14 Maret 2023

Drama Kecil di Sepenggal Perjalanan


Beberapa hari belakangan, setelah rampung ritual pagi beres-beres rumah, godaan ngantuk campur males datang lagi. Pernah saya turuti. Pikir saya, tidur sebentar apa salahnya? Ternyata bablas sampai jam 10. 

Gembul, teman imajiner saya yang kadang sok bijak, pernah berkata, “Kalau kamu susah dibangunkan, padahal tubuh sudah seharusnya aktif, itu pertanda kamu sedang melarikan diri dari realita. Bawah sadarmu sedang memberontak.”

Saya tidak tahu, apakah harus senang atau kuwatir ketika Gembul berlagak jadi psikolog. Bagaimana seandainya tebakan itu benar?

Akhirnya saya memaksa diri melawan. Meski ngantuk dan pikiran terus menggoda, saya tetap mandi, sarapan, lalu mulai mengerjakan apa saja yang bisa membuat badan bergerak. Setelah satu jam bertahan, ngantuk dan malesnya hilang. Ternyata segampang itu.

Dua, tiga, empat hari berlalu, dan saya baik-baik saja. Semangat mulai kembali, tubuh terasa lebih ringan. Tapi pada hari kelima, saat sedang di kantor, sekitar jam 11, dunia tiba-tiba berputar lagi.

Bukan hanya mata nagih tidur, capek dan pegal-pegal yang selama 4 hari lumayan berkurang, mendadak kambuh, lebih parah. Ketika saya berusaha tidak menyerah, tapi tubuh seolah berontak. Beberapa kali saya nyungsep sampai kejedot laptop. Bahkan akhirnya saya tertidur di meja. Baru bangun menjelang bubaran kantor. Itupun gara-gara suasana berisik ketika yang lain siap-siap pulang.

Hari berikutnya saya minum kopi lebih banyak. Ternyata sama saja, tidak ngaruh. Sejak saat itu kerja saya jadi kacau. Di kantor lebih banyak molornya ketimbang menyelesaikan pekerjaan. Beruntung, staff saya mumpuni, sehingga tidak banyak pekerjaan yang terbengkelai, kecuali urusan yang memang tidak bisa diselesaikan orang lain.

Suatu saat saya nekad memaksa diri tidak tidur siang. Tanpa ngopi pula. Badan terasa remuk total. Tapi saya bertekad tidak akan menyerah. Kalau hidup mulai keras, tidak ada pilihan lain kecuali dibalas dengan semangat.

Masalahnya, kali ini saya salah perhitungan. Saya lupa bahwa segala sesuatu punya batas.

Motor saya baru jalan beberapa ratus meter dari kantor, vertigo yang sudah hampir terlupakan, mendadak kambuh. Saya buru-buru menepi, turun dari motor, dan terjatuh di pinggir jalan.

Berdasar pengalaman sebelumnya, kalau vertigo sudah menyapa, berarti saya sudah melampaui batas. Sedikit lagi dipaksa, akan ada bom waktu meledak. Saya sempat panik, dan nyaris berteriak minta tolong, sebelum sadar, saya berada di persawahan yang sepi.

Mau dibilang kesasar sebenarnya enggak juga. Rute ini sering saya lewati manakala saya bosen melalui jalan aspal. Celakanya, terlalu panik membuat saya lupa, di dalam tas ada dua telepon seluler. Biasanya, sampai jam 5 beberapa orang masih ngobrol-ngobrol di kantor. 

Setelah dunia sedikit tenang, saya memutuskan balik ke kantor. Tapi, baru jalan beberapa meter, terdengar teriakan sangat keras. Awalnya saya sangka Gembul  mendadak muncul. Ternyata saya dibentak pengendara motor lain yang nyaris nabrak, lantaran saya limbung. 

Setiba di kantor, ternyata sudah sepi. Penjaga malam pamit telat, sementara saya tidak bawa kunci. Gembul memberi saran, titip motor ke tetangga sebelah, tapi entah kenapa saya malah merasa seperti mendapat tantangan.

"You can if you think you can," seru saya pada diri sendiri.

"WOOOEEYYYYY." Teriakan Gembul melengking ketika saya mulai ngegas motor.

Perjalanan pulang sejauh enam kilometer berubah jadi medan drama. Klakson bertalu-talu, teriakan dan makian bercampur dengan ngantuk dan tubuh yang terus berontak.

Akhirnya saya nyungsep di pinggir jalan.

Sesaat terjadi pertarungan seru di kepala, antara keinginan nekad jalan terus atau titip motor di pos jaga perlintasan kereta, tidak jauh dari tempat saya berhenti.

"Kalau pengin bunuh diri bukan begini caranya. Sebentar lagi kereta api lewat, tabrak noh!" Gembul mulai gusar.

Tak lama kemudian kereta api beneran lewat. Tentu saja saya tidak punya nyali nabrak. Selain masih pengin hidup, saya justru khawatir hanya lecet saja di hidung ditambah separo badan ambyar. Apa enaknya hidup dengan keadaan seperti itu?

"Oke, baik, kerjakan saja sesuka hatimu, SUPERMAN!" Gembul mulai kalap ketika akhirnya saya memaksa jalan lagi.

Sebelum berangkat, saya atur napas terlebih dahulu. Tarik panjang, masuk sampai perut, tahan, lalu hembuskan pelan, lebih lama ketimbang saat narik. Saya lakukan beberapa kali. Gak ngaruh apa-apa, tapi setidaknya membuat saya sedikit lebih tenang.

Saya konsentrasi penuh ke jalan dengan satu pikiran, selamat sampai di rumah dan tidak ngrusuhi orang lain.

Malamnya saya tidur lebih cepat. Selesai makan langsung rebahan dan pules sampai menjelang subuh. Bangun masih seperti biasa, ngantuk, dan sekujur tubuh berasa remuk. Tapi saya tetap keluar, dan seperti biasa, cuci piring dilanjut nyapu halaman. 

 Lalu Gembul muncul lagi.

“Kamu baik-baik saja?”

“Enggak. Tapi aku masih hidup. Kemarin ada banyak momen yang bisa membuat aku mati, tapi sampai pagi ini Tuhan masih kasih aku hidup. Pasti Tuhan bakal tunjukkan cara untuk menghadapi semua masalahku.”

Niat saya biar Gembul sedikit tenang, tapi sebenarnya saya juga sedang berusaha menguatkan diri sendiri. 

(bersambung)


Tidak ada komentar: