Sadar bakal butuh biaya banyak, saya hubungi kembali beberapa relasi bisnis yang sudah lama tidak kunjung melunasi hutang mereka. Saya beritahukan kondisi istri saya, dan saya berharap dalam satu bulan ke depan mereka melunasi tunggakan. Ternyata, sampai seminggu kemudian, dari 11 pesan WA yang saya kirim, tidak ada respon sama sekali. Bahkan 2 nomer langsung main blokir.
Spontan saya emosi. Untung segera sadar, marah hanya akan membuat saya bertindak ngawur tanpa perhitungan.
Beberapa tahun lalu ada teman nekad merampas motor gara-gara tagihannya tidak kunjung dibayar. Ujungnya, justru dia berurusan dengan polisi, dituduh melakukan tindak pidana perampasan disertai kekerasan. Akhirnya, tagihan belasan juta amblas begitu saja, diperhitungkan sebagai pengganti biaya pengobatan korban, itupun masih ditambah entah berapa juta lagi.
Di Indonesia, nagih piutang yang nunggak, kepada pribadi apalagi perusahaan, tidak pernah gampang. Tidak jarang saya merasa lebih mirip pengemis minta belas kasihan ketimbang nagih duit sendiri.
Saat mengunjungi rumah salah seorang direktur CV yang mewah dan dijaga 2 satpam (dua lho, total gajinya bisa 7 sampai 8 juta per bulan, sementara tunggakannya cuma 24 jutaan), saya diusir begitu saja oleh satpam, sambil menyampaikan pesan, “Urusan kantor diselesaikan di kantor saja.”
Bagaimana mau menyelesaikan kalau di kantorpun dia tidak pernah mau ditemui, sementara manajer keuangannya setiap saya tagih selalu ngeles, belum mendapat persetujuan direktur.
Sebelum pulang saya sempat bicara pada satpam, “Asal tahu pak, bosmu utang 24 juta, sudah setahun lebih belum dibayar.” Mereka kaget sesaat, setelah itu meringis. Saya paham. mereka tidak akan percaya. Mana mungkin pemilik rumah mewah dan sederet mobil di halaman parkir punya hutang sekecil itu, tidak dibayar pula. Itulah salah satu sisi lucunya
Kunjungan berikutnya ke rumah seorang kontraktor. Sebelumnya saya menjadi vendor, mensupply berbagai sekrup, lem kayu, dan perlengkapan pertukangan elektronik lain. Pembayaran selalu lancar, kecuali sejak dia mulai main perempuan. Sebenarnya saat itu feeling saya sudah memberi peringatan, tapi saya tidak punya cukup bukti untuk membatalkan kiriman terakhir tanpa resiko dianggap wan prestasi.
Saya ditemui baik-baik, disuguhi makanan kecil dan minum, diajak ngobrol. Ketika saya menyinggung tunggakan, diapun merespon dengan santai. “Mulai bulan depan aku cicil 15 juta per bulan.”
Seandainya beneran dicicil, saya tidak keberatan. Masalahnya, dia pernah janji nyicil 5 jutapun, sampai tahun berganti dua kali, tidak pernah ditepati.
“Aku butuh sekarang, untuk tambahan biaya perawatan istriku.”
“Kalau kamu pakai BPJS
Lhah, Kobis! BPJS segala dibawa-bawa.
“Aku nagih tunggakanmu, tidak ada hubungannya dengan BPJS.”
“Jelas adaaaaaa. Pemerintah sudah menyediakan sarana pengobatan gratis, tapi kamu abaikan.”
“Ngene wae, BPJS itu urusanku, kamu bayar saja tunggakanmu sekarang. Sudah 4 tahun.”
“Sabar. Kamu tahu
“Karena hobbymu angon manuk”
Wajahnya berubah tegang. Tersinggung berat. “Aku mau ngapain, bukan urusanmu.” Suaranya meninggi.
Saya balas berteriak, “Jadi urusanku, karena duitku kamu embat!”
“Oke, oke, oke,” Suaranya kembali lunak, “Kita bicarakan baik-baik. Kita sudah berteman lama, masa iya ribut gara-gara duit kecil?”
“Nah, kamu bisa ngomong cuma kecil. Kenapa molor lama?”
“Sabar bos, sabar ……… minum dulu!”
Tanpa disuruhpun sejak semula saya sudah minum dan ngemil. Terhadap tukang ngeles macam dia, saya mengabaikan tatakrama dan sopan santun. Dudukpun kaki saya angkat di kursi.
“nGene lho bos, istriku sedang sakit ……”
“Istri yang mana?”
Belum sempat dijawab, muncul perempuan muda yang belum pernah saya temui (padahal saya kenal istri dan semua anak-anaknya). Wajahnya kusut, jalan pelan, kelihatan sedang tidak sehat. Dengan suara terbata tapi ketus, minta pengertian saya supaya tidak teriak-teriak. Dia butuh istirahat.
“Tergantung dia, bayar sekarang atau tidak!” Saya tunjuk suaminya – entah suami beneran atau bukan, bodo amat.
Sebelum perempuan itu menjawab, teman saya bicara duluan, “Yang, Yang, kamu di dalam saja, oke? …….” Setelah istrinya masuk, tanpa duduk lagi diapun berkata, “Tahu
Saya jadi punya kesempatan membalas, “
“Istriku tidak tahan ngantri lama …..”
“Tidak mau, bukan tidak tahan. Aleman.”
Teman saya nyaris marah, tapi entah kenapa ditahan, lalu kembali ngajak bicara baik-baik.
“Tolonglah ngerti sedikit …….”
“Terus kapan giliranmu ngerti?”
Tiba-tiba, ada brand new fortuner masuk halaman. Kami di teras, saya bisa melihat apapun yang masuk halaman. Sebelum teman saya berbuat sesuatu, pengendara fortuner sudah meletakkan amplop besar di meja, sambil berkata, “BPKB dan plat nomer kalau sudah jadi mau diantar”
Sayapun nyeletuk, “nGaku gak punya duit tapi beli fortuner, CUK!” Lalu berdiri, dan pergi tanpa pamit. Tidak perduli teman saya teriak-teriak memanggil.
Saya sempat kebelet marah, tapi untuk apa? Tagihan tetap tidak dibayar, malah bikin penyakit. Akumulasi energi marah membawa pengaruh buruk terhadap fisik. Eman-eman badanku.
Saya memutuskan batal mengunjungi pengutang lain. Ketimbang nanti jengkelnya numpuk, malah membuat otak saya mampet, mending fokus mikir perawatan Yuni saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar