdengar ke lingkaran teman dan saudara, telepon saya jadi lebih sibuk daripada biasanya. Ada yang menelepon sambil setengah berbisik, “Jangan kemoterapi, nanti malah tambah parah.” Ada yang kirim video testimoni pasien yang sembuh total karena minum rebusan akar langka dari gunung (tapi selalu tidak disebut dengan jelas identitas gunungnya). Ada juga yang datang langsung, membawa plastik kresek berisi botol-botol cairan coklat pekat yang katanya “pahitnya luar biasa, tapi manjur.”

Saya tahu, mereka peduli. Mereka ingin Yuni sembuh. Tapi yang mereka tidak tahu adalah: semua perhatian itu, secara tak langsung, justru menambah beban mental saya.

Setiap menerima satu saran, saya harus menyaringnya, menelusuri kebenarannya, lalu membuat keputusan. Bagian paling sulitnya, menolak tanpa melukai perasaan.

Saya sudah mencoba segala cara penolakan halus:

“Wah, makasih ya… nanti saya pelajari dulu.”

“Kayaknya belum bisa campur pengobatan, takut bentrok.”

“Dokternya bilang sebaiknya jangan dulu…”

Tapi tetap saja, ada satu-dua yang tersinggung. Bahkan ada yang berkata dengan nada tinggi,“Kalau nggak percaya sama saya, ya sudah. Nggak usah minta pendapat saya lagi.”

Padahal saya tidak pernah minta ke dia. Tapi ya sudahlah.

Di titik itulah saya belajar sesuatu yang penting: niat baik tidak selalu datang dalam kemasan yang mudah ditelan. Ada yang dibungkus ketulusan, ada juga yang terselip keinginan untuk "didengar dan diikuti."

Saya harus mengambil keputusan yang cukup menyakitkan. Saya tolak semua ramuan dan saran alternatif, bukan karena  merasa tahu segalanya, tapi karena saya sudah memilih untuk percaya pada jalan medis yang kami tempuh bersama dokter. Dan percaya itu penting, supaya langkah kami tidak selalu goyah di tengah jalan.

Yuni sendiri tidak pernah memaksa. Dia tahu saya jungkir balik mencari yang terbaik. Itulah yang akhirnya jadi pedoman saya, bukan mana yang lebih hebat, tapi mana yang lebih bisa kami jalani dengan penuh keyakinan.

Saya tidak bisa memaksakan diri untuk menyenangkan semua orang. Di saat seperti ini, saya harus belajar memilah, siapa yang bisa diajak jalan bareng, dan siapa yang lebih baik diam-diam dilepaskan.

Hidup ini tidak butuh terlalu banyak orang yang memberi pendapat. 

Saya tidak menyangka, keputusan yang bersifat pribadi dan saya ambil demi kenyamanan istri, justru bisa menimbulkan beban batin baru.

Ternyata, memilih jalan sendiri pun ada harganya.


06 Desember 2022

Kejelasan Yang Menggetarkan Nyali

 

Malam setelah bertemu dokter bedah digestif, dan menyatakan setuju pada rencana tindakannya, saya justru kembali galau. Saya tidak bisa tidur, teringat ibu saya, salah satu Bu Dhe dan seorang tante. Semuanya berpulang karena kanker. Wajah-wajah mereka satu per satu bermunculan di kepala saya, seperti parade kenangan yang tak diundang. Dan entah kenapa, semua cerita tentang kemoterapi yang “lebih menyakitkan dari sakitnya sendiri,” tentang radiasi yang “melemahkan sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur,” semua itu mendadak keluar dari arsip lama di otak saya — lengkap dengan efek suara dan musik latar horor.

Dulu saya mendengar cerita-cerita itu dengan kepala dingin. Tapi sekarang? Mereka berubah jadi monster-monster pikiran yang tidak bisa saya usir.

Saya berusaha rasional. Saya buka laptop, mencari informasi dari sumber-sumber yang katanya tepercaya: Mayo Clinic, WHO, laman rumah sakit besar, jurnal-jurnal kesehatan. Tapi ternyata, membaca data dan istilah medis saat mental sedang remuk bukanlah ide bagus. Kalimat seperti “efek samping umum: mual, muntah, kerontokan, kelelahan kronis, neuropati, gangguan sistem kekebalan” terasa seperti daftar siksa yang siap mengantri di depan pintu rumah.

Saya ingin menenangkan diri, tapi justru makin panik. Tidur tidak bisa, makan tidak selera, berbicara terasa seperti pekerjaan berat. Malam itu benar-benar seperti hukuman — bukan semata-mata karena kankernya, tapi karena ketidakpastian yang tiba-tiba kembali mengambil alih hidup saya.

Setelah semalam penuh kepanikan dan pencarian informasi yang tak kunjung menenangkan, akhirnya saya mendapat penjelasan dari salah satu teman, seorang tenaga medis yang tinggal di sisi lain Indonesia. Melalui video call dia menjelaskan tentang kanker dan terapinya secara rinci dan  sistematis.

Saya mengangguk. Badan saya duduk tegak ,tapi otak saya seperti tersedot ke dalam kabut.

Yang terjadi setelah itu bukanlah rasa lega. Justru sebaliknya. Dan di titik itu, saya benar-benar limbung. Begitu kerasnya tekanan terhadap batin, saya sampai mengalami diare lebih dari 4 kali  dalam waktu yang bahkan belum cukup buat orang lain menyelesaikan sarapan.

Perut saya mules. Kepala berdenyut. Pikiran kusut.


Antara Adu Balap Melawan Kanker dan Adu Argumen dengan Pikiran Sendiri

 

Ketika saya semakin bingung memilih terapi yang kuat diajak adu balap dengan kanker, sekaligus tidak menimbulkan dampak negatif berlebihan di belakang hari, ternyata saya sendiri juga ikut masuk arena balap.

Ada banyak hal yang harus saya pikir, pertimbangkan, pelajari, dan putuskan dalam waktu singkat, dan kadang secara bersamaan.

Semula saya sangka hanya akan kepepet urusan finansial saja. Tidak pernah terbayang saya harus gedandapan mempelajari setumpuk materi tentang kanker dan terapinya, sekaligus dalam waktu singkat, macam mahasiswa yang terpaksa pecicilan belajar di malam menjelang ujian.

Repotnya, setelah satu materi bisa saya pahami, bukan tambah pinter, justru membuat saya semakin gamang, karena risiko yang harus dihadapi Yuni beneran di luar perkiraan.

Lalu ada yang mencela, “Salahmu sendiri, ngapain repot-repot mempelajari kanker? Itu urusan dokter. Bagianmu bayar biaya rumah sakit, menyediakan keperluan istrimu, dan mendampingi.”

Saya tidak bisa menyalahkan, sekalipun juga tidak bisa setuju begitu saja. Saya tetap harus aktif ambil peran dalam menentukan pilihan, karena apa pun yang terjadi di belakang nanti, akan menjadi tanggung jawab saya.

Saya tidak mau menyerahkan nasib Yuni begitu saja pada orang lain, dokter sekalipun. Karena seandainya nanti  kepentok hasil buruk, paling banter mereka cuma bisa ngeles dengan alasan sudah menjadi kehendak Tuhan.

Memang semua hanya terjadi atas kehendak Tuhan. Tapi tentu Tuhan tidak pernah menghendaki saya hanya duduk bengong saja dan membiarkan Yuni berjuang sendiri. Ada dua sisi perjuangan: berdoa dan berusaha. Keduanya harus dilakoni dengan sepenuh hati. Yuni sedang sakit, maka perjuangan untuk berupaya sehat kembali beralih ke pundak saya.

Masalahnya, di antara sekian banyak saran yang saya terima, beberapa ternyata hanya mitos belaka. Seandainya saya tidak belajar, besar kemungkinan saya keliru mengikuti saran. Macam orang-orang yang di masa pandemi lalu terhasut hoaks, percaya ivermectin bisa menangkal COVID. Lalu obat cacing yang mestinya hanya diminum dalam jangka tertentu, diminum sampai tiga kali sehari.

Salah satu mitos yang paling sering saya dengar adalah saran mengurangi sebanyak mungkin asupan gula. Selain dituduh sebagai biang pemicu kanker, gula dianggap sebagai makanan utama bagi sel kanker. Mengurangi asupan gula dianggap bisa membunuh sel kanker.

Ada pula yang menyarankan diet tertentu untuk mengurangi asupan karbohidrat sebagai pengganti terapi medis, karena diyakini diet itu bisa membuat sel kanker kekurangan glukosa dan akhirnya mati dengan sendirinya.

Sebelum nemu rujukannya, saya hanya berpegang pada pemahaman sederhana: glukosa juga dibutuhkan oleh sel normal. Dengan asupan wajar saja, sel normal pada penderita kanker sudah mengalami defisit glukosa akibat suplai dirampas oleh sel kanker. Kalau asupannya dikurangi, sudah pasti sel normal akan menderita duluan ketimbang sel kankernya.

Tanpa Yuni kena kanker pun saya sangat setuju membatasi asupan gula rafinasi, tapi membatasi asupan glukosa untuk “membunuh sel kanker” agak sulit saya pahami.

Supaya tidak terjebak dalam opini, saya mencari rujukannya. Saya gunakan kata kunci “does sugar cause cancer?”. Sumber pertama yang saya jumpai adalah laman Parkway Cancer Centre. Kebetulan bisa memilih bahasa Indonesia, jadi lebih gampang memahaminya.

Pada artikel yang ditulis oleh Dr. See Hui Ti dengan judul “Apakah gula menyebabkan kanker? Apa hubungan keduanya?”, disebutkan bahwa tidak ada penelitian konklusif pada manusia yang menunjukkan bahwa gula menyebabkan kanker atau mendorong sel kanker untuk tumbuh lebih cepat.

Semua sel, termasuk sel kanker, membutuhkan gula sebagai sumber energi. Memberikan lebih banyak gula ke sel kanker tidak mempercepat pertumbuhannya. Tidak mengonsumsi gula juga tidak memperlambat pertumbuhan sel kanker.

Meskipun ada rujukan yang meneguhkan dugaan saya, tidak membuat saya berhenti mencari sumber lain. Target saya mendapatkan kebenaran, bukan mencari dukungan dan pembenaran terhadap dugaan saya.

Beberapa laman yang saya jumpai kemudian, antara lain CANCER.NET, AMERICAN INSTITUTE FOR CANCER RESEARCH, dan MD ANDERSON CANCERCENTER memang memperkuat pendapat bahwa gula tidak memiliki korelasi langsung terhadap kanker, tapi saya butuh penjelasan lebih detail. Tidak masalah seandainya nanti ternyata ada yang membuktikan sebaliknya.

Setelah mengunjungi banyak laman, termasuk di antaranya kesandung hasil penelitian di Belgia yang menemukan hubungan nyata antara gula dengan kanker, akhirnya saya temukan laman Oncology Nutrition dan MemorialSloan Kettering Cancer Center yang memberi penjelasan lumayan komplit dan mudah dipahami oleh awam.

Kalau berminat, silakan dibaca sendiri langsung dari sumbernya. Seandainya memerlukan penjelasan lebih rinci, silakan mengunjungi laman National Library of Medicine.

Sebagai penutup, saya kutip kesimpulan dari beberapa sumber:

Highlights dari MSKCC:

  1. Obesitas – memiliki terlalu banyak lemak tubuh – adalah faktor risiko jelas untuk kanker.
  2. Mengonsumsi banyak karbohidrat olahan, termasuk makanan dengan tambahan gula, dapat menyebabkan obesitas.
  3. Lemak tubuh memicu peradangan, yang dapat merusak DNA dan menyebabkan kanker.

Kutipan dari Oncology Nutrition:
Gagasan bahwa gula dapat secara langsung memicu pertumbuhan sel kanker membuat sebagian orang menghindari semua makanan yang mengandung karbohidrat. Ini justru kontraproduktif bagi siapa pun yang berjuang mempertahankan berat badan saat menghadapi efek samping kanker dan pengobatannya.

Laman Cancer.org menyatakan:
Gula tidak menyebabkan kanker secara langsung. Namun, konsumsi gula berlebihan merupakan kontributor utama terhadap obesitas dan kelebihan berat badan. World Cancer Research Fund menyebutkan ada bukti kuat bahwa konsumsi minuman manis menyebabkan kenaikan berat badan dan obesitas. Lemak tubuh berlebih atau pertambahan berat badan di usia dewasa meningkatkan risiko 13 jenis kanker.

Bagaimana dengan hasil penelitian di Belgia? Penelitian itu dilakukan untuk mengetahui lebih detail cara sel kanker mengolah glukosa sebagai sumber energi. Semakin banyak glukosa yang diolah, pertumbuhan sel kanker semakin cepat. Tapi, sama seperti sumber lain, disebutkan pula bahwa gula bukan penyebab langsung kanker, melainkan berkaitan erat dengan obesitas, karena diduga ada perbedaan dalam proses pengelolaan gula di tubuh yang mengalami obesitas.

Bagaimana dengan saya? Otak saya masih belum tenang. Sepertinya ada alasan lain yang belum ketemu.

Tapi yang pasti, saya tahu satu hal: saya tidak akan berhenti belajar dan mencari yang terbaik. Walaupun capek, bingung, kadang marah, kadang nangis, saya tetap akan jadi partner Yuni dalam balapan ini. Karena pada akhirnya, ini bukan soal seberapa cepat saya paham, tapi seberapa besar usaha saya untuknya.

30 November 2022

Ketika Teman Terlalu Perhatian

Calon donor darah yang saya siapkan akhirnya batal. Darah untuk transfusi sudah disediakan oleh rumah-sakit. 

Malam sebelumnya, ketika mendengar saya butuh donor, salah satu teman cepat memberi respon, bahkan saat ketemuan sudah mengajak serta 3 orang. “Mereka sehat, tidak kena covid, tidak merokok, dan tentu saja tidak minum, apalagi ngoplo. Kamu harus selektif terhadap calon donor”

Terimakasih ada yang mikir sampai sejauh itu, meskipun saya tidak tahu apakah kebiasaan merokok berpengaruh terhadap kualitas darah.

“Di rumah-sakit mana?” salah satu bertanya

Setelah saya sebut nama rumah-sakitnya, yang lain menyela, “Loh, rumah-sakit itu  menerima pasien BPJS?” 

“Tidak tahu, saya biaya sendiri.”

Tidak nyangka, jawaban itu kemudian membuat suasana jadi tidak nyaman bagi saya.

Seseorang yang sejak awal hanya diam tiba-tiba menyela dengan suara nyaring, “Pak Doel tidak punya BPJS? Waaaahhhhh, bagaimana sih pak. Kalau sudah begini kan jadi repot. Pengobatan kanker itu mahal lho pak.”

Tanpa minta persetujuan, orang itu langsung telepon. Entah siapa yang dihubungi, tapi dari omongan dia dan suara dari seberang sana yang juga bisa saya dengar, dia minta orang itu membantu ngurus BPJS untuk saya.

“Maaf mas,” saya menyela, “Sejak awal ada BPJS, kami sudah terdaftar.”

Orang itu berhenti bicara di telepon, menoleh kearah saya, memandang dengan tatapan yang terasa embuh gitu, sebelum kemudian bertanya, “Kenapa tidak dipakai?”

Perasaan saya mulai tidak enak. Saya tidak suka orang terlalu kepo pada urusan pribadi.    

“Dokternya menyarankan radiasi dulu …….”

Belum selesai saya bicara, keburu dipotong, “Biopsi belum dikerjakan, dokter sudah menyarankan radiasi? Aneh!!!”

Kebiasaan, langsung main tuduh.

Teman saya ikut nibrung, “Sekarang orang sakitpun jadi lahan bisnis.”

“Itu rencana yang ditawarkan dokter seandainya nanti positif. Aku boleh tidak setuju.”

“Akhirnya nanti pasti radiasi!” Yang lain ikut menyela. 

“Kenapa harus radiasi duluan? Biasaya radiasi dikerjakan paling akhir, itupun pasien boleh nolak.”

 “Maaf, sekarang kita bahas darahnya saja.” Saya berusaha mengalihkan pembicaraan.

Tapi ada yang ngeyel, “Memangnya kalau BPJS tidak bisa radiasi duluan?”

“Saya tidak tahu ……”

“Kenapa tidak tanya BPJS?”

Beh, kampret! Saya sampai sesak nafas, menjaga supaya karakter keras saya tidak nyeplos. “Sebentar mas, beri kesempatan saya bicara.”

“Oke, silakan. Saya heran saja, ada yang gratis, malah pilih bayar.”

Tapi mereka tidak kunjung diam, malah seakan berebut saling komentar. Saya diam sampai kemudian teman saya sadar, saya tidak suka.  

“Apakah kamu merasa kualitas pelayanan BPJS kurang bagus?”

“Bukan masalah kualitas …….”

Ada yang nyela lagi, “Bagus lho pak. Ayah saya sudah 2 tahun pakai BPJS.”

“Maaf bapak-bapak, saya tidak punya masalah dengan BPJS, sebaiknya tidak perlu dibahas lagi.”

Supaya tidak membuat saya jadi pengin makan orang, akhirnya saya putuskan batal minta bantuan mereka dengan alasan rumah-sakit sudah menyediakan darahnya. 

“Kenapa kamu tolak? Niat kami baik.”

“Aku tidak suka orang mencapuri urusan pribadiku.”

“Kami cuma tanya, kenapa kamu anggap mencampuri urusan pribadi?”

“Kalau tanya, beri kesempatan aku menjawab.”

“Oke, baik. Aku siap mendengar jawabanmu.”

“Kalau memang benar ada kanker, di rumah- sakit yang sekarang radiasi bisa segera dilakukan. Sementara kalau pakai BPJS, istri temanku dulu harus antri sampai setahun. Aku tidak mau ambil resiko kankernya keburu ke mana-mana seandainya istriku juga harus ngatri lama.”

“Semua kan ada hitungannya. Pasien juga banyak, sementara fasilitasnya terbatas. Kamu terlalu ketakutan.”

“Boleh kan kalau aku memilih tidak ngantri?”

“Tidak ada yang melarang, tapi aneh saja, ada yang gratis, kamu malah milih bayar. Yakin kamu mampu?”

“Mampu atau tidak, urusan belakang. Menurut firasatku, radiasi dulu lebih cocok untuk kondisi istriku sekarang.”

“Kamu pikir radiasi tidak ada resikonya, dan pasti bisa membuat istrimu sembuh?”

“Tidak ada kata sembuh untuk kanker, hanya ada remisi, ngulur umur. Dan setiap terapinya membawa resiko tidak ringan.”

“Nah, itu kamu tahu. Kenapa tidak herbal saja? Tanpa efek samping!”

“Aku sudah mengambil keputusan, tolong jangan direcoki.”

“Oke, meskipun kamu ngeyelan, aku tetap ikhlas jadi donor.”

Gantian saya yang wegah.



HOME

29 November 2022

Indonesia Bagian Lutju

Sadar bakal butuh biaya banyak, saya hubungi kembali beberapa relasi bisnis yang sudah lama tidak kunjung melunasi hutang mereka. Saya beritahukan kondisi istri saya, dan saya berharap dalam satu bulan ke depan mereka melunasi tunggakan. Ternyata, sampai seminggu kemudian, dari 11 pesan WA yang saya kirim, tidak ada respon sama sekali. Bahkan 2 nomer langsung main blokir.

Spontan saya emosi. Untung segera sadar, marah hanya akan membuat saya bertindak ngawur tanpa perhitungan.

Beberapa tahun lalu ada teman nekad merampas motor gara-gara tagihannya tidak kunjung dibayar. Ujungnya, justru dia berurusan dengan polisi, dituduh melakukan tindak pidana perampasan disertai kekerasan. Akhirnya, tagihan belasan juta amblas begitu saja, diperhitungkan sebagai pengganti biaya pengobatan korban, itupun masih ditambah entah berapa juta lagi.

Di Indonesia, nagih piutang yang nunggak, kepada pribadi apalagi perusahaan, tidak pernah gampang. Tidak jarang saya merasa lebih mirip pengemis minta belas kasihan ketimbang nagih duit sendiri.

Saat mengunjungi rumah salah seorang direktur CV yang mewah dan dijaga 2 satpam (dua lho, total gajinya bisa 7 sampai 8 juta per bulan, sementara tunggakannya cuma 24 jutaan), saya diusir begitu saja oleh satpam, sambil menyampaikan pesan, “Urusan kantor diselesaikan di kantor saja.”  

Bagaimana mau menyelesaikan kalau di kantorpun dia tidak pernah mau ditemui, sementara manajer keuangannya setiap saya tagih selalu ngeles, belum mendapat persetujuan direktur.

Sebelum pulang saya sempat bicara pada satpam, “Asal tahu pak, bosmu utang 24 juta, sudah setahun lebih belum dibayar.” Mereka kaget sesaat, setelah itu meringis. Saya paham. mereka tidak akan percaya. Mana mungkin pemilik rumah mewah dan sederet mobil di halaman parkir punya hutang sekecil itu, tidak dibayar pula. Itulah salah satu sisi lucunya Indonesia.

Kunjungan berikutnya ke rumah seorang kontraktor. Sebelumnya saya menjadi vendor, mensupply berbagai sekrup, lem kayu, dan perlengkapan pertukangan elektronik lain. Pembayaran selalu lancar, kecuali sejak dia mulai main perempuan. Sebenarnya saat itu feeling saya sudah memberi peringatan, tapi saya tidak punya cukup bukti untuk membatalkan kiriman terakhir tanpa resiko dianggap wan prestasi.

Saya ditemui baik-baik, disuguhi makanan kecil dan minum, diajak ngobrol. Ketika saya menyinggung tunggakan, diapun merespon dengan santai. “Mulai bulan depan aku cicil 15 juta per bulan.”

Seandainya beneran dicicil, saya tidak keberatan. Masalahnya, dia pernah janji nyicil 5 jutapun, sampai tahun berganti dua kali, tidak pernah ditepati.

“Aku butuh sekarang, untuk tambahan biaya perawatan istriku.”

“Kalau kamu pakai BPJS kan enggak perlu bingung seperti sekarang.”

Lhah, Kobis! BPJS segala dibawa-bawa.

“Aku nagih tunggakanmu, tidak ada hubungannya dengan BPJS.”

“Jelas adaaaaaa. Pemerintah sudah menyediakan sarana pengobatan gratis, tapi kamu abaikan.”

“Ngene wae, BPJS itu urusanku, kamu bayar saja tunggakanmu sekarang. Sudah 4 tahun.”

“Sabar. Kamu tahu kan, perusahaanku sedang mengalami masalah.  

“Karena hobbymu angon manuk”

Wajahnya berubah tegang. Tersinggung berat. “Aku mau ngapain, bukan urusanmu.” Suaranya meninggi.

Saya balas berteriak,  “Jadi urusanku, karena duitku kamu embat!”

“Oke, oke, oke,” Suaranya kembali lunak, “Kita bicarakan baik-baik. Kita sudah berteman lama, masa iya ribut gara-gara duit kecil?”

“Nah, kamu bisa ngomong cuma kecil. Kenapa molor lama?”

“Sabar bos, sabar ……… minum dulu!”

Tanpa disuruhpun sejak semula saya sudah minum dan ngemil. Terhadap tukang ngeles macam dia, saya mengabaikan tatakrama dan sopan santun. Dudukpun kaki saya angkat di kursi.

“nGene lho bos, istriku sedang sakit ……”

“Istri yang mana?”

Belum sempat dijawab, muncul perempuan muda yang belum pernah saya temui (padahal saya kenal istri dan semua anak-anaknya). Wajahnya kusut, jalan pelan, kelihatan sedang tidak sehat. Dengan suara terbata tapi ketus, minta pengertian saya supaya tidak teriak-teriak. Dia butuh istirahat.

“Tergantung dia, bayar sekarang atau tidak!” Saya tunjuk suaminya – entah suami beneran atau bukan, bodo amat.

Sebelum perempuan itu menjawab, teman saya bicara duluan, “Yang, Yang, kamu di dalam saja, oke? …….” Setelah istrinya masuk, tanpa duduk lagi diapun berkata, “Tahu kan sekarang, aku juga punya pasien?”

Saya jadi punya kesempatan membalas, “Kan bisa pakai BPJS?”

“Istriku tidak tahan ngantri lama …..”

“Tidak mau, bukan tidak tahan. Aleman.”

Teman saya nyaris marah, tapi entah kenapa ditahan, lalu kembali ngajak bicara baik-baik.

“Tolonglah ngerti sedikit …….”

“Terus kapan giliranmu ngerti?”

Tiba-tiba, ada brand new fortuner masuk halaman. Kami di teras, saya bisa melihat apapun yang masuk halaman. Sebelum teman saya berbuat sesuatu, pengendara fortuner sudah meletakkan amplop besar di meja, sambil berkata, “BPKB dan plat nomer kalau sudah jadi mau diantar”

Sayapun nyeletuk, “nGaku gak punya duit tapi beli fortuner, CUK!” Lalu berdiri, dan pergi tanpa pamit. Tidak perduli teman saya teriak-teriak memanggil.

Saya sempat kebelet marah, tapi untuk apa? Tagihan tetap tidak dibayar, malah bikin penyakit. Akumulasi energi marah membawa pengaruh buruk terhadap fisik. Eman-eman badanku. 

Saya memutuskan batal mengunjungi pengutang lain. Ketimbang nanti jengkelnya numpuk, malah membuat otak saya mampet, mending fokus mikir perawatan Yuni saja.  Para penunggak itu bukan tidak ada duit, melainkan memang tidak punya niat membayar.


HOME

25 November 2022

Pelajaran dari Seorang Ostomate

Menjelang saya tidur, seorang teman telepon, menanyakan kabar Yuni. Setengah suntuk, ditambah banyak urusan yang harus saya selesaikan bersamaan, membuat sensor mulut saya sedikit longgar. Saya jadi seperti gendang yang sedang ditabuh, bercerita apa saja, menjawab setiap pertanyaan tanpa berpikir panjang.

Akibatnya, muncul nasehat  yang  membuat saya sesak nafas, “Pikir dulu baik-baik. Kalau bisa, gak usah kolostomi. Amit-amit, orangnya jadi bau eek. Dulu budeku sampai stres. Gara-gara bau, nggak ada yang mau mendekat.”

What the hell? Sampai segitunya?

Awalnya, saya hanya memikirkan efek fisik dari operasi dan penampakan kantong di perut. Ternyata, ada dampak sosial juga.

Ngantuk saya langsung buyar. Saya kembali ngubek-ubek Mbah Google, mencari alternatif terapi selain kolostomi. Nihil. Hampir semua terapi kanker usus besar disertai dengan kolostomi.

Yuni orangnya ceria. Selama 25 tahun kami menikah, hampir tidak pernah mengeluh, kecuali tempo hari, saat sakitnya benar-benar tak tertahankan. Sulit membayangkan dia nanti harus mengalami stres hanya karena aroma yang tak sedap di sekitar tubuhnya.

Capek lahir batin, saya akhirnya tertidur. Baru bangun setelah HP yang tergeletak dekat kepala berdering berkali-kali. Awalnya saya kira dering HP anak atau Yuni. Setelah semua nyawa ngumpul, baru ingat, saya home alone.

“Susah banget dihubungi. Di mana? Lagi ngapain?” terdengar suara Cemplon, staff konsultan pajak saya, dengan nada sewot.

Sebenarnya jam 9 ada janjian ketemu orang. Ternyata saya baru bangun jam 10 lewat. Ketika saya muncul, semua sudah bubar, tinggal Cemplon bersama bosnya, kaji nDul, yang memang sengaja menunggu.

“Begini model mantan preman pasar. Sangar di luar, giliran bini sakit langsung kopong!” celetuk kaji nDul jengkel.

Saya cuma diam. Selain merasa bersalah, saya tahu, bagi nDul, ngomel adalah kebutuhan utama setelah bernafas.

“Ditelepon berkali-kali nggak diangkat, gua pikir lu bunuh diri!”

“Alphard yang kamu sewa belum dibayar, mosok aku mau mati duluan?”

“Lah, Plon, belum lu transfer?”

“Duitnya keburu masuk kas negara, bos,” jawab Cemplon berlagak polos.

Sejak nDul ketahuan rutin berbagi rezeki ke pemandu karaoke, keuangan perusahaan diawasi ketat oleh istrinya. Setiap pengeluaran harus melalui anggaran resmi, dan cairnya nunggu lebaran monyet. Itu sebabnya nyonya nDul mendapat gelar kehormatan "ibu negara”.

“Plon, Plon, rencananya mau beli HP, malah lu kasih ke mamah.”

Hidup memang ironi. Ada yang punya penghasilannya besar, tapi mau beli HP saja susah.

“Perlu berapa?” saya bertanya.

“Tujuh belas.”

“Ayo ngrampok BCA. Aku telepon satpamnya dulu, biar duitnya disiapkan!”

“Lambemu!” kaji nDul menggerutu.

Mulut Cemplon sudah nganga, menjelang ketawa, tapi batal bersuara karena nDul melotot. Lalu Cemplon mengkureb di meja sambil bergumam,  “Apa dosaku, ketemu wong-wong tuwek gendheng kabeh.”

Selesai makan siang, Cemplon menelepon seseorang. “Tolong lu ceritain pengalaman lu selama pakai kantong, dari yang baik sampai yang apes. Bos gua lagi galau, bininya bakal kolostomi.”

Setelah itu, Cemplon menyerahkan HP ke saya.

Ternyata saya terhubung ke survivor kanker kolorektal yang sudah 8 tahun jadi ostomate.
#Ostomate adalah orang yang menjalani kolostomi dan memakai kantong kolostomi.#

“Siang, om. Saya Imah, sudah 8 tahun pakai kantong kolostomi,” sapa suara bersemangat di seberang.

Saya mendengarkan penjelasan detail tentang kolostomi dan kantong yang digunakan.

“Perutnya enggak bolong begitu saja. Dibuatkan stoma dari usus besar, dijahit ke kulit perut. Kalau mau lihat, ada video simulasinya di Youtube.”

Gak wis. Terimakasih. Diceritain saja sudah bikin kepala saya muter, apalagi nonton videonya.

“Kantongnya di sebelah kiri. Feses yang keluar biasanya padat, karena sudah melewati usus besar.”

“Menurut dokter, sampai berapa lama pakai kantongnya?” 

“Kalau saya sih permanen, om. Lubang aslinya sudah ditutup.”

Dia tertawa, saya meringis.

Membayangkan Yuni dengan kantong berisi "muatan", menggantung di bagian perut, membuat saya tambah kenyang. Otak sayapun tidak mau berhenti sampai di situ. Tebak-tebakannya berlanjut, tentang bagaimana cara membersihkan kantongnya? Apakah harus dicuci atau hanya sekali pakai?

Seakan membaca pikiran saya, Imah menjelaskan, kantongnya sekali pakai. Ada yang harus diganti setiap hari, ada yang bisa dipakai 3–4 hari.

“Nanti diajarin cara mengosongkan kantong, mengganti, merawat kulit di sekitar stoma, dan diet biar enggak muncul gas, enggak bau, diare, atau sembelit.”

“Baunya tidak merembes keluar?” Lalu penjelasan dari teman semalam saya ceritakan.

Imah tertawa.

“Enggak lah om. Saya belum mandipun masih lebih wangi ketimbang Cemplon.”

“Lho yaaaaaaa, aku maneh! TELOOOO!” Cemplon melengking.

Penjelasan Imah cukup membuat saya sedikit tenang. Terutama setelah dia menambahkan, “Gas kentutpun terperangkap sempurna. Kalau enggak sengaja dikeluarkan, kantongnya jadi kembung. Mungkin yang bau itu terjadinya jaman Jenghis Khan masih hidup, kantongnya belum seperti yang sekarang.” 

“Anusnya ditutup?” saya semakin penasaran.

“Karena saya bukan penggemar sodok belakang, ya ditutup om. Kan enggak kepakai lagi.”

Semprul!

Kebayang, ritual buang hajat yang biasanya sepele akan berubah jadi sesuatu yang lebih serius. Bayar pula. Di marketplace, harganya sekitar 960 ribu sampai 1,3 juta per box. Kalau isinya 30 kantong dan bisa dipakai 90 hari, berarti biaya per hari sekitar 9–14 ribu.

Kalau diukur dengan makanan, tidak mahal. Tapi kalau hanya untuk nampung tai, mahalpun pakai banget. Tapi sisi positifnya, kalau kebelet di jalan, nggak perlu panik, sudah ada WC portable.

Kaji nDul nyeletuk, “Utegmuuuu… Bisa-bisanya mikir WC portable segala!”

Cemplon menengahi, “Wis, nggak usah protes. Kalian berdua sama saja, penceng kabeh.”

“Elu juga. Tahu lagi bahas urusan boker, video callnya di meja makan”

Tanpa sungkan lagi, Cemplon terbahak lepas.

Jadi, senewen saya semalam itu beneran hanya buang-buang energi. Beruntung keburu ketemu Imah.

“Ada efek sampingnya apa tidak?” saya lanjut bertanya.

Dari hasil curi-curi browsing saat dimaki-maki kaji nDul, saya sempat membaca sepenggal kalimat berikut ini:

A colostomy is a major surgery. As with any surgery, there are risk of allergic reaction to anestesia and excessive bleeding.

Excessive bleedingnya membuat otak saya langsung travelling liar. Apalagi kalimat berikutnya juga tidak kalah serem:

A colostomy also carries other risk, such as damage to nearby organs, scar tissue forming in the abdomen which can cause blockages, parastomal hernia, stoma blockage, stoma fistulla, stoma ischaemia – this may require additional surgery.

Jawaban Imah membuat saya lega: “Sejauh ini aman-aman saja. Paling cuma iritasi kulit sedikit.”

“Benar nggak, pupnya keluar begitu saja tanpa bisa dikontrol?”

“Di stoma nggak ada petugas jaganya, ya langsung keluar gitu, enggak bisa ditahan. Kentutnya apalagi, kadang sampai bunyi pula. Tapi cuek saja, teman-teman sudah maklum.”

Diantara selingan gojeg kere, Imah bertanya lagi, “Maaf om, agamanya apa?”

Sebenarnya saya tidak suka ditanya-tanya soal agama, tapi kali ini pertanyaan itu sangat relevan. Bagaimana kalau pas shalat, tiba tiba ada yang keluar? Di samping itu, kantongnya bukan jenis lepas-pasang. Meski dibersihkan, mungkin masih ada najis yang tertinggal.

Ternyata ada fatwa MUI bagi penyandang kantong kolostomi. Tertuang dalam fatwa MUI nomor 7 tahun 2009, tentang shalat bagi penyandang stoma.

Pada bagian memutuskan, disebutkan:

1. Shalat bagi penyandang stoma (ostomate), selama masih bisa melepaskan atau membersihkn kantung stoma sebelum shalat, wajib baginya untuk melepaskan atau membersihkannya

2.    Sedangkan apabila tidak dimungkinkan untuk melaksanakan ketentuan nomor satu di atas, maka baginya shalat dengan keadaan apa adanya, karena dalam kondisi tersebut ia termasuk daim al-hadats (orang yang hadatsnya tidak bisa disucikan), yakni dengan berwudhu setiap akan melaksanakan shalat fardhu dan dilakukan setelah masuk waktu shalat.

Saya lega. Ternyata, agama juga punya ruang bagi yang sakit.

***

Hidup ini penuh ketidakpastian, tapi selama kita mau belajar dan beradaptasi, semua bisa dihadapi. Kadang sedikit agak sulit, seringkali sulit banget. Tapi tetap bisa.


HOME


24 November 2022

Ketika Kolostomi Menyapa

 

Rencana mojok di kantin sebelah kantor akhirnya tinggal angan-angan. Saya teringat anak ayam dan kucing-kucing di rumah yang belum diberi makan. Niat menyepi terpaksa dibatalkan. Saya minta sopir mengantar saya pulang.

Ternyata anak ayam tidak selamat. Ya wis lah. Saya kuburkan bangkainya di bawah pohon mangga, disaksikan oleh para kucing yang sepertinya ngerti apa yang terjadi.

Sebelum menuang pakan untuk mereka, saya sempatkan minta maaf karena kemarin membuat mereka kelaparan, lalu saya berpesan, “Tolong, jangan nyolong anak ayam lagi.”

Siangnya, saya merasa baikan. Tidak demam lagi.

Bingung, tidak tahu harus berbuat apa, saya membuka Facebook dan menulis tentang kondisi Yuni. Tak disangka, banyak yang merespons—termasuk dua survivor kanker. Mereka berbagi pengalaman tentang jenis terapi, tentang pengalaman pribadi mereka, dan memberi saran, langkah apa yang sebaiknya saya ambil.

Salah satu nasehat yang paling membantu datang dari seorang teman yang paham dunia herbal. Ia berkata, "Kanker ibarat lomba. Kalau masih stadium satu, bendera start dibaru kibarkan. Pasien masih punya banyak pilihan terapi. Tapi kalau sudah stadium lanjut, saya sarankan ambil terapi medis. Lawanmu sudah ngebut jauh, sementara kamu masih rebahan, belum tahu mau nyusul pakai kendaraan apa. Kalau kamu pilih herbal, besar kemungkinan kamu ketinggalan."

Saya menyela, " Tapi kemo dan radiasi kan efek sampingnya berat?"
Dia menjawab, "Herbal juga punya efek samping. Salah pilih, resikonya juga besar."
Saya penasaran, "Tapi katanya herbal tanpa efek samping?"
Dia tertawa kecil, "Hanya tukang jual ramuan yang berani ngomong begitu."

Saya teringat pernah membaca di laman RS Universitas Indonesia, semua zat yang masuk ke tubuh—berupa makanan, obat, maupun herbal—punya potensi menimbulkan efek yang diinginkan maupun tidak diinginkan. Tidak ada yang benar-benar tanpa resiko.

Kalimat itu mengingatkan saya: harapan tidak boleh mengalahkan logika.

Konsultasi Malam yang Penuh Kejutan

Selepas Magrib, saya mendapat kejutan yang tidak ada dalam jadwal. Dokter bedah digestif memberi waktu untuk konsultasi.

Pengalaman sebelumnya, di rumah sakit lain, dokter sulit diminta waktu, meskipun hanya sekedar untuk sedikit bertanya.

Dokter yang merawat Yuni beda. Tanpa diminta, beliau menjelaskan secara detail dalam bahasa yang mudah dimengerti. Lebih dari itu, beliau menawarkan alternatif terapi—bukan memaksa, tapi mengajak saya memahami pilihan.

 Kalau hasil biopsi benar-benar menunjukkan kanker, beliau menyarankan radiasi dulu, 25 kali berturut-turut.

Saya langsung merinding. Otak saya mulai memutar semua rekaman yang pernah saya baca tentang efek radiasi.

Melihat wajah saya yang mendadak tegang, dokter segera menambahkan, "Kondisi pasien masih bagus. Saya optimis dia bisa menyelesaikan seluruh dosis radiasi tanpa kendala. Harapan saya, massa kankernya bisa menyusut 10–15 persen. Ini bisa mengurangi resiko penyebaran sebelum operasi."

Sebagai orang yang gampang curiga, sempat terlintas prasangka buruk: Apakah ini akal-akalan untuk menambah biaya?  

Dengan nada tetap tenang,  dan tidak ada kesan memaksa, dokter berkata, "Bapak boleh tidak setuju. Tidak apa-apa." Dia bahkan memberi waktu, "Tidak perlu dijawab sekarang. Masih ada sekitar sepuluh hari sampai hasil biopsi keluar."

Saya memberanikan diri bertanya, "Dari pemeriksaan fisik, kira-kira bagaimana kondisi istri saya?"
Dokter menjawab diplomatis, "Kita tunggu hasil biopsinya dulu." Tapi firasat saya berkata lain. Sepertinya bukan lagi stadium awal.

Kolostomi: Babak Baru yang Bikin Puyeng

Saat dokter hendak pergi, saya buru-buru bilang, "Saya ndherek saran dokter."
Dokter menoleh, "Maksudnya?"
"Saya setuju radiasi."

Hening sejenak. Setelah itu dokter bertanya, "Kantong kolostominya mau dipasang bareng biopsi atau nanti bersama operasi kankernya?"

Saya bengong, merasa seperti masuk ke dalam ruang hampa

Dokter menjelaskan, untuk mencegah infeksi akibat massa kanker selalu terkena kotoran, akan dibuat saluran pembuangan darurat—selain lewat dubur. Itulah kolostomi.

Saya  tidak punya bekal apa pun tentang kolostomi. Bahkan kata itu baru pertama kali saya dengar. Meski dijelaskan pelan-pelan, otak saya terlanjur kopong. Hanya terbayang perut Yuni dibolongi, lalu dipasangi kantong untuk menampung kotoran.

Setelah itu, saya tidak tahu lagi mana yang lebih cepat, detak jantung atau munculnya berbagai pertanyaan di kepala. Bagaimana nanti Yuni tidur? Apakah dia bisa merasa nyaman bersama kotoran yang numpuk dikantong selagi belum ada kesempatan membuang? Apa dia akan tetap percaya diri?

Mencari Ketenangan di Tengah Puting Beliung

Dari sini saya belajar, konsultasi dengan dokter bukan sekadar tanya-jawab. Kita butuh bekal informasi dasar dan kesiapan mental untuk menerima kejutan—supaya kepala tidak serasa mau copot.

Saya minta waktu dua hari untuk memutuskan, apakah kolostomi dilakukan bareng biopsi atau bareng operasi kankernya.

Selama dua hari itu terasa seperti naik roller coaster. Kadang yakin, kadang ragu. Kadang tenang, kadang nyaris panik. Sementara Yuni tetap kalem, tidak banyak bicara, dan tak pernah mengeluh.

Saya mencoba mencari informasi tentang kolostomi. Googling sana-sini. Tapi semakin banyak saya baca, semakin bingung. Ada yang bilang biasa saja, seperti pakai kantong infus di perut. Ada yang cerita horor: kantong bocor, infeksi, trauma psikologis, hingga pasien yang merasa kehilangan harga diri.

Saya mencoba menenangkan diri: Bukankah kita juga kehilangan harga diri kalau mendadak diare di perjalanan? 

Tapi ini beda. Ini bukan sekadar keadaan darurat. Ini soal hidup dengan lubang di perut—berdamai dengan kenyataan bahwa kotoran tidak lagi keluar lewat jalur yang semestinya.

Beberapa teman, dengan niat baik, bercerita tentang kerabat mereka yang  tidak kuat hidup dengan kolostomi. Mereka tidak bermaksud menakuti, tapi efeknya, saya seperti duduk di tengah angin puting beliung, dengan topi kertas sebagai satu-satunya pelindung.

Hidup sering tidak berjalan sesuai rencana. Dari rencana mojok yang gagal, anak ayam yang mati, hingga kejutan-kejutan dalam perjalanan melawan kanker. Semua mengajarkan, saya harus terus belajar menerima, beradaptasi, dan menemukan kekuatan di tengah ketidakpastian.

Mungkin besok ada kejutan baru lagi. Tapi hari ini, saya memilih untuk mengambil satu langkah kecil, dan percaya, bahwa kami bisa melewati —satu hari demi satu hari.