03 Maret 2023

Disiplin, Teman yang Dulu Sering Saya PHP

Setelah memutuskan untuk restart hidup —dengan semangat baru, rematik lama, dan impian yang (ajaibnya) masih hangat—saya sampai pada satu kesimpulan penting, Saya punya masalah serius dengan disiplin.

Saya tahu, disiplin itu baik dan perlu. Bahkan saya pernah menulis tentang pentingnya disiplin di kertas warna-warni yang saya tempel di cermin kamar mandi. Kenyataannya, hidup saya lebih sering berjalan dengan prinsip legendaris, “Kalau bisa nanti, kenapa harus sekarang?”

Saya Punya Jadwal, Tapi Tidak Saya Baca

Pernah suatu masa, saya begitu termotivasi, sampai membuat jadwal harian secantik peta harta karun. Ada blok-blok waktu warna-warni: "Bangun jam 4 pagi! Jalan pagi! Nulis 1.000 kata sebelum sarapan!"

Realitanya, sampai jam 6 pagi saya masih tenggelam dalam dialog batin dengan bantal. Jalan paginya bergeser jadi jalan ke dapur. Nulis blog? Ya... itu rencananya, ngopi dulu lah. 

Sambil ngopi, buka medsos, lalu bilang ke diri sendiri, "Nanti juga nulis kok."

Disiplin ternyata bukan hanya soal niat, tapi, terutama, menyangkut komitmen, dan kebiasaan

Kepala Mau, Badan Wegah

Ada saat di mana saya duduk serius, menatap kalender digital, lalu membatin dengan penuh tekad: "Mulai sekarang aku akan disiplin, hidup harus teratur!"

Lima menit kemudian ......

Saya sudah tergoda cek Facebook, menyapa teman di WhatsApp, atau mendadak merasa sangat penting untuk menyortir foto-foto tahun 1992. Pokoknya semua dikerjakan—kecuali yang seharusnya.

Saya jadi punya pikiran, membiasakan disiplin mirip ngajari kucing berenang. Mungkin bisa, tapi butuh kesabaran, waktu, dan sedikit bonus cakaran.

Mulai dari Hal Sepele (Tapi Konsisten)

Akhirnya, saya ganti taktik. Daripada pasang target produktivitas level CEO, saya mulai dari hal kecil dan gampang dilakukan:

  • Bangun tepat jam 4. Kalau masih ngantuk, ya minimal bangun. Setelah itu mau bengong di tempat tidur juga nggak apa-apa.
  • Menulis satu paragraf setiap hari. Walaupun sebenarnya lebih pantas disebut curhat kepada keyboard.
  • Minum air putih menggantikan kopi. Ini masih berjuang, tapi saya sudah belajar tidak menangis saat melihat iklan kopi di TV.

Setelah bisa sehari, saya ulangi. Lagi dan lagi. Prinsipnya: lakukan meski malas, meski wegah, meski rematik ikut demo.

Tapi...

Begitu strategi kecil ini saya coba terapkan ke target lain, seperti tidur malam tepat waktu, semuanya bubar jalan. Jadwal tidur jam 9 malam selalu gagal total karena banyak “urusan penting.” Biasanya urusan pekerjaan. Atau video lucu di YouTube. Tapi saya suka menyebut semuanya "kerja."

Sering saya berpikir, andai bisa ikut pelatihan ala militer, yang dibangunin pakai gedoran dan teriakan, disuruh push-up kalau ngantuk. Karena jujur saja, saya butuh seseorang seperti almarhumah ibu saya dulu. Tegas, galak, tapi efektif.

“Harus orang lain? Tidak bisa kamu sendiri yang melakukannya?”

Itu suara Gembul—teman imajiner saya yang selalu muncul kalau saya mulai banyak ngeles.

Sambil menimang kaleng Coca Cola, dia bilang, “Kalau kamu tidak bisa disiplin sendiri, semua pencapaianmu hanya numpang sukses. Bahkan usaha rental mobil, satu-satunya sumber penghasilan  yang masih tersisa, tetap bertahan semata-mata berkat keteguhan partnermu. Kalau dia pergi, kamu bisa ambruk kapan aja.”

Glek!!!!!

Pahit memang.

Disiplin sejati bukan tentang mematuhi aturan orang lain, tapi patuh pada aturan yang kita buat sendiri.

“Jadi, Apa Rencanamu, Pak Tua? Disiplin itu bukan soal berubah drastis, tapi soal berlatih konsisten meski pelan, dan meski sering jatuh.”

Saya menatap Gembul. Seperti biasa, berharap dia punya satu saja saran jitu, cara menjadi komandan atas diri sendiri. Tapi sebelum saya sempat membuka mulut, dia sudah keburu menghilang, entah ke mana. Mungkin kembali ke dunia kaleng Coca Cola.

Sebagai gantinya, saya berhadapan dengan teman imajiner lain. Sosoknya tidak jelas, tapi saya sering membayangkan dia mirip kembaran Hellboy. Kali ini dia muncul dengan wajah tua, mengenakan sarung dan  sebatang rokok terselip di telinga.

“Bangun jam 4 pagi, lalu cuci piring!” lanjutnya tegas, tanpa menunggu jawaban.

Menurut dia, secara sukarela menyelesaikan pekerjaan remeh—yang tidak akan menimbulkan resiko apa-apa kalau ditunda—adalah cara paling dasar melatih kemauan.

“Kamu tidak akan pernah bisa disiplin kalau tidak punya kemauan!”

Logikanya masuk akal. Maka tanpa pikir panjang, saya mengangguk. Sepakat.

Keputusan yang ternyata sangat prematur.

 

Cuci Piring Jam 4 Pagi Ternyata Misi Berat

Teorinya sederhana, bangun jam 4 pagi, lalu cuci piring. Prakteknya lebih mirip misi rahasia di film mata-mata, penuh tantangan, jebakan, dan keringat dingin.

Di malam sebelumnya saya harus mengkarantina semua perlengkapan makan dan masak, mencegah tamu tak diundang seperti tikus dan kecoak datang berpesta tengah malam. Itu berarti, setelah makan malam selesai, saya harus ekstra rapi. Padahal biasanya, semua dibereskan oleh anak. Sementara saya mengerjakan tugas berat lain, rebahan dan menatap plafon sambil berfilosofi.

Paginya, misi dimulai. Dapur saya sempit, dan tempat cuci piring letaknya di luar. Jadi untuk membawa semua peralatan kotor itu, saya harus mondar-mandir 3–4 kali. Kadang sambil ngucek mata. Kadang sambil mengeluh dalam hati, “Kenapa saya setuju ide konyol ini kemarin?”

Barang yang harus dicuci sebenarnya tidak banyak. Tapi karena udara dingin pagi bercampur rasa ngantuk, ditambah gangguan bisikan, “Nanti saja dilanjutkan, bikin kopi dulu,”—semua jadi molor.

Dan tentu saja, setelah jeda subuh, saya tergoda untuk berhenti sejenak. Tapi ternyata, sejenak itu berubah jadi lama. Akhirnya piring baru bersih semua sekitar jam tujuh.

Hellboy Tua Ternyata Serius

Hellboy versi tua tidak main-main. Besok paginya, ketika jam 4 sudah lewat, dan saya masih ketap-ketip di kasur, dia berteriak keras. Gayanya persis komandan militer yang marah melihat prajurit bangun kesiangan.

Meskipun dia cuma sosok imajiner, tapi suaranya yang nyaring terdengar tegas dan  jelas di kepala.

Refleks saya bangkit. Setengah sadar, saya loncat dari tempat tidur, buru-buru keluar kamar. Karena masih ngantuk berat, saya langsung nyungsep, kejedot pintu kamar.

Teriakan setan merah itu makin menjadi-jadi. “Kalau masih pengin kejedot, ada dua pintu lagi! Coba pakai sprint biar jedotannya mantep!!!”

Sambil memegang jidat yang mulai benjol, saya jalan sempoyongan menuju meja makan. Seperti biasa, rutinitas pagi saya awali dengan segelas air putih hangat.

Tapi pagi itu, kombinasi ngantuk dan kepala nyut-nyutan membuat saya lupa satu langkah penting, cek suhu air. Setelah menuang air ke dalam mug, langsung saya seruput.

Bibir serta lidah saya serasa terbakar.

“Panas ya? Kasih air es, biar dingin!” katanya dengan nada mengejek.

Saya sudah kesal, reflek membalas, “Mending kamu jadi ayam saja, biar enggak cerewet!”

Entah kenapa, kalimat itu malah membuat wujudnya berubah jadi durian, buah yang paling dia benci.

Tentu saja akhirnya saya jadi korban. Sepanjang hari durian cerewet itu merengek-rengek minta dikembalikan ke wujud semula. Sudah saya coba berbagai cara. Gagal semua. Saking putus asanya, saya sempat nekat membayangkan ... Sora Aoi.

(Ya, itu pun tidak berhasil. Malah jadi bumerang.)

🙈 Yang sudah tahu siapa itu Sora Aoi, .... tolong jangan ketawa. Yang belum tahu, lupakan saja. Anggap saya sedang keseleo pikiran.

Hellboy tua—yang akhirnya kembali ke wujud semula— menari-nari kegirangan.

"Bagaimana caramu bisa balik?"

"Kamu gagal karena berusaha terlalu keras. Aku bisa kembali setelah pikiranmu tenang."

Tenang? Jadi, keliru membayangkan tadi membuat pikiran tenang? Teori dari mana itu?

"Teori cara mengatasi ngantuk, pegel-pegel, dan capek."

"Maksudmu, membayangkan dia bisa—"

"HEEEYYYYY! JANGAN BERLAGAK BEGO!" dia langsung ngegas. "Terlalu fokus pada masalah bikin pikiran tegang. Tidak ada hubungannya dengan dia, kecuali kamu sengaja cari masalah baru."

Tanpa dicari pun, masalah datang sendiri. Ngapain juga repot-repot nambah?

Saya masih terus belajar. Kadang gagal, kadang... gagal lagi. Tapi saya percaya satu hal, Disiplin bukan soal berubah drastis, tapi soal berlatih konsisten meski pelan, dan meski sering jatuh. 

Sekarang saya belajar untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri. Disiplin bukan berarti jadi robot. Tapi punya arah. Punya tujuan, dan cukup sayang pada diri sendiri untuk melakukan hal yang baik, walau kadang tidak enak.

Saya tidak ingin lagi hidup asal mengalir. Karena kadang, yang mengalir itu bukan rejeki, tapi waktu yang terbuang.

Jadi, buat siapa saja (dan saya juga tentunya) yang sedang belajar disiplin, ingat, “Disiplin bukan soal sempurna. Tapi soal tetap mencoba, bahkan saat ingin menyerah dan rebahan.”

 


Tidak ada komentar: