24 November 2022

Ketika Kolostomi Menyapa

 

Rencana mojok di kantin sebelah kantor akhirnya tinggal angan-angan. Saya teringat anak ayam dan kucing-kucing di rumah yang belum diberi makan. Niat menyepi terpaksa dibatalkan. Saya minta sopir mengantar saya pulang.

Ternyata anak ayam tidak selamat. Ya wis lah. Saya kuburkan bangkainya di bawah pohon mangga, disaksikan oleh para kucing yang sepertinya ngerti apa yang terjadi.

Sebelum menuang pakan untuk mereka, saya sempatkan minta maaf karena kemarin membuat mereka kelaparan, lalu saya berpesan, “Tolong, jangan nyolong anak ayam lagi.”

Siangnya, saya merasa baikan. Tidak demam lagi.

Bingung, tidak tahu harus berbuat apa, saya membuka Facebook dan menulis tentang kondisi Yuni. Tak disangka, banyak yang merespons—termasuk dua survivor kanker. Mereka berbagi pengalaman tentang jenis terapi, tentang pengalaman pribadi mereka, dan memberi saran, langkah apa yang sebaiknya saya ambil.

Salah satu nasehat yang paling membantu datang dari seorang teman yang paham dunia herbal. Ia berkata, "Kanker ibarat lomba. Kalau masih stadium satu, bendera start dibaru kibarkan. Pasien masih punya banyak pilihan terapi. Tapi kalau sudah stadium lanjut, saya sarankan ambil terapi medis. Lawanmu sudah ngebut jauh, sementara kamu masih rebahan, belum tahu mau nyusul pakai kendaraan apa. Kalau kamu pilih herbal, besar kemungkinan kamu ketinggalan."

Saya menyela, " Tapi kemo dan radiasi kan efek sampingnya berat?"
Dia menjawab, "Herbal juga punya efek samping. Salah pilih, resikonya juga besar."
Saya penasaran, "Tapi katanya herbal tanpa efek samping?"
Dia tertawa kecil, "Hanya tukang jual ramuan yang berani ngomong begitu."

Saya teringat pernah membaca di laman RS Universitas Indonesia, semua zat yang masuk ke tubuh—berupa makanan, obat, maupun herbal—punya potensi menimbulkan efek yang diinginkan maupun tidak diinginkan. Tidak ada yang benar-benar tanpa resiko.

Kalimat itu mengingatkan saya: harapan tidak boleh mengalahkan logika.

Konsultasi Malam yang Penuh Kejutan

Selepas Magrib, saya mendapat kejutan yang tidak ada dalam jadwal. Dokter bedah digestif memberi waktu untuk konsultasi.

Pengalaman sebelumnya, di rumah sakit lain, dokter sulit diminta waktu, meskipun hanya sekedar untuk sedikit bertanya.

Dokter yang merawat Yuni beda. Tanpa diminta, beliau menjelaskan secara detail dalam bahasa yang mudah dimengerti. Lebih dari itu, beliau menawarkan alternatif terapi—bukan memaksa, tapi mengajak saya memahami pilihan.

 Kalau hasil biopsi benar-benar menunjukkan kanker, beliau menyarankan radiasi dulu, 25 kali berturut-turut.

Saya langsung merinding. Otak saya mulai memutar semua rekaman yang pernah saya baca tentang efek radiasi.

Melihat wajah saya yang mendadak tegang, dokter segera menambahkan, "Kondisi pasien masih bagus. Saya optimis dia bisa menyelesaikan seluruh dosis radiasi tanpa kendala. Harapan saya, massa kankernya bisa menyusut 10–15 persen. Ini bisa mengurangi resiko penyebaran sebelum operasi."

Sebagai orang yang gampang curiga, sempat terlintas prasangka buruk: Apakah ini akal-akalan untuk menambah biaya?  

Dengan nada tetap tenang,  dan tidak ada kesan memaksa, dokter berkata, "Bapak boleh tidak setuju. Tidak apa-apa." Dia bahkan memberi waktu, "Tidak perlu dijawab sekarang. Masih ada sekitar sepuluh hari sampai hasil biopsi keluar."

Saya memberanikan diri bertanya, "Dari pemeriksaan fisik, kira-kira bagaimana kondisi istri saya?"
Dokter menjawab diplomatis, "Kita tunggu hasil biopsinya dulu." Tapi firasat saya berkata lain. Sepertinya bukan lagi stadium awal.

Kolostomi: Babak Baru yang Bikin Puyeng

Saat dokter hendak pergi, saya buru-buru bilang, "Saya ndherek saran dokter."
Dokter menoleh, "Maksudnya?"
"Saya setuju radiasi."

Hening sejenak. Setelah itu dokter bertanya, "Kantong kolostominya mau dipasang bareng biopsi atau nanti bersama operasi kankernya?"

Saya bengong, merasa seperti masuk ke dalam ruang hampa

Dokter menjelaskan, untuk mencegah infeksi akibat massa kanker selalu terkena kotoran, akan dibuat saluran pembuangan darurat—selain lewat dubur. Itulah kolostomi.

Saya  tidak punya bekal apa pun tentang kolostomi. Bahkan kata itu baru pertama kali saya dengar. Meski dijelaskan pelan-pelan, otak saya terlanjur kopong. Hanya terbayang perut Yuni dibolongi, lalu dipasangi kantong untuk menampung kotoran.

Setelah itu, saya tidak tahu lagi mana yang lebih cepat, detak jantung atau munculnya berbagai pertanyaan di kepala. Bagaimana nanti Yuni tidur? Apakah dia bisa merasa nyaman bersama kotoran yang numpuk dikantong selagi belum ada kesempatan membuang? Apa dia akan tetap percaya diri?

Mencari Ketenangan di Tengah Puting Beliung

Dari sini saya belajar, konsultasi dengan dokter bukan sekadar tanya-jawab. Kita butuh bekal informasi dasar dan kesiapan mental untuk menerima kejutan—supaya kepala tidak serasa mau copot.

Saya minta waktu dua hari untuk memutuskan, apakah kolostomi dilakukan bareng biopsi atau bareng operasi kankernya.

Selama dua hari itu terasa seperti naik roller coaster. Kadang yakin, kadang ragu. Kadang tenang, kadang nyaris panik. Sementara Yuni tetap kalem, tidak banyak bicara, dan tak pernah mengeluh.

Saya mencoba mencari informasi tentang kolostomi. Googling sana-sini. Tapi semakin banyak saya baca, semakin bingung. Ada yang bilang biasa saja, seperti pakai kantong infus di perut. Ada yang cerita horor: kantong bocor, infeksi, trauma psikologis, hingga pasien yang merasa kehilangan harga diri.

Saya mencoba menenangkan diri: Bukankah kita juga kehilangan harga diri kalau mendadak diare di perjalanan? 

Tapi ini beda. Ini bukan sekadar keadaan darurat. Ini soal hidup dengan lubang di perut—berdamai dengan kenyataan bahwa kotoran tidak lagi keluar lewat jalur yang semestinya.

Beberapa teman, dengan niat baik, bercerita tentang kerabat mereka yang  tidak kuat hidup dengan kolostomi. Mereka tidak bermaksud menakuti, tapi efeknya, saya seperti duduk di tengah angin puting beliung, dengan topi kertas sebagai satu-satunya pelindung.

Hidup sering tidak berjalan sesuai rencana. Dari rencana mojok yang gagal, anak ayam yang mati, hingga kejutan-kejutan dalam perjalanan melawan kanker. Semua mengajarkan, saya harus terus belajar menerima, beradaptasi, dan menemukan kekuatan di tengah ketidakpastian.

Mungkin besok ada kejutan baru lagi. Tapi hari ini, saya memilih untuk mengambil satu langkah kecil, dan percaya, bahwa kami bisa melewati —satu hari demi satu hari.


Tidak ada komentar: