Ketika saya semakin bingung memilih terapi yang kuat diajak
adu balap dengan kanker, sekaligus tidak menimbulkan dampak negatif berlebihan
di belakang hari, ternyata saya sendiri juga ikut masuk arena balap.
Ada banyak hal yang harus saya pikir, pertimbangkan,
pelajari, dan putuskan dalam waktu singkat, dan kadang secara bersamaan.
Semula saya sangka hanya akan kepepet urusan finansial saja.
Tidak pernah terbayang saya harus gedandapan mempelajari setumpuk materi tentang kanker dan terapinya, sekaligus dalam waktu singkat, macam mahasiswa yang terpaksa pecicilan belajar
di malam menjelang ujian.
Repotnya, setelah satu materi bisa saya pahami, bukan tambah
pinter, justru membuat saya semakin gamang, karena risiko yang harus dihadapi
Yuni beneran di luar perkiraan.
Lalu ada yang mencela, “Salahmu sendiri, ngapain repot-repot
mempelajari kanker? Itu urusan dokter. Bagianmu bayar biaya rumah sakit,
menyediakan keperluan istrimu, dan mendampingi.”
Saya tidak bisa menyalahkan, sekalipun juga tidak bisa
setuju begitu saja. Saya tetap harus aktif ambil peran dalam menentukan pilihan,
karena apa pun yang terjadi di belakang nanti, akan menjadi tanggung jawab
saya.
Saya tidak mau menyerahkan nasib Yuni begitu saja pada orang
lain, dokter sekalipun. Karena seandainya nanti kepentok hasil buruk, paling banter mereka cuma bisa ngeles dengan alasan
sudah menjadi kehendak Tuhan.
Memang semua hanya terjadi atas kehendak Tuhan.
Tapi tentu Tuhan tidak pernah menghendaki saya hanya duduk bengong saja dan
membiarkan Yuni berjuang sendiri. Ada dua sisi perjuangan: berdoa dan berusaha.
Keduanya harus dilakoni dengan sepenuh hati. Yuni sedang sakit, maka perjuangan
untuk berupaya sehat kembali beralih ke pundak saya.
Masalahnya, di antara sekian banyak saran yang saya terima, beberapa ternyata hanya mitos belaka. Seandainya saya tidak belajar, besar
kemungkinan saya keliru mengikuti saran. Macam orang-orang yang di masa pandemi
lalu terhasut hoaks, percaya ivermectin bisa menangkal COVID. Lalu obat cacing yang
mestinya hanya diminum dalam jangka tertentu, diminum sampai tiga kali sehari.
Salah satu mitos yang paling sering saya dengar adalah saran
mengurangi sebanyak mungkin asupan gula. Selain dituduh sebagai biang pemicu kanker, gula dianggap sebagai makanan utama bagi sel kanker. Mengurangi asupan gula dianggap bisa membunuh sel kanker.
Ada pula yang menyarankan diet tertentu untuk mengurangi
asupan karbohidrat sebagai pengganti terapi medis, karena diyakini diet itu
bisa membuat sel kanker kekurangan glukosa dan akhirnya mati dengan sendirinya.
Sebelum nemu rujukannya, saya hanya berpegang pada pemahaman
sederhana: glukosa juga dibutuhkan oleh sel normal. Dengan asupan wajar saja,
sel normal pada penderita kanker sudah mengalami defisit glukosa akibat suplai
dirampas oleh sel kanker. Kalau asupannya dikurangi, sudah pasti sel normal
akan menderita duluan ketimbang sel kankernya.
Tanpa Yuni kena kanker pun saya sangat setuju membatasi
asupan gula rafinasi, tapi membatasi asupan glukosa untuk “membunuh sel kanker”
agak sulit saya pahami.
Supaya tidak terjebak dalam opini, saya mencari rujukannya.
Saya gunakan kata kunci “does sugar cause cancer?”. Sumber pertama yang saya
jumpai adalah laman Parkway Cancer Centre. Kebetulan bisa memilih bahasa
Indonesia, jadi lebih gampang memahaminya.
Pada artikel yang ditulis oleh Dr. See Hui Ti dengan judul
“Apakah gula menyebabkan kanker? Apa hubungan keduanya?”, disebutkan bahwa
tidak ada penelitian konklusif pada manusia yang menunjukkan bahwa gula
menyebabkan kanker atau mendorong sel kanker untuk tumbuh lebih cepat.
Semua sel, termasuk sel kanker, membutuhkan gula sebagai sumber energi. Memberikan lebih banyak gula ke sel kanker tidak mempercepat
pertumbuhannya. Tidak mengonsumsi gula juga tidak memperlambat pertumbuhan sel
kanker.
Meskipun ada rujukan yang meneguhkan dugaan saya, tidak
membuat saya berhenti mencari sumber lain. Target saya mendapatkan kebenaran,
bukan mencari dukungan dan pembenaran terhadap dugaan saya.
Beberapa laman yang saya jumpai kemudian, antara lain
CANCER.NET, AMERICAN INSTITUTE FOR CANCER RESEARCH, dan MD ANDERSON CANCERCENTER memang memperkuat pendapat bahwa gula tidak memiliki korelasi langsung
terhadap kanker, tapi saya butuh penjelasan lebih detail. Tidak masalah
seandainya nanti ternyata ada yang membuktikan sebaliknya.
Setelah mengunjungi banyak laman, termasuk di antaranya
kesandung hasil penelitian di Belgia yang menemukan hubungan nyata antara gula
dengan kanker, akhirnya saya temukan laman Oncology Nutrition dan MemorialSloan Kettering Cancer Center yang memberi penjelasan lumayan komplit dan mudah
dipahami oleh awam.
Kalau berminat, silakan dibaca sendiri langsung dari
sumbernya. Seandainya memerlukan penjelasan lebih rinci, silakan mengunjungi
laman National Library of Medicine.
Sebagai penutup, saya kutip kesimpulan dari beberapa sumber:
Highlights dari MSKCC:
- Obesitas
– memiliki terlalu banyak lemak tubuh – adalah faktor risiko jelas untuk
kanker.
- Mengonsumsi
banyak karbohidrat olahan, termasuk makanan dengan tambahan gula, dapat
menyebabkan obesitas.
- Lemak
tubuh memicu peradangan, yang dapat merusak DNA dan menyebabkan kanker.
Bagaimana dengan hasil penelitian di Belgia? Penelitian itu
dilakukan untuk mengetahui lebih detail cara sel kanker mengolah glukosa
sebagai sumber energi. Semakin banyak glukosa yang diolah, pertumbuhan sel
kanker semakin cepat. Tapi, sama seperti sumber lain, disebutkan pula bahwa
gula bukan penyebab langsung kanker, melainkan berkaitan erat dengan obesitas,
karena diduga ada perbedaan dalam proses pengelolaan gula di tubuh yang
mengalami obesitas.
Bagaimana dengan saya? Otak saya masih belum tenang.
Sepertinya ada alasan lain yang belum ketemu.
Tapi yang pasti, saya tahu satu hal: saya tidak akan berhenti belajar dan mencari yang terbaik. Walaupun
capek, bingung, kadang marah, kadang nangis, saya tetap akan jadi partner
Yuni dalam balapan ini. Karena pada akhirnya, ini bukan soal seberapa cepat
saya paham, tapi seberapa besar usaha saya untuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar