Di rumah ada dua smartphone, satu tablet, dan dua laptop. Saya gunakan semua untuk membuka laman-laman yang membahas radiasi. Secara bergantian saya baca, lalu saya tulis masing-masing ringkasannya di kertas HVS.
Lewat tengah malam, ketika saya mulai lelah, tanpa sengaja saya kembali "landing" di laman National Cancer Institute. Sebelumnya saya sudah teliti membaca paparan tentang radio terapinya. Materi yang dibahas tidak jauh beda dari laman-laman lain, hanya sedikit lebih detail. Tapi ketika menjelang menutup tab Chrome yang memuat laman NCI, sekilas saya sempat membaca kalimat:
"…THEN CANCER CELLS KEEP DYING FOR WEEKS OR MONTHS AFTER RADIATION THERAPY ENDS."
Saya merasa tidak pernah ketemu kalimat itu sebelumnya. Atau mungkin pernah terbaca sekilas, hanya karena otak terlalu lelah, jadi luput dari perhatian.
Sempat saya ulang membaca beberapa kali untuk memastikan bahwa memang yang tertulis seperti itu.
Jadi, sel kanker yang diradiasi hanya sekarat saja selama beberapa minggu, atau paling lama dalam hitungan bulan?
Tidak, tidak, tidak. Pasti bukan seperti itu maksudnya. Tidak mungkin mereka menggunakan terapi dengan risiko tinggi hanya untuk mendapat hasil sementara dalam hitungan minggu atau bulan saja.
Tiba-tiba saya merasa sangat lapar.
Setelah menghabiskan sebungkus Indomie guyur (hanya diguyur air panas doang, tanpa direbus) dan segelas kopi manis (naaahhhh, gula lagi), otak saya encer kembali. Barulah saya paham bahwa maksud kalimat itu adalah proses kematian sel kanker terus berlangsung sampai beberapa bulan kemudian setelah terapi berakhir. Bukan berarti selnya hanya sekarat selama beberapa minggu belaka, seperti dugaan semula.
Lega?
Ternyata malah membuat otak ugal-ugalan saya kambuh menciptakan skenario drama baru. Kalau proses pembunuhan terhadap sel kankernya saja berlangsung sampai selama itu, bagaimana nasib sel normal? Padahal kita tahu, sinar radiasi memicu sel normal bermutasi.
Saya memang sedikit punya masalah dengan otak yang kadang kebablasan kreatifnya dalam menciptakan skenario drama. Repotnya, kalau skenario itu saya abaikan, di belakang hari kadang beneran terjadi.
Seperti ketika saya pertama kali melihat rangka atap baja ringan, otak saya langsung melihat potensi tukang atap mati kesetrum seandainya ada kabel terkelupas nyenggol rangka. Merasa kemungkinan itu hanya drama rekayasa otak, saya abaikan dan tidak memberi saran pemilik rumah untuk memasang ELCB sebagai pengaman. Beberapa bulan kemudian beneran terjadi, ada kucing mati kesetrum, dan orang yang disuruh mengambil bangkainya nyaris ikut kesetrum.
(#Bagi yang belum tahu, ELCB berfungsi sebagai proteksi apabila terjadi kebocoran arus listrik pada peralatan listrik, atau ada yang kesetrum#)
Terlalu asyik ngulik internet membuat saya telat tidur. Besoknya bangun kesiangan dengan sekujur badan pegal berat. Gampang ditebak, trigliserida saya pasti njeplak tinggi. Sejak Yuni masuk rumah-sakit menu saya praktis dominan karbo dan gula. Anak sibuk ngurus emaknya. Tidak ada "satpam diet," membuat saya cenderung makan seadanya, asal enak di mulut.
"Harus selalu diawasi gitu? Nggak bisa mikir sendiri kalau istrimu sedang butuh kamu?" Gembul, teman imajiner saya, muncul lagi, langsung nyap-nyap. "Kalau langsung mati, tinggal sorong ke kuburan. Lah kalau kejet-kejet dulu di ICU, siapa yang ngopeni kamu? Punya duit buat bayar?"
Indomie rebus bakal sarapan pagi bersama kopi anget yang sudah siap di meja terpaksa dibuang.
Terus sarapan apa?
Nah, kan? Makanan yang dijajakan di luar semuanya mengandung karbo.
Di meja ada sisa alpukat dari jaman batu, masih bisa dimakan. Tapi kalau tanpa gula... hiyeeeekkkkk...
Akhirnya saya sarapan kentang iris goreng. Karbo juga sih, tapi masa nggak sarapan?
Bagi saya, kenyang identik dengan otak waras. Setelah membuat perjanjian dengan otak untuk tidak gentayangan seenak udel, saya kembali membaca penjelasan mengenai radiasi.
Efek samping masih membuat saya was-was, tapi nalar saya mulai bisa mengerti bahwa saya harus memilih terapi yang memberi manfaat maksimum sekalipun ada risiko besar bersamanya, ketimbang memilih risiko kecil tapi tidak bisa diharapkan manfaatnya. Saya berhadapan dengan kanker yang tidak kenal kompromi.
Sekarang saya mulai yakin, keputusan tetap lanjut radiasi bukan sekadar untung-untungan belaka. Selebihnya tinggal berdoa, semoga hasilnya baik, tanpa ada masalah di kemudian hari.
Saya tahu, keputusan ini tidak menjamin akhir yang mulus. Tapi hidup memang tidak pernah bisa ditebak. Kita hanya bisa berusaha semampu kita, mencari tahu sebanyak mungkin, lalu memilih langkah yang paling masuk akal—meskipun tetap dengan jantung deg-degan.
Kadang saya membayangkan, hidup ini seperti jalan malam di kampung yang sepi. Lampu depan motor cuma bisa menerangi beberapa meter ke depan. Tapi, meski tidak bisa melihat ujung jalan, kita tetap melaju pelan-pelan, percaya bahwa sepanjang tetap di jalur, kita akan sampai tujuan.
Dan kalaupun nanti di ujung jalan itu ada yang tidak sesuai harapan, setidaknya saya tahu bahwa saya sudah mencoba berpikir, berdoa, dan berjuang.
Saya tidak ingin menyesal hanya karena membiarkan rasa takut mengatur keputusan. Karena kalau ada satu hal yang saya pelajari dari malam-malam panjang bersama internet dan kopi manis: pengetahuan bisa menakutkan, tapi ketidaktahuan seringkali jauh lebih kejam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar