Rencana mojok di kantin sebelah kantor akhirnya tinggal
angan-angan. Saya teringat anak ayam dan kucing-kucing di rumah yang belum
diberi makan. Niat menyepi terpaksa dibatalkan. Saya minta sopir mengantar saya
pulang.
Ternyata anak ayam tidak selamat. Ya wis lah. Saya kuburkan
bangkainya di bawah pohon mangga, disaksikan oleh para kucing yang sepertinya
ngerti apa yang terjadi.
Sebelum menuang pakan untuk mereka, saya sempatkan minta
maaf karena kemarin membuat mereka kelaparan, lalu saya berpesan, “Tolong,
jangan nyolong anak ayam lagi.”
Siangnya, saya merasa baikan. Tidak
demam lagi.
Bingung, tidak tahu harus berbuat apa, saya membuka Facebook
dan menulis tentang kondisi Yuni. Tak disangka, banyak yang merespons—termasuk
dua survivor kanker. Mereka berbagi pengalaman tentang jenis terapi, tentang pengalaman
pribadi mereka, dan memberi saran, langkah apa yang sebaiknya saya ambil.
Saya menyela, "
Tapi kemo dan radiasi kan efek sampingnya berat?"
Dia menjawab, "Herbal juga punya efek samping. Salah pilih, resikonya
juga besar."
Saya penasaran, "Tapi katanya herbal tanpa efek samping?"
Dia tertawa kecil, "Hanya tukang jual ramuan yang berani ngomong
begitu."
Saya teringat
pernah membaca di laman RS Universitas Indonesia, semua zat yang masuk ke
tubuh—berupa makanan, obat, maupun herbal—punya potensi menimbulkan efek yang
diinginkan maupun tidak diinginkan. Tidak ada yang benar-benar tanpa resiko.
Kalimat itu mengingatkan saya: harapan tidak boleh
mengalahkan logika.
Konsultasi Malam yang Penuh Kejutan
Selepas Magrib, saya mendapat kejutan yang tidak ada dalam
jadwal. Dokter bedah digestif memberi waktu untuk konsultasi.
Pengalaman sebelumnya, di rumah sakit lain, dokter sulit diminta
waktu, meskipun hanya sekedar untuk sedikit bertanya.
Dokter yang merawat Yuni beda. Tanpa diminta, beliau
menjelaskan secara detail dalam bahasa yang mudah dimengerti. Lebih dari itu,
beliau menawarkan alternatif terapi—bukan memaksa, tapi mengajak saya memahami
pilihan.
Kalau hasil biopsi
benar-benar menunjukkan kanker, beliau menyarankan radiasi dulu, 25 kali
berturut-turut.
Saya langsung merinding. Otak saya mulai memutar semua rekaman
yang pernah saya baca tentang efek radiasi.
Melihat wajah saya yang mendadak tegang, dokter segera
menambahkan, "Kondisi pasien masih bagus. Saya optimis dia bisa
menyelesaikan seluruh dosis radiasi tanpa kendala. Harapan saya, massa
kankernya bisa menyusut 10–15 persen. Ini bisa mengurangi resiko penyebaran
sebelum operasi."
Sebagai orang yang gampang curiga, sempat terlintas
prasangka buruk: Apakah ini akal-akalan untuk menambah biaya?
Dengan nada tetap tenang, dan tidak ada kesan memaksa, dokter
berkata, "Bapak boleh tidak setuju. Tidak apa-apa." Dia
bahkan memberi waktu, "Tidak perlu dijawab sekarang. Masih ada
sekitar sepuluh hari sampai hasil biopsi keluar."
Saya memberanikan diri bertanya, "Dari
pemeriksaan fisik, kira-kira bagaimana kondisi istri saya?"
Dokter menjawab diplomatis, "Kita tunggu hasil biopsinya
dulu." Tapi firasat saya berkata lain. Sepertinya bukan lagi
stadium awal.
Kolostomi: Babak Baru yang Bikin Puyeng
Saat dokter hendak pergi, saya buru-buru bilang, "Saya
ndherek saran dokter."
Dokter menoleh, "Maksudnya?"
"Saya setuju radiasi."
Hening sejenak. Setelah itu dokter bertanya, "Kantong
kolostominya mau dipasang bareng biopsi atau nanti bersama operasi kankernya?"
Saya bengong, merasa seperti masuk ke dalam ruang hampa
Dokter menjelaskan, untuk mencegah infeksi akibat massa
kanker selalu terkena kotoran, akan dibuat saluran pembuangan darurat—selain
lewat dubur. Itulah kolostomi.
Saya tidak punya bekal apa pun tentang kolostomi. Bahkan
kata itu baru pertama kali saya dengar. Meski dijelaskan pelan-pelan, otak saya
terlanjur kopong. Hanya terbayang perut Yuni dibolongi, lalu
dipasangi kantong untuk menampung kotoran.
Setelah itu, saya tidak tahu lagi mana yang lebih cepat,
detak jantung atau munculnya berbagai pertanyaan di kepala. Bagaimana nanti
Yuni tidur? Apakah dia bisa merasa nyaman bersama kotoran yang numpuk dikantong
selagi belum ada kesempatan membuang? Apa dia akan tetap percaya diri?
Mencari Ketenangan di Tengah Puting Beliung
Dari sini saya belajar, konsultasi dengan dokter bukan
sekadar tanya-jawab. Kita butuh bekal informasi dasar dan kesiapan mental untuk
menerima kejutan—supaya kepala tidak serasa mau copot.
Saya minta waktu dua hari untuk memutuskan, apakah kolostomi
dilakukan bareng biopsi atau bareng operasi kankernya.
Selama dua hari itu terasa seperti naik roller coaster.
Kadang yakin, kadang ragu. Kadang tenang, kadang nyaris panik. Sementara Yuni
tetap kalem, tidak banyak bicara, dan tak pernah mengeluh.
Saya mencoba mencari informasi tentang kolostomi. Googling
sana-sini. Tapi semakin banyak saya baca, semakin bingung. Ada yang bilang
biasa saja, seperti pakai kantong infus di perut. Ada yang cerita horor:
kantong bocor, infeksi, trauma psikologis, hingga pasien yang merasa kehilangan
harga diri.
Saya mencoba menenangkan diri: Bukankah kita juga
kehilangan harga diri kalau mendadak diare di perjalanan?
Tapi ini beda. Ini bukan sekadar keadaan darurat. Ini soal
hidup dengan lubang di perut—berdamai dengan kenyataan bahwa kotoran tidak lagi
keluar lewat jalur yang semestinya.
Beberapa teman, dengan niat baik, bercerita tentang kerabat
mereka yang tidak kuat hidup dengan
kolostomi. Mereka tidak bermaksud menakuti, tapi efeknya, saya seperti duduk di
tengah angin puting beliung, dengan topi kertas sebagai satu-satunya pelindung.
Hidup sering tidak berjalan sesuai rencana. Dari rencana
mojok yang gagal, anak ayam yang mati, hingga kejutan-kejutan dalam perjalanan
melawan kanker. Semua mengajarkan, saya harus terus belajar menerima,
beradaptasi, dan menemukan kekuatan di tengah ketidakpastian.
Mungkin besok ada kejutan baru lagi. Tapi hari ini, saya
memilih untuk mengambil satu langkah kecil, dan percaya, bahwa kami bisa
melewati —satu hari demi satu hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar