Orang Romawi kuno bilang, "Fortuna Fortis
Adiuvat." Keberuntungan berpihak kepada orang yang berani.
Kalimat itu terdengar gagah, penuh semangat, dan cocok
dicetak besar di poster motivasi. Tapi sepertinya mereka tidak pernah mengalami
betapa menyesakkannya hidup ketika tagihan rumah sakit datang bertubi-tubi,
sampai sempat lupa cara bernapas. Atau duduk di depan dokter yang wajahnya
tetap datar saat ia berkata, "Ini kanker stadium tiga."
Keberanian saya selama ini paling banter cuma parkir di
tempat terlarang—itu pun sambil deg-degan, takut ketahuan polisi. Tapi hidup,
seperti biasa, senang memberi kejutan level dewa. Sejak istri saya didiagnosis
kanker, hidup kami seperti naik roller coaster, terguncang keras dan naik turun
tanpa tahu kapan akan berhenti.
Dari sanalah saya belajar, ternyata fortuna, Dewi
Keberuntungan, juga bisa datang kepada orang yang nekat jalan terus meskipun
dengan jantung empot-empotan dan nyali tinggal kulitnya saja. Mungkin, tindakan
nekad semacam itu, meski penuh gemetar dan ragu, justru merupakan wujud dari
keberanian yang sesungguhnya. Keberanian yang diam-diam bertahan di tengah
badai.
Entahlah.
Realitanya, sekalipun dengan pikiran kacau dan jantung
gedebugan, saya tetap bisa melewati hari-hari yang sulit dan menakutkan dengan
berbagai cara yang lebih mirip nasib mujur ketimbang hasil dari rencana matang.
Tapi mungkin, kebetulan itu juga cara Tuhan menunjukkan bahwa kita tidak
sendirian.
Kata orang, keberanian itu privilege anak muda yang yang
masih punya energi untuk lari dari debt collector, atau petualang yang mendaki
gunung sambil tersenyum. Ternyata, keberanian versi lansia 60-an seperti saya justru
unik. Meskipun terpaksa dan sambil nyaris jantungan, ternyata saya tetap bisa
melangkah, melewati banyak tantangan yang sebenarnya membutuhkan nyali besar
untuk menghadapinya.
Hidup Tidak Adil, Tapi Bukan Alasan untuk Berhenti
Hidup ini seperti permainan catur di mana kita cuma punya
pion dan raja—sementara lawan punya seluruh pasukan. Aturannya tidak jelas,
kadang licik, dan seringkali terasa kejam. Tapi satu hal yang saya
pelajari: berani bukan soal menang.
Berani adalah ketika saya tahu, peluang tipis, tapi tetap
memilih bertahan.
Berani adalah ketika saya menangis di kamar mandi, lalu keluar dengan wajah
tenang. Berani adalah percaya bahwa setiap langkah, betapapun goyahnya,
masih berarti.
Saya tidak berharap hidup tiba-tiba cerah seperti iklan
skincare. Tapi saya percaya, selama saya masih bergerak—meski sambil
gemetar—akan selalu ada pintu yang terbuka, sekecil apa pun. Mungkin Fortuna tidak
datang dengan hadiah besar, tapi cukup dengan angin segar yang
mengingatkan: "Kamu tidak sendirian."
Untuk Anda yang Juga Merasa Kalah
Jika hari ini Anda merasa seperti pion terakhir di papan
catur, ingat ini:
- Hidup
tidak adil, tapi bukan akhir cerita. Kebahagiaan bisa datang dari
hal-hal kecil yang luput dari perhitungan.
- Keberanian
itu tidak selalu gagah. Kadang ia hanya bisikan, "Coba
lagi besok."
- Tidak
perlu jadi pahlawan. Cukup jadi diri sendiri yang tetap bangun,
meski dunia terasa berat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar