Setelah pandemi berlalu, alhamdulillah saya merasa lebih
sehat dari sebelumnya. Tapi saya sadar, tubuh saya sekarang lebih mirip suaka
margasatwa – tenang di luar, tapi di dalam banyak macan tidur yang bisa bangun
dan ngamuk kapan saja, tanpa permisi.
Sejak itu, saya mulai belajar banyak hal. Terutama yang
berkaitan dengan segala sesuatu yang bisa menyebabkan macan-macan itu terusik.
Dulu saya pikir, sayur dan buah adalah sahabat sejati tubuh.
Ternyata, untuk kondisi fisik saya sekarang, tidak semua seramah sebelumnya.
Ada batasan porsi tertentu yang tidak boleh saya langgar, supaya mereka tetap
memberi mafaat tanpa menusuk dari belakang.
Saya tidak lagi diet ketat, karena kalau sampai dibuat
seperti itu, bisa jadi saya hanya bisa makan dan minum di angan-angan saja.
Nyaris semua apapun yang masuk mulut selalu membawa resiko mengusik macan-macan
yang sedang tidur.
Sambil menjaga ketenangan macan-macan penghuni suaka, semua
yang masuk mulut saya catat, lengkap berikut tanggal dan jamnya. Lalu saya
amati kondisi saya dua sampai tiga hari berikutnya. Kalau aman, konsumsinya
lanjut terus, dalam porsi yang sama.
Tapi seandainya muncul gejala terjadi gangguan, entah
sekedar diare, mual, mendadak pusing berkepanjangan atau sandal tiba-tiba
terasa kekecilan (berarti kaki sedikit bengkak), segera saya telusuri, asupan
mana yang sekiranya pantas jadi tersangka.
Salah satu tersangka yang sudah berulangkali tertangkap
tangan adalah brokoli rebus. Saya mengkonsumsi brokol karena bisa membantu
mengurangi kadar Trigliserida lumayan. Masalahnya, ketika saya konsumsi terus
menerus sampai lebih dari 5 hari berturutan, pada hari ke enam, kencing saya
mulai bau dan sedikit keruh.
Entah apa yang dilakukan oleh brokoli di dalam sana, tapi
setelah tahu efek sampingnya, saya tidak perlu nunggu sampai hari ke enam baru
jeda. Hanya berhenti saja sementara, sekitar seminggu, kemudian mulai lagi makan
brokoli. Begitu juga dengan yang lain.
Tidak ada yang memberi petunjuk untuk diet dengan cara
seperti itu. Saya rekayasa sendiri berdasar kondisi badan sehari-hari. Tapi
supaya tidak ngawur-ngawur amat, sebulan sekali saya rutin cek lab. Saya
pelajari kaitan antara menu makan dengan perubahan yang terjadi pada setiap variabel
yang diperiksa.
Meskipun ketika hasil cek lab menyatakan semua normal, saya
tidak beranggapan biang masalahnya sembuh. Mereka hanya sedikit tenang, seperti
para macan yang sedang tidur.
Saya tidak lagi mengejar kesembuhan, karena sadar bahwa
tubuh ini sudah mirip ekosistem yang mulai rapuh, di mana setiap asupan, setiap
obat, bahkan setiap pikiran bisa jadi pemicu kekacauan.
Saya belajar untuk hidup berdampingan dengan ketidakpastian.
Bukan dengan menyerah, tapi dengan lebih mengenal diri sendiri. Mengenal batas,
menghormati sinyal, dan mempercayai insting. Saya tidak lagi takut pada gejala,
karena mereka adalah bahasa tubuh yang mencoba berbicara. Dan saya belajar
menjadi pendengar yang lebih baik.
Dan kalau suatu hari nanti, perjalanan ini harus berakhir
lebih cepat dari yang saya harapkan, saya ingin percaya bahwa saya telah hidup
dengan jujur pada diri sendiri, penuh kesadaran, dan setia pada prinsip, bahwa
kesehatan bukan soal angka di kertas hasil lab, tapi tentang seberapa damai saya
bisa menjalaninya.
Seperti kata Whitney Houston, “If I fail, if I succeed, at
least I'll live as I believe”.
Terima kasih untuk semua yang telah menemani, membaca, dan
memahami—meski hanya dari kejauhan. Sampai jumpa di perjalanan berikutnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar