15 Desember 2022

CT-Scan Menyusul

 

Setelah hasil biopsi menyatakan positif kanker, Yuni harus menjalani CT Scan.

Untuk apa? Bukankah hasil biopsi saja sudah cukup? Dan apakah CT Scan yang menggunakan sinar-X itu aman bagi tubuhnya?

Paparan sinar-X dari CT Scan ternyata jauh lebih rendah dibandingkan radioterapi. CT Scan hanya dilakukan satu kali, sementara radioterapi akan dilakukan sebanyak 25 kali, hampir setiap hari. Kalau saya bisa menerima radioterapi, tidak ada alasan untuk menolak CT Scan.

Menurut American Cancer Society, pemeriksaan kanker terdiri dari tiga metode utama: tes pencitraan (salah satunya CT Scan), prosedur endoskopi, dan biopsi1.

Karena hasil biopsi sudah menyatakan positif kanker, dokter membutuhkan CT Scan untuk memetakan bentuk dan ukuran kanker secara detail, serta menemukan lokasi pastinya. Ini penting agar radiasi dari radioterapi tepat sasaran, sehingga meminimalkan kerusakan pada jaringan sehat di sekitar kanker.

Saya hanya bisa berharap, semoga dua prosedur ini cukup. Saya benar-benar tidak tega jika Yuni harus melalui kolonoskopi lagi. Sudah cukup banyak prosedur invasif yang menunggu ke depan. Kalau ada yang bisa dihindari, lebih baik begitu. Selain itu, ini juga lebih hemat biaya.

Mencari Jawaban di Tengah Keraguan

Saya kembali membaca ulang semua materi tentang kanker dan terapinya. Namun, bukannya mendapat jawaban yang menenangkan, saya malah kembali mentok pada argumen lama: memilih yang terbaik di antara yang buruk.

Masalahnya, argumen itu justru terasa berlebihan jika dibandingkan dengan hasil pemeriksaan histopatologi yang, dalam pemahaman saya, menunjukkan stadium awal.

Dengan bantuan seorang teman, saya mulai meneliti hasil Patologi Anatomi (PA) secara lebih teliti. Saya bahkan membuat salinan hardcopy-nya, supaya bisa saya coret-coret dan tandai. Sampai akhirnya saya hafal luar kepala semua kalimatnya, saya malah seperti diyakinkan bahwa terapi radiasi sebenarnya tidak perlu.

Namun, teman saya segera mematahkan kesimpulan itu. Sambil menunjuk bagian yang saya tandai dengan spidol merah, ia berkata, “Ini bagaimana?” — yang ditunjukkan adalah kalimat “tumor rektum susp ganas”.

Saya sempat menganggap itu hanya dugaan awal dokter yang sudah tak relevan setelah PA keluar. Namun, sebelum sempat saya membantah, teman saya menambahkan, “Itu hasil pemeriksaan fisik dokter. Sementara PA cuma menganalisis sampel. Tes lab hanya membaca data, bukan merasakan.”

Perlahan-lahan otak saya mulai menyadari. Dugaan dokter terhadap keganasan tidak dibatalkan oleh hasil PA. Mungkin saat dokter menekan area massa tumor, reaksi tubuh Yuni memberi sinyal tambahan yang tidak terbaca oleh sampel PA. Artinya, hasil PA bukanlah kata putus terhadap dugaan ganasnya kanker.

Beh, bajigur!

Saya memegangi kepala saya yang mendadak pening. Ternyata saya keliru menetapkan target. Saya terlalu fokus mencari terapi dengan efek samping paling ringan, padahal yang seharusnya saya cari adalah terapi yang bisa mencegah kanker berkembang menjadi ganas.

Baiklah. Deal. Radioterapi tetap harus dijalankan.

Efek sampingnya? Sudah terpetakan. Nanti pasti ada petunjuk bagaimana cara mengatasinya. Yang penting, saya tidak lagi berpegang pada angan-angan semata, melainkan berusaha sekuat tenaga menghadapi realita.

Catatan Kaki

  1. American Cancer Society. Understanding Diagnostic Tests for Cancer. https://www.cancer.org/cancer/cancer-basics/how-cancer-is-diagnosed/tests-used-to-diagnose-cancer.html

Tidak ada komentar: