Baru beberapa hari lalu saya menulis tentang digital
dopamine dan saya merasa yakin bisa menjaga diri, karena saya tidak mengalami
kesulitan membatasi aktivitas di dunia maya. Tapi tak lama kemudian saya terpaksa
meringis setengah malu pada diri sendiri, ketika ketemu video Youtube yang
membahas tentang Brain Rot.
Secara harfiah, brain rot berarti otak yang membusuk. Secara
medis, otak tidak benar-benar busuk. Istilah itu hanya untuk menggambarkan penurunan
kualitas pikiran dan konsentrasi, sebagai akibat terlalu sering mengonsumsi
konten ringan, dangkal, atau adiktif, terutama dari media sosial.
Meskipun ego saya tersinggung, terutama karena merasa sudah sangat
membatasi aktifitas di dunia maya, tapi kalau mau jujur, harus saya akui, sebagian
besar aktifitas online saya memang tidak jauh dari nonton konten-konten semacam
itu. Terutama yang disajikan sebagai video pendek.
Tapi apakah benar sampai menimbulkan dampak seburuk
itu?
Otak yang tidak terima dianggap sedang mengalami pembusukan,
mengajukan pembelaan, “Apakah gejala itu berupa kondisi nyata yang sudah
terbukti secara empiris atau hanya sekedar dugaan?”
Empat aplikasi AI yang saya tanya ternyata memberi jawaban
senada: sebagian besar masih berupa kekhawatiran sosial dan moral, bukan
diagnosis medis atau kondisi yang terbukti secara empiris.
Ternyata sejak dulu, rasa kuwatir tentang
"brain rot" sudah muncul setiap kali hadir bentuk hiburan baru: mulai
dari novel populer, radio, sampai televisi. Orang-orang dulu takut perkembangan
otaknya terganggu gara-gara membaca cerita cinta bersambung atau menonton
sinetron. Tapi ternyata, sebagian besar tidak terbukti.
Orang-orang yang membaca novel populer atau menonton TV
tidak mengalami kerusakan otak atau kemunduran kognitif permanen seperti yang
dikuwatirkan. Ketakutan itu lebih mirip moral panic ketimbang fakta
ilmiah
Yang benar-benar terbukti secara ilmiah hanyalah:
- Neuroplastisitas:
Otak memang berubah berdasarkan aktivitas yang kita lakukan, tapi bersifat adaptif, bukan
"membusuk"
- Cognitive
atrophy: Kemampuan yang tidak dilatih memang bisa menurun, tapi
bisa dipulihkan melalui latihan.
- Efek
jangka pendek: konsumsi media tertentu memang memengaruhi
fokus dan pola pikir sementara, tapi tidak menyebabkan kerusakan permanen.
Jadi, "brain rot" lebih tepat dipahami sebagai
metafora budaya untuk perasaan kuwatir terhadap kualitas konsumsi media, bukan
kondisi medis yang terdiagnosis.
Saya sempat lega — ternyata cuma kuwatir berlebihan!
Tapi, ChatGPT yang biasanya selalu memberi jawaban manis dan
menyenangkan, melanjutkan dengan nada agak serius:
- Sulit
fokus — gampang terdistraksi, bahkan saat baca satu paragraf
panjang belum selesai, sudah pengin buka TikTok.
- Menurunnya
kemampuan berpikir dalam — ide terasa datar, sulit merenung
atau menulis panjang.
- Kecanduan
dopamin cepat — selalu mencari hiburan instan: video pendek,
notifikasi, game cepat.
- Mudah
bosan dengan hal bermakna — baca buku terasa berat, tapi nonton
video 2 jam nggak masalah.
- Siklus
tidur dan mood berantakan — karena otak terus dikejar
rangsangan ringan tapi intens.
Saya tidak bisa cengengesan lagi ketika mendapati dua ciri
Brain Rot juga saya alami. Saya gampang terdistraksi. Bukan oleh TikTok dan
sebangsanya, melainkan oleh aktifitas yang saya anggap “lebih penting”. Pada
jam kerja saya sering ninggal pekerjaan kantor untuk melanjutkan membuat desain
rumah atau ngetik naskah untuk blog.
Saya mudah bosan. Tidak pernah mampu selesai membaca
satu halaman bukut atau tuntas memeriksa laporan pajak lebih dari 15 menit,
sementara saya bisa bertahan nonton ulang film Matrix sampai rampung.
Meskipun dua gejala dan beberapa dampak awal saya temukan, saya tetap tidak ingin memberi label “otak saya membusuk.” Saya lebih memilih
menganggapnya sebagai peringatan keras - Bila saya tidak sungguh-sungguh
mengubah aktifitas di dunia maya, semua usaha saya untuk menata hidup —
termasuk perjalanan menuju akhir yang tenang dan indah — bisa berakhir sia-sia.
Mungkin “brain rot” memang hanya istilah populer, bukan
penyakit sungguhan. Tapi efeknya terhadap kualitas hidup bisa nyata. Bukan
otaknya yang busuk, melainkan membuat arah hidup perlahan kehilangan makna.
Maka, sebelum pikiran benar-benar kehilangan daya ciptanya, saya pikir tidak
ada salahnya saya mulai detoks digital kecil-kecilan: membaca lebih
banyak, menulis lebih sering, dan memberi waktu otak untuk bernapas.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar