Setelah hasil biopsi menyatakan positif kanker, Yuni harus menjalani CT Scan.
Untuk apa? Bukankah hasil biopsi saja sudah cukup? Dan
apakah CT Scan yang menggunakan sinar-X itu aman bagi tubuhnya?
Paparan sinar-X dari CT Scan ternyata jauh lebih rendah
dibandingkan radioterapi. CT Scan hanya dilakukan satu kali, sementara
radioterapi akan dilakukan sebanyak 25 kali, hampir setiap hari. Kalau saya
bisa menerima radioterapi, tidak ada alasan untuk menolak CT Scan.
Menurut American Cancer Society, pemeriksaan kanker terdiri dari tiga metode utama: tes pencitraan (salah satunya CT Scan), prosedur endoskopi, dan biopsi1.
Karena hasil biopsi sudah menyatakan positif kanker, dokter
membutuhkan CT Scan untuk memetakan bentuk dan ukuran kanker secara detail,
serta menemukan lokasi pastinya. Ini penting agar radiasi dari radioterapi
tepat sasaran, sehingga meminimalkan kerusakan pada jaringan sehat di sekitar
kanker.
Saya hanya bisa berharap, semoga dua prosedur ini cukup. Saya
benar-benar tidak tega jika Yuni harus melalui kolonoskopi lagi. Sudah cukup
banyak prosedur invasif yang menunggu ke depan. Kalau ada yang bisa dihindari,
lebih baik begitu. Selain itu, ini juga lebih hemat biaya.
Mencari Jawaban di Tengah Keraguan
Saya kembali membaca ulang semua materi tentang kanker dan
terapinya. Namun, bukannya mendapat jawaban yang menenangkan, saya malah
kembali mentok pada argumen lama: memilih yang terbaik di antara yang buruk.
Masalahnya, argumen itu justru terasa berlebihan jika
dibandingkan dengan hasil pemeriksaan histopatologi yang, dalam pemahaman saya,
menunjukkan stadium awal.
Dengan bantuan seorang teman, saya mulai meneliti hasil
Patologi Anatomi (PA) secara lebih teliti. Saya bahkan membuat salinan
hardcopy-nya, supaya bisa saya coret-coret dan tandai. Sampai akhirnya saya
hafal luar kepala semua kalimatnya, saya malah seperti diyakinkan bahwa terapi
radiasi sebenarnya tidak perlu.
Namun, teman saya segera mematahkan kesimpulan itu. Sambil
menunjuk bagian yang saya tandai dengan spidol merah, ia berkata, “Ini
bagaimana?” — yang ditunjukkan adalah kalimat “tumor rektum susp ganas”.
Saya sempat menganggap itu hanya dugaan awal dokter yang
sudah tak relevan setelah PA keluar. Namun, sebelum sempat saya membantah,
teman saya menambahkan, “Itu hasil pemeriksaan fisik dokter. Sementara PA cuma
menganalisis sampel. Tes lab hanya membaca data, bukan merasakan.”
Perlahan-lahan otak saya mulai menyadari. Dugaan dokter
terhadap keganasan tidak dibatalkan oleh hasil PA. Mungkin saat dokter menekan
area massa tumor, reaksi tubuh Yuni memberi sinyal tambahan yang tidak terbaca
oleh sampel PA. Artinya, hasil PA bukanlah kata putus terhadap dugaan ganasnya
kanker.
Beh, bajigur!
Saya memegangi kepala saya yang mendadak pening. Ternyata
saya keliru menetapkan target. Saya terlalu fokus mencari terapi dengan efek
samping paling ringan, padahal yang seharusnya saya cari adalah terapi yang
bisa mencegah kanker berkembang menjadi ganas.
Baiklah. Deal. Radioterapi tetap harus dijalankan.
Efek sampingnya? Sudah terpetakan. Nanti pasti ada petunjuk
bagaimana cara mengatasinya. Yang penting, saya tidak lagi berpegang pada
angan-angan semata, melainkan berusaha sekuat tenaga menghadapi realita.
Catatan Kaki
- American
Cancer Society. Understanding Diagnostic Tests for Cancer.
https://www.cancer.org/cancer/cancer-basics/how-cancer-is-diagnosed/tests-used-to-diagnose-cancer.html
↩
Tidak ada komentar:
Posting Komentar