JIH 9 Juli 2022
Meskipun sejak ditangani dokter bedah digestif, istri saya sudah empat hari menjalani rawat inap, biopsi dan kolostomi yang direncanakan belum bisa dilaksanakan. Masih harus menunggu kadar hemoglobin (HB) Yuni naik ke angka 10. Saat pertama masuk rumah sakit, HB Yuni hanya 4. Sudah mendapat transfusi beberapa kantong, tapi berdasarkan cek terakhir, HB baru sedikit di atas 8.
Sekali lagi, nalar saya menggedor-gedor kepala, mengingatkan kalau proses terapi ini mungkin bakal tidak selancar perkiraan awal. Kondisi Yuni punya potensi membuat prosedur pengobatan ini berliku-liku dan berkepanjangan. Ujungnya tentu saja akan berdampak pada biaya rumah sakit. Apalagi Yuni dirawat di kelas VIP.
Mumet lagi. Jual emas ternyata pajaknya gede. Jual kebon warisan dari mertua ……… enggak ah. Tanah – apalagi warisan, sebaiknya tidak dijual, kecuali duitnya digunakan untuk tambahan beli tanah barru yang lebih luas.
Alternatif terakhir tinggal menjual saham. Saya memiliki 30 persen saham di rental mobil yang sudah 20an tahun saya kelola bersama teman. Tapi pemegang saham lain menolak keras. “Kamu keberatan bayar pajak emas, malah mau buang duit lebih banyak buat bayar pajak keuntungan jual saham?”
Akhirnya, sebagai solusi, saya mendapat pinjaman lunak jangka panjang dari perusahaan.
Meskipun masalah keuangan bisa dianggap beres, hutang tetap hutang, nantinya harus dibayar. Jadi, saya tetap harus berhemat, supaya hutangnya tidak gede-gede amat.
Saya sempat mengajukan turun kelas, ternyata waktunya tidak tepat. Kamar kelas satu dan dua sudah penuh kembali.
Akhirnya, daripada otak saya tambah ruwet dan malah depresi, saya putuskan untuk memanfaatkan waktu tunggu ini dengan mencari informasi sebanyak mungkin tentang kanker.
Saya mulai menyelami dunia yang sebelumnya hanya saya kenal lewat potongan-potongan cerita orang lain. Saya membaca artikel ilmiah, nonton video Youtube, testimoni pasien, dan panduan medis. Saya mencatat ringkasan dari berbagai sumber, dan mencoba memahami istilah-istilah medis yang asing.
Tapi, seperti sering saya alami, antara niat dengan hasil kadang tidak bersesuaian. Semakin banyak yang saya baca, semakin terasa seperti terjebak dalam labirin. Setiap informasi baru yang saya dapat seolah menambah beban di kepala. Saya berharap informasi ini bisa membuat saya tenang dan yakin dengan langkah yang akan diambil untuk Yuni. Tapi yang saya rasakan justru sebaliknya.
Ternyata pengetahuan lebih luas bukan hanya membawa pencerahan, tapi juga membawa bayang-bayang ketakutan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Saya jadi tahu betapa rumit dan tidak pasti jalannya pengobatan kanker. Lalu, tanpa diminta, otak saya mulai liar membayangkan segala kemungkinan buruk: komplikasi, efek samping, bahkan skenario-skenario yang paling tidak ingin saya pikirkan.
Saya jadi sulit tidur. Kadang saya duduk di depan layar laptop yang menyala tanpa tahu apa yang harus saya lakukan. Pikiran saya berputar-putar: bagaimana kalau terapi gagal? Bagaimana kalau biaya terus membengkak dan saya tidak sanggup lagi menutupinya? Bagaimana kalau saya terlalu lemah untuk mendampingi Yuni?
Saya merasa seperti sedang terombang-ambing di tengah laut, dengan ombak informasi yang datang dari segala arah. Setiap fakta baru tentang kanker bukan seperti pelampung yang menyelamatkan, tapi justru menjadi beban yang menarik saya jauh lebih ke dalam.
Ujung-ujungnya, saya hanya bisa menarik napas panjang, dan berusaha menenangkan diri. Mengingatkan diri bahwa saya tidak boleh terlalu larut dalam rasa takut. Bahwa Yuni membutuhkan saya, bukan hanya sebagai orang yang mengambil keputusan, tapi sebagai suami yang tetap bisa memberikan ketenangan dan keyakinan.
Saya sadar, pengetahuan tanpa keteguhan hati hanya akan membuat saya semakin terpuruk. Jadi saya harus belajar memilah mana informasi yang benar-benar penting, dan mana yang hanya menambah beban pikiran tanpa manfaat nyata.
Karena meskipun semakin banyak tahu membuat saya merasa takut, saya juga tahu, saya tidak bisa berhenti di sini. Karena ini bukan hanya tentang saya—ini tentang Yuni. Tentang keberanian kami menghadapi sesuatu yang tidak pasti, dengan segala keterbatasan yang kami punya.
Saya sadar, nalar dan hati saya harus kompak. Karena hidup memang jarang memberikan jalan yang lurus dan mulus. Kadang kita harus siap berkelok-kelok, menahan diri, dan tetap mencari titik terang di ujung lorong.
Saya mematikan laptop, mematikan lampu, dan mencoba tidur. Dalam hati saya berdoa, semoga besok, dan hari-hari selanjutnya, saya tetap diberi kekuatan. Karena besok adalah satu langkah lagi menuju kesembuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar