Ketika blog djatiwidodo.My.ID masih aktif,
pengunjungnya lumayan rame. Tapi rame-nya bukan karena pembaca berdiskusi seru,
melainkan dipadati makhluk-makhluk digital yang numpang promosi judol dan
pinjol. Link-link mencurigakan bersliweran seperti nyamuk di musim hujan.
Di tengah banjir spam itu, ada satu pengunjung yang memberi
respon nyambung dengan konten blog.
Namanya Sonia.
Entah siapa dia, hanya datang sekali, tapi meninggalkan
komentar yang mengena, seperti anak panah yang menemukan sasaran di tengah
badai.
Bukan sekadar pujian basa-basi, Sonia mengulas seluruh isi
blog. Mengoreksi dan memberi saran. Katanya, saya punya semangat bagus, gaya
menulis juga mengalir. Tapi—dan ini yang membuat saya jadi pengin ngremus cabe
— katanya, pada tulisan tentang usaha saya memperbaiki nasib, tersirat aroma
kegagalan. Menurut Sonia, selama aura gagal itu tidak diperbaiki, saya akan
terus muter-muter di titik start.
Awalnya saya sempat jengkel. Komentar penutupnya seperti
jempol nyangkut di laci—tidak fatal, tapi senut-senutnya sampai ujung kaki.
Tapi kemudian, sesuatu di kepala membawa ingatan saya mundur sekitar 40an
tahun, ke masa ketika saya menertawakan teman yang mencoba mengubah nasib
menggunakan afirmasi.
Setelah hampir satu semester dia meyakinkan diri bisa lulus
ujian Calculus, hasilnya tetep mentok. Di mata kuliah satu itu, saya dan dia
sama-sama jeblog. Kecuali di Calculus, yang tidak dia sukai, nilainya di
seluruh mata kuliah selalu di atas saya. Sementara saya, sadar punya otak
pas-pasan, modal saya hanya mengikuti nasehat ibu, berusaha menyukai apapun
yang saya kerjakan.
Ketika akhirnya saya lulus Calculus, meskipun dengan nilai
pas-pasan, teman saya terpukul. Bahkan sampai terucap, tidak percaya.
Menurut Ibu, tidak ada orang bodoh yang mampu tamat SMA.
Saya tidak bisa mendapat nilai bagus hanya karena otak dan hati tidak selaras,
bukan lantaran bodoh. Mengubah suasana hati menjadi suka adalah salah satu cara
untuk membuat otak dan hati selaras.
Saya baca ulang semua postingan di blog, mencoba mencari
tahu, bagian mana yang menyiratkan otak saya tidak selaras dengan hati, sampai
Sonia punya kesimpulan usaha saya mengubah nasib hanya akan muter-muter di
titik start. Tapi, sampai setahun lebih, tidak kunjung ketemu. Meskipun tidak
membuat saya putus asa, menyebabkan blog jadi terlantar.
Mendadak saya teringat, pernah berkata pada teman, “afirmasi
tidak akan bermanfaat selama kamu masih tidak suka Calculus. Otakmu pengin
lulus, tapi hatimu berkata lain!”
Teman saya menyanggah. Justru karena tidak suka, dia
berusaha supaya secepatnya lulus.
Saya tidak punya niat membahas masa lalu, tapi rasa-rasanya
saya mulai melihat benang merahnya.
Hampir semua tulisan tentang usaha memperbaiki diri selalu
saya tutup dengan cerita gagal maning, gagal maning. Niat saya
hanya ingin sejujurnya memberitahukan kondisi yang sebenarnya, tapi sepertinya
tulisan itu lebih mirip pengakuan kalau saya belum siap untuk berubah. Saya
terus mengulang kisah kegagalan, bukan untuk belajar, tapi seperti menikmati
rasa pahitnya.
Ketika saya sedang mencoba memahami lebih jauh, tiba-tiba
ada panggilan telepon. Salah satu teman menanyakan keadaan istri saya pasca
operasi dua bulan lalu. Menjelang akhir percakapan dia berpesan supaya saya
menjaga perasaan istri saya, karena gangguan pada emosi sering berpengaruh
terhadap pikiran bawah sadar. Menurutnya, sebagian besar pasien gagal sembuh
karena bawah sadar tidak selaras dengan pikiran sadarnya.
Selama ini saya beranggapan, pikiran bawah sadar hanya
urusan sugesti. Tipu-tipu ala hipnotis. Tapi kali ini saya paksa otak berhenti
menghakimi. Sonia mengetahui sesuatu yang tidak saya pahami—bahkan mungkin
tidak saya sadari. Dia membuktikan kalau semakin ke sini saya cenderung menutup
diri terhadap apapun yang tidak saya suka, termasuk proses perubahan itu
sendiri.
Saya mulai sadar: ketidakmampuan menyukai proses adalah
racun bagi usaha apa pun. Saya ingin hasilnya bagus, tapi tidak rela menikmati
perjalanannya. Saya ingin sukses, tapi masih terlalu nyaman dengan alibi-alibi
kegagalan.
Mungkin sudah sangat terlambat untuk membalas komentar
Sonia. Tapi setidaknya, saya bisa berterima kasih padanya—karena tanpa sengaja,
dia telah membantu saya menemukan kembali kewarasan yang sempat hilang.
Kita bisa berlari secepat apa pun, tapi kalau hati tidak
ikut serta, maka kita hanya akan berputar di tempat—terus, tanpa henti, tanpa
arti.
Sekarang, saya mulai belajar menyukai prosesnya. Tidak lagi
menutup hari dengan kisah kegagalan, tapi dengan pertanyaan kecil: "Apa
yang bisa saya nikmati hari ini?"
Dan entah kenapa, sejak saat itu, langkah terasa lebih
ringan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar