14 Desember 2022

Hari Penentuan, dan Prasangka yang Tak Bisa Dipendam

Akhirnya, hari penentuan itu tiba. Saya mendapat kabar dari perawat, hasil Pemeriksaan Hispatologi yang dilakukan oleh Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran UGM sudah diterima oleh rumah sakit tempat Yuni dirawat. Dokter akan segera menjelaskan hasilnya.

Saat saya duduk menunggu dokter, beberapa pesan WhatsApp masuk. Banyak yang menanyakan kondisi Yuni, menunjukkan perhatian dan empati. Tapi ada satu pesan yang bikin saya nyengir. Dari Nyai, dia bilang, “Berdoa saja, semoga bukan kanker.”

Kalau baru berdoa setelah hasilnya keluar, yo telat, tapi nggak apa-apa lah. Niatnya kan baik. Lagipula, saya tahu, Nyai juga sedang menjalani perawatan untuk breast cancer-nya. Mungkin dia lagi suntuk, dan butuh hiburan dengan bercanda sedikit.

Saya jadi ingat, Nyai sempat marah saat tahu saya baru membawa Yuni ke dokter setelah HB-nya drop sampai 4,2. “Lanangan cap apa, istri sakit enggak segera diajak ke dokter?” katanya dengan nada tinggi.

Ya wis, salaaaahhh… saya hanya unjal ambegan sambil berusaha memaklumi kekhawatirannya.

Akhirnya, dokter memanggil saya. Hasilnya ternyata sesuai dugaan saya beberapa bulan sebelumnya: Yuni memang positif kanker. Berdasarkan pemeriksaan histopatologi terhadap sampel dengan diagnose klinis tumor rectum terduga ganas, hasilnya: Adenocarcinoma, NOS, Low Grade. Fistologic grade: Well Differentiated; Grade I of IV (AJCC 8th ed. Grading).

Dari berbagai sumber bacaan, terhadap hasil biopsi itu, saya mendapat kesimpulan sebagai berikut:

1. "Adenocarcinoma, NOS"

  • Adenocarcinoma = Kanker yang berasal dari sel-sel kelenjar (bisa di usus besar, lambung, pankreas, dll).
  • NOS (Not Otherwise Specified) = Jenis ini tidak termasuk subtipe tertentu; hanya disebut umum sebagai adenokarsinoma.

2. "Low Grade"

  • Artinya tingkat keganasan sel kanker masih rendah. Masih cukup mirip dengan sel normal. Tumbuhnya lebih lambat, dan kemungkinan menyebarnya juga masih lambat.

3. "Histologic grade: Well Differentiated"

  • Menunjukkan bahwa sel kanker masih mirip sel normal, sehingga disebut “well differentiated”.
  • Biasanya dianggap tingkat keganasan yang paling ringan dibanding "moderately differentiated" atau "poorly differentiated".

4. "Grade I of IV (AJCC 8th ed. Grading)"

  • Dalam sistem grading kanker (berdasarkan American Joint Committee on Cancer - AJCC Edisi ke-8),
    • Grade I dari IV = tingkat paling ringan (ada empat tingkat: I, II, III, IV).
    • Berarti sel kanker tumbuh lambat, lebih jinak, dan memiliki prognosis yang lebih baik.

Hasil Biopsi menunjukkan kanker kelenjar (adenokarsinoma) yang tergolong ringan atau stadium awal dalam hal keganasan. Sel-selnya masih cukup mirip dengan sel sehat, tumbuh lambat, dan berpotensi lebih mudah ditangani dibanding kanker dengan grade lebih tinggi.

Setelah sesaat sempat lega, saya teringat tulisan di salah satu blog yang membahas efek samping radiasi:

Secondary malignancies are caused by treatment with radiation or chemotherapy. They are unrelated to the first cancer that was treated, and may occur months or even years after initial treatment.

Dalam pemahaman saya, Secondary malignancy adalah kanker baru yang muncul akibat pengobatan kanker sebelumnya, tidak berhubungan langsung dengan kanker awal, dan biasanya muncul dalam jangka panjang setelah pengobatan selesai.

Otak saya langsung ribut. Seandainya radiasi malah bisa memicu kanker baru, mengapa dokter tetap menyarankan radiasi? Apakah untuk kanker dengan grade rendah, radiasi masih diperlukan? 

Saya tahan pertanyaan itu untuk diri sendiri. Kalau saya utarakan pada orang lain, kuwatirnya nanti malah ada yang ngompori, nuduh dokter macam-macam. Dalam posisi saat itu saya harus menjaga, jangan sampai benih prasangka buruk yang sudah bersemi di otak saya, tumbuh liar akibat komentar sembarangan. Saya harus berusaha tetap tenang dan berpikiran jernih. Nasib Yuni sepenuhnya berada di tangan saya.

Pada kesempatan konsultasi, hampir saja temuan itu saya tanyakan pada dokter, tapi saya urungkan. Kondisi emosi saya sedang kritis, takutnya nanti saya bicara lepas kontrol, lalu membuat suasana jadi tidak nyaman. Ujung-ujungnya malah tambah repot.

Tapi ada satu hal yang membuat prasangka saya sedikit mereda. Dari cara dokter bicara, tatapan matanya, dan bahasa tubuhnya, saya melihat kesungguhan yang tulus. Bukan basa-basi. Bukan asal bicara, apalagi tersembunyi niatan komersial.

Masalahnya, otak saya terus saja bertingkah, “Atau jangan-jangan dokternya juga tidak paham terhadap resiko yang itu?”.

Bisa saja. Penelitian berlangsung setiap hari, seandainya efek samping itu baru diketahui belum lama berselang, ada kemungkinan dokter belum mengetahui. Atau bisa pula  temuan itu masih sebagai dugaan, sementara alternatif lain untuk terapi kanker belum ada, sehingga dokter tidak punya pilihan.

Saya lanjutkan menggali semakin dalam. Tapi tidak gampang. Selain harus memeras otak untuk memahami berbagai istilah yang baru kali itu saya temui, setelah pahampun justru membuat saya tambah kuwatir.

Repotnya, ketika saya belum nemu petunjuk lain, sementara jadwal radiasi semakin dekat, ada masukan dari seseorang yang paham medis. “Keponakanku tumbuh kanker baru di tempat lain, lebih ganas. Dugaanku, disebabkan oleh radiasi.”

Tiba-tiba badan ini terasa sangat lelah. Pikiran saya rasanya penuh. Hati saya pun begitu. Rasanya saya ingin menyerah. Tapi saya tahu, ini bukan tentang saya. Ini tentang Yuni, yang sedang berjuang dengan tubuhnya, yang tetap tersenyum meski dalam sakitnya.


HOME


Tidak ada komentar: