Di saat pikiran semakin kusut, saya mulai menghindar dari
siapa pun. Saya memilih menyendiri di pojok kantin rumaah-sakit di bagian sebelah
timur. Di sana saya habiskan sebagian besar waktu ketika tidak sedang menunggu
Yuni, sambil manteng laptop dan ngulik HP.
Kantin timur ini biasanya sepi, jarang ada orang yang mau
duduk satu meja. Tapi kali ini sedikit berbeda. Entah kenapa, seseorang yang
membeli makan dari kantin barat justru melewati beberapa kursi kosong lalu
minta izin duduk di hadapan saya. Setelah basa-basi singkat, dia mulai
bercerita tentang ibunya yang menderita kanker.
Sempat terlintas di benak saya: Apakah saya kelihatan
seperti dukun kanker? Sampai-sampai ada orang yang tidak pernah saya temui
sebelumnya curhat panjang lebar, bahkan minta saran.
“Setelah operasi dua tahun lalu,” katanya, “saya ikut saran
keluarga, beralih ke terapi herbal. Tidak kemo, tidak radiasi, karena katanya
efek sampingnya berat. Sekarang Ki-67-nya tinggi.”
Nah, apa pula itu Ki-67?
Saya pun bertanya ke mbah Gugel. Jawabnya singkat tapi cukup bikin merinding: “A high Ki-67 index indicates aggressive tumor
growth.”1
Orang itu melanjutkan ceritanya, tapi jujur
saja, membuat otak saya agak enggan menyimak. Saya memutuskan fokus ke masalah
kanker kolorektal saja, supaya kepala saya tidak overheat. Tapi tentu saja, saya
tetap mendengarkan.
“Kenapa tetangga saya bisa sembuh hanya dengan herbal,
sementara ibu saya malah semakin parah?” Orang itu bertanya, seolah olah saya punya kuasa menentukan kesembuhan..
Saya memberikan jawaban klasik, “Tergantung derajat sakitnya
dan kondisi pasien, termasuk ada atau tidak penyakit penyerta.”
Lalu datanglah pertanyaan yang paling saya khawatirkan:
“Saya harus bagaimana?”
Sebenarnya, orang seperti itu tidak sungguh-sungguh
membutuhkan jawaban. Mereka sadar bahwa yang ditanya juga tidak punya solusi.
Tapi begitulah, ketika pikiran sudah buntu, seringkali kita melontarkan
pertanyaan yang sebenarnya hanya butuh pengakuan, bukan jawaban.
Akan sangat konyol bila kemudian saya menjawab, “Ikuti saran dokter,”
Dia sendiri pasti sudah tahu. Hanya saja realita dan
ekspektasi sering tak sejalan. Mau saya bilang, “Berdoa saja,” rasanya juga
aneh. Memangnya cuma saya yang selalu ingat berdoa? Bisa saja justru orang itu
lebih sering berdoa.
Entah dari mana, tiba-tiba saya nyeletuk begitu saja:
“Sebenarnya bukan operasi, bukan kemo, bukan radiasi yang
menyebabkan pasien bisa bertahan. Semua itu hanya ikhtiar untuk mengurangi dan
mencegah penyebaran kanker. Pasien bisa bertahan hidup semata-mata karena
kekuatan tubuhnya sendiri. Coba konsultasikan ke dokter soal diet yang cocok,
lalu minta ahli gizi untuk menyusun menunya. Pasien butuh asupan nutrisi yang
cukup supaya daya tahan tubuhnya kuat.”
Begitu selesai bicara, saya justru terdiam sendiri. Dari
mana saya dapat ide seperti itu? Tapi sebelum sempat saya jawab pertanyaan
sendiri, otak saya keburu kumat lagi, mengembangkan teori tanpa dasar, tentang
kemungkinan memperkuat antibodi untuk melawan kanker.
Barangkali tambah mumet, atau sadar omongan saya tidak layak didengar, orang itu kemudian pamit. Sementara saya, plonga-plongo, mikir ulang semua yang barusan muncul di otak.
Lalu, seperti biasa, kemudian bertanya kepada mbah Gugel.
Ternyata otak saya tidak
ngawur-ngawur amat. Memang ada terapi kanker dengan memanfaatkan kerja sistem
imun tubuh. Hanya beda cara dari yang dibayangkan oleh otak saya.
Sekilas sempat saya baca, imunoterapi minim efek samping. Laman Cancer Therapy Advisor mengatakan, because it targets only your
immune system, you may experiance fewer side effects.
Sejauh ini memang hanya efek samping dari terapi yang
membuat pikiran saya semakin kusut. Kalau ternyata ada terapi yang hanya
menimbulkan sedikit efek samping, tentu sangat cocok dengan harapan saya.
Tapi, setelah saya membaca lebih lanjut, ternyata hanya
seindah impian di siang bolong. Pada bagian Risk of immunotherapy disebutkan, some
immunotherapies can cause your immune system to attack your intestines, kidney,
heart, and other organs.
Lhaaaaaa, sami mawon!!!!
Dan harapan saya memanfaatkan imunoterapi semakin pupus
setelah tahu kalau terapi itu hanya bekerja terhadap kanker tertentu,
diantaranya kanker paru, ginjal, kandung kemih dan kanker serviks. Dari berbagai laman yang saya jelajahi, tidak satupun nyebut kanker kolorektal.
Ya wis lah, dilakoni yang ada saja, radiasi,
kemo, lanjut operasi. Sambil berusaha (dan berdoa tentunya – ketimbang nanti
ada yang protes, disangka tidak pernah berdoa), supaya terapi konvensional yang
bakal dijalani Yuni nanti efek sampingnya hanya muncul yang ringan-ringan saja.
Sebagai ikhtiar tambahan, saya memutuskan kembali ke ide
awal: memperbaiki daya tahan tubuh secara alami lewat asupan nutrisi. Bukan
untuk melawan kankernya, tapi supaya tubuh Yuni kuat menghadapi efek samping
terapi.
Masalahnya, menentukan asupan yang baik dan mana yang harus
dihindari tidak mudah. Saya menerima saran. Harus begini, harus
begitu. Hindari ini, jauhi itu. Tapi saya ragu, apakah semua itu beneran cocok untuk
kondisi Yuni.
Contohnya saja, ada yang bilang mengurangi asupan karbo
supaya sel kanker ‘kelaparan’. Tapi ternyata, menurut artikel eCancer: "The
main goal of tumour cell is, above all, to survive... including the ability to
continue surviving when glucose levels are very low. This could be one of the
reasons why widely used anti-angiogenic agents often fail to eliminate
cancer."4
Jadi, daripada saya asal mencoba, lebih baik saya tanyakan
langsung pada dokter yang menangani Yuni. Ternyata jawabannya sederhana: kondisi
Yuni tidak membutuhkan diet khusus.
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa di tengah kebingungan
dan keputusasaan, saya cenderung mencari jawaban instan atau solusi ajaib yang
terdengar meyakinkan. Namun, realitanya, tidak ada jalan pintas untuk
menghadapi kanker—hanya langkah-langkah kecil yang dijalani dengan sabar dan
penuh harapan.
Ketika tubuh lemah dan pikiran lelah, mungkin yang paling
penting bukan sekadar berpegangan pada teori atau metode terapi, melainkan juga
menjaga semangat, merawat tubuh dengan baik, dan tetap berpijak pada harapan yang
realistis. Karena dalam perjalanan ini, bukan hanya soal bertahan, tapi juga
bagaimana kita tetap manusiawi di tengah segala keterbatasan.
Catatan Kaki:
- American
Cancer Society. A high Ki-67 index indicates aggressive tumor growth.
https://www.cancer.org/
↩
- Siloam
Hospitals. Imunoterapi untuk kanker. https://www.siloamhospitals.com/
↩
- Cancer
Therapy Advisor. Because it targets only your immune system, you may
experience fewer side effects. Some immunotherapies can cause your immune
system to attack your intestines, kidney, heart, and other organs. https://www.cancertherapyadvisor.com/
↩ ↩2
- eCancer.
The main goal of tumour cell is, above all, to survive... including the
ability to continue surviving when glucose levels are very low. https://ecancer.org/ ↩