07 Desember 2022

Keputusan Yang Membelah Hati

Setelah kata kolostomi resmi jadi bagian dari hidup saya,, bab selanjutnya ternyata lebih seru lagi — masuk ke dunia pengobatan alternatif.

Begitu kabar penyakit Yuni mulai terdengar ke lingkaran teman dan saudara, telepon saya jadi lebih sibuk daripada biasanya. Ada yang menelepon sambil setengah berbisik, “Jangan kemoterapi, nanti malah tambah parah.” Ada yang kirim video testimoni pasien yang sembuh total karena minum rebusan akar langka dari gunung (tapi selalu tidak disebut dengan jelas identitas gunungnya). Ada juga yang datang langsung, membawa plastik kresek berisi botol-botol cairan coklat pekat yang katanya “pahitnya luar biasa, tapi manjur.”

Saya tahu, mereka peduli. Mereka ingin Yuni sembuh. Tapi yang mereka tidak tahu adalah: semua perhatian itu, secara tak langsung, justru menambah beban mental saya.

Setiap menerima satu saran, saya harus menyaringnya, menelusuri kebenarannya, lalu membuat keputusan. Bagian paling sulitnya, menolak tanpa melukai perasaan.

Saya sudah mencoba segala cara penolakan halus:

“Wah, makasih ya… nanti saya pelajari dulu.”

“Kayaknya belum bisa campur pengobatan, takut bentrok.”

“Dokternya bilang sebaiknya jangan dulu…”

Tapi tetap saja, ada satu-dua yang tersinggung. Bahkan ada yang berkata dengan nada tinggi,“Kalau nggak percaya sama saya, ya sudah. Nggak usah minta pendapat saya lagi.”

Padahal saya tidak pernah minta ke dia. Tapi ya sudahlah.

Di titik itulah saya belajar sesuatu yang penting: niat baik tidak selalu datang dalam kemasan yang mudah ditelan. Ada yang dibungkus ketulusan, ada juga yang terselip keinginan untuk "didengar dan diikuti."

Saya harus mengambil keputusan yang cukup menyakitkan. Saya tolak semua ramuan dan saran alternatif, bukan karena  merasa tahu segalanya, tapi karena saya sudah memilih untuk percaya pada jalan medis yang kami tempuh bersama dokter. Dan percaya itu penting, supaya langkah kami tidak selalu goyah di tengah jalan.

Yuni sendiri tidak pernah memaksa. Dia tahu saya jungkir balik mencari yang terbaik. Itulah yang akhirnya jadi pedoman saya, bukan mana yang lebih hebat, tapi mana yang lebih bisa kami jalani dengan penuh keyakinan.

Saya tidak bisa memaksakan diri untuk menyenangkan semua orang. Di saat seperti ini, saya harus belajar memilah, siapa yang bisa diajak jalan bareng, dan siapa yang lebih baik diam-diam dilepaskan.

Hidup ini tidak butuh terlalu banyak orang yang memberi pendapat. 

Saya tidak menyangka, keputusan yang bersifat pribadi dan saya ambil demi kenyamanan istri, justru bisa menimbulkan beban batin baru.

Ternyata, memilih jalan sendiri pun ada harganya.


Tidak ada komentar: