Akhirnya, hari penentuan itu tiba. Saya mendapat kabar dari
perawat, hasil Pemeriksaan Hispatologi yang dilakukan oleh Departemen Patologi
Anatomik Fakultas Kedokteran UGM sudah diterima oleh rumah sakit tempat Yuni
dirawat. Dokter akan segera menjelaskan hasilnya.
Saat saya duduk menunggu dokter, beberapa pesan WhatsApp
masuk. Banyak yang menanyakan kondisi Yuni, menunjukkan perhatian dan empati.
Tapi ada satu pesan yang bikin saya nyengir. Dari Nyai, dia bilang, “Berdoa
saja, semoga bukan kanker.”
Kalau baru berdoa setelah hasilnya keluar, yo telat, tapi
nggak apa-apa lah. Niatnya kan baik. Lagipula, saya tahu, Nyai juga sedang
menjalani perawatan untuk breast cancer-nya. Mungkin dia lagi suntuk, dan butuh
hiburan dengan bercanda sedikit.
Saya jadi ingat, Nyai sempat marah saat tahu saya baru
membawa Yuni ke dokter setelah HB-nya drop sampai 4,2. “Lanangan cap apa, istri
sakit enggak segera diajak ke dokter?” katanya dengan nada tinggi.
Ya wis, salaaaahhh… saya hanya unjal ambegan sambil berusaha
memaklumi kekhawatirannya.
Akhirnya, dokter memanggil saya. Hasilnya ternyata sesuai
dugaan saya beberapa bulan sebelumnya: Yuni memang positif kanker. Berdasarkan
pemeriksaan histopatologi terhadap sampel dengan diagnose klinis tumor rectum
terduga ganas, hasilnya: Adenocarcinoma, NOS, Low Grade. Fistologic
grade: Well Differentiated; Grade I of IV (AJCC 8th ed. Grading).
Dari berbagai sumber bacaan, terhadap hasil biopsi itu, saya
mendapat kesimpulan sebagai berikut:
1. "Adenocarcinoma, NOS"
- Adenocarcinoma
= Kanker yang berasal dari sel-sel kelenjar (bisa di usus besar, lambung,
pankreas, dll).
- NOS
(Not Otherwise Specified) = Jenis ini tidak termasuk subtipe tertentu;
hanya disebut umum sebagai adenokarsinoma.
2. "Low Grade"
- Artinya
tingkat keganasan sel kanker masih rendah. Masih cukup mirip dengan
sel normal. Tumbuhnya lebih lambat, dan kemungkinan menyebarnya juga masih
lambat.
3. "Histologic grade: Well Differentiated"
- Menunjukkan
bahwa sel kanker masih mirip sel normal, sehingga disebut “well
differentiated”.
- Biasanya
dianggap tingkat keganasan yang paling ringan dibanding
"moderately differentiated" atau "poorly
differentiated".
4. "Grade I of IV (AJCC 8th ed. Grading)"
- Dalam
sistem grading kanker (berdasarkan American Joint Committee on
Cancer - AJCC Edisi ke-8),
- Grade
I dari IV = tingkat paling ringan (ada empat tingkat: I, II, III,
IV).
- Berarti sel kanker tumbuh lambat, lebih jinak, dan memiliki prognosis yang lebih baik.
Hasil Biopsi menunjukkan kanker kelenjar (adenokarsinoma) yang
tergolong ringan atau stadium awal dalam hal keganasan. Sel-selnya masih
cukup mirip dengan sel sehat, tumbuh lambat, dan berpotensi lebih mudah
ditangani dibanding kanker dengan grade lebih tinggi.
Setelah sesaat sempat lega, saya teringat tulisan di salah
satu blog yang membahas efek samping radiasi:
“Secondary malignancies are caused by treatment with
radiation or chemotherapy. They are unrelated to the first cancer that was
treated, and may occur months or even years after initial treatment.”
Dalam pemahaman saya, Secondary malignancy adalah kanker
baru yang muncul akibat pengobatan kanker sebelumnya, tidak berhubungan
langsung dengan kanker awal, dan biasanya muncul dalam jangka panjang
setelah pengobatan selesai.
Otak saya langsung ribut. Seandainya radiasi malah bisa
memicu kanker baru, mengapa dokter tetap menyarankan radiasi? Apakah untuk kanker dengan grade rendah, radiasi
masih diperlukan?
Saya tahan pertanyaan itu untuk diri sendiri. Kalau saya
utarakan pada orang lain, kuwatirnya nanti malah ada yang ngompori, nuduh
dokter macam-macam. Dalam posisi saat itu saya harus menjaga, jangan sampai
benih prasangka buruk yang sudah bersemi di otak saya, tumbuh liar akibat
komentar sembarangan. Saya harus berusaha tetap tenang dan berpikiran jernih.
Nasib Yuni sepenuhnya berada di tangan saya.
Pada kesempatan konsultasi, hampir saja temuan itu saya
tanyakan pada dokter, tapi saya urungkan. Kondisi emosi saya sedang kritis,
takutnya nanti saya bicara lepas kontrol, lalu membuat suasana jadi tidak
nyaman. Ujung-ujungnya malah tambah repot.
Tapi ada satu hal yang membuat prasangka saya sedikit
mereda. Dari cara dokter bicara, tatapan matanya, dan bahasa tubuhnya, saya
melihat kesungguhan yang tulus. Bukan basa-basi. Bukan asal bicara, apalagi tersembunyi
niatan komersial.
Masalahnya, otak saya terus saja bertingkah, “Atau
jangan-jangan dokternya juga tidak paham terhadap resiko yang itu?”.
Bisa saja. Penelitian berlangsung setiap hari, seandainya
efek samping itu baru diketahui belum lama berselang, ada kemungkinan dokter
belum mengetahui. Atau bisa pula temuan itu masih sebagai dugaan,
sementara alternatif lain untuk terapi kanker belum ada, sehingga dokter tidak
punya pilihan.
Saya lanjutkan menggali semakin dalam. Tapi tidak gampang.
Selain harus memeras otak untuk memahami berbagai istilah yang baru kali itu
saya temui, setelah pahampun justru membuat saya tambah kuwatir.
Repotnya, ketika saya belum nemu petunjuk lain, sementara
jadwal radiasi semakin dekat, ada masukan dari seseorang yang paham medis.
“Keponakanku tumbuh kanker baru di tempat lain, lebih ganas. Dugaanku,
disebabkan oleh radiasi.”
Tiba-tiba badan ini terasa sangat lelah. Pikiran saya
rasanya penuh. Hati saya pun begitu. Rasanya saya ingin menyerah. Tapi saya
tahu, ini bukan tentang saya. Ini tentang Yuni, yang sedang berjuang dengan
tubuhnya, yang tetap tersenyum meski dalam sakitnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar