13 November 2025

Brain Rot dan Pengakuan Setengah Malu

 


Baru beberapa hari lalu saya menulis tentang digital dopamine dan saya merasa yakin bisa menjaga diri, karena saya tidak mengalami kesulitan membatasi aktivitas di dunia maya. Tapi tak lama kemudian saya terpaksa meringis setengah malu pada diri sendiri, ketika ketemu video Youtube yang membahas tentang Brain Rot.

Secara harfiah, brain rot berarti otak yang membusuk. Secara medis, otak tidak benar-benar busuk. Istilah itu hanya untuk menggambarkan penurunan kualitas pikiran dan konsentrasi, sebagai akibat terlalu sering mengonsumsi konten ringan, dangkal, atau adiktif, terutama dari media sosial.

Meskipun ego saya tersinggung, terutama karena merasa sudah sangat membatasi aktifitas di dunia maya, tapi kalau mau jujur, harus saya akui, sebagian besar aktifitas online saya memang tidak jauh dari nonton konten-konten semacam itu. Terutama yang disajikan sebagai video pendek.

Tapi apakah benar sampai menimbulkan dampak seburuk itu? 

Otak yang tidak terima dianggap sedang mengalami pembusukan, mengajukan pembelaan, “Apakah gejala itu berupa kondisi nyata yang sudah terbukti secara empiris atau hanya sekedar dugaan?”

Empat aplikasi AI yang saya tanya ternyata memberi jawaban senada: sebagian besar masih berupa kekhawatiran sosial dan moral, bukan diagnosis medis atau kondisi yang terbukti secara empiris.

Ternyata sejak dulu, rasa kuwatir tentang "brain rot" sudah muncul setiap kali hadir bentuk hiburan baru: mulai dari novel populer, radio, sampai televisi. Orang-orang dulu takut perkembangan otaknya terganggu gara-gara membaca cerita cinta bersambung atau menonton sinetron. Tapi ternyata, sebagian besar tidak terbukti.

Orang-orang yang membaca novel populer atau menonton TV tidak mengalami kerusakan otak atau kemunduran kognitif permanen seperti yang dikuwatirkan. Ketakutan itu lebih mirip moral panic ketimbang fakta ilmiah

Yang benar-benar terbukti secara ilmiah hanyalah:

  • Neuroplastisitas: Otak memang berubah berdasarkan aktivitas yang kita lakukan, tapi  bersifat adaptif, bukan "membusuk"
  • Cognitive atrophy: Kemampuan yang tidak dilatih memang bisa menurun, tapi bisa dipulihkan melalui latihan.
  • Efek jangka pendek: konsumsi media tertentu memang memengaruhi fokus dan pola pikir sementara, tapi tidak menyebabkan kerusakan permanen.

Jadi, "brain rot" lebih tepat dipahami sebagai metafora budaya untuk perasaan kuwatir terhadap kualitas konsumsi media, bukan kondisi medis yang terdiagnosis.

Saya sempat lega — ternyata cuma kuwatir berlebihan!

Tapi, ChatGPT yang biasanya selalu memberi jawaban manis dan menyenangkan, melanjutkan dengan nada agak serius:


Ciri-ciri Brain Rot

  1. Sulit fokus — gampang terdistraksi, bahkan saat baca satu paragraf panjang belum selesai, sudah pengin buka TikTok.
  2. Menurunnya kemampuan berpikir dalam — ide terasa datar, sulit merenung atau menulis panjang.
  3. Kecanduan dopamin cepat — selalu mencari hiburan instan: video pendek, notifikasi, game cepat.
  4. Mudah bosan dengan hal bermakna — baca buku terasa berat, tapi nonton video 2 jam nggak masalah.
  5. Siklus tidur dan mood berantakan — karena otak terus dikejar rangsangan ringan tapi intens.

Saya tidak bisa cengengesan lagi ketika mendapati dua ciri Brain Rot juga saya alami. Saya gampang terdistraksi. Bukan oleh TikTok dan sebangsanya, melainkan oleh aktifitas yang saya anggap “lebih penting”. Pada jam kerja saya sering ninggal pekerjaan kantor untuk melanjutkan membuat desain rumah atau ngetik naskah untuk blog.

Saya mudah bosan. Tidak pernah mampu selesai membaca satu halaman bukut atau tuntas memeriksa laporan pajak lebih dari 15 menit, sementara saya bisa bertahan nonton ulang film Matrix sampai rampung.

Meskipun dua gejala dan beberapa dampak awal saya temukan, saya tetap tidak ingin memberi label “otak saya membusuk.” Saya lebih memilih menganggapnya sebagai peringatan keras - Bila saya tidak sungguh-sungguh mengubah aktifitas di dunia maya, semua usaha saya untuk menata hidup — termasuk perjalanan menuju akhir yang tenang dan indah — bisa berakhir sia-sia.

 Menjaga Otak, Menjaga Diri

Mungkin “brain rot” memang hanya istilah populer, bukan penyakit sungguhan. Tapi efeknya terhadap kualitas hidup bisa nyata. Bukan otaknya yang busuk, melainkan membuat arah hidup perlahan kehilangan makna. Maka, sebelum pikiran benar-benar kehilangan daya ciptanya, saya pikir tidak ada salahnya saya mulai detoks digital kecil-kecilan: membaca lebih banyak, menulis lebih sering, dan memberi waktu otak untuk bernapas.

Tidak ada komentar: