10 April 2023

Aroma Kegagalan Yang Tertinggal


Gambar diambil dari Google

Ketika blog djatiwidodo.My.ID masih aktif, pengunjungnya lumayan rame. Tapi rame-nya bukan karena pembaca berdiskusi seru, melainkan dipadati makhluk-makhluk digital yang numpang promosi judol dan pinjol. Link-link mencurigakan bersliweran seperti nyamuk di musim hujan. 

Di tengah banjir spam itu, ada satu pengunjung yang memberi respon nyambung dengan konten blog.

Namanya Sonia.

Entah siapa dia, hanya datang sekali, tapi meninggalkan komentar yang mengena, seperti anak panah yang menemukan sasaran di tengah badai.

Bukan sekadar pujian basa-basi, Sonia mengulas seluruh isi blog. Mengoreksi dan memberi saran. Katanya, saya punya semangat bagus, gaya menulis juga mengalir. Tapi—dan ini yang membuat saya jadi pengin ngremus cabe — katanya, pada tulisan tentang usaha saya memperbaiki nasib, tersirat aroma kegagalan. Menurut Sonia, selama aura gagal itu tidak diperbaiki, saya akan terus muter-muter di titik start.

Awalnya saya sempat jengkel. Komentar penutupnya seperti jempol nyangkut di laci—tidak fatal, tapi senut-senutnya sampai ujung kaki. Tapi kemudian, sesuatu di kepala membawa ingatan saya mundur sekitar 40an tahun, ke masa ketika saya menertawakan teman yang mencoba mengubah nasib menggunakan afirmasi.

Setelah hampir satu semester dia meyakinkan diri bisa lulus ujian Calculus, hasilnya tetep mentok. Di mata kuliah satu itu, saya dan dia sama-sama jeblog. Kecuali di Calculus, yang tidak dia sukai, nilainya di seluruh mata kuliah selalu di atas saya. Sementara saya, sadar punya otak pas-pasan, modal saya hanya mengikuti nasehat ibu, berusaha menyukai apapun yang saya kerjakan.

Ketika akhirnya saya lulus Calculus, meskipun dengan nilai pas-pasan, teman saya terpukul. Bahkan sampai terucap, tidak percaya.

Menurut Ibu, tidak ada orang bodoh yang mampu tamat SMA. Saya tidak bisa mendapat nilai bagus hanya karena otak dan hati tidak selaras, bukan lantaran bodoh. Mengubah suasana hati menjadi suka adalah salah satu cara untuk membuat otak dan hati selaras.

Saya baca ulang semua postingan di blog, mencoba mencari tahu, bagian mana yang menyiratkan otak saya tidak selaras dengan hati, sampai Sonia punya kesimpulan usaha saya mengubah nasib hanya akan muter-muter di titik start. Tapi, sampai setahun lebih, tidak kunjung ketemu. Meskipun tidak membuat saya putus asa, menyebabkan blog jadi terlantar.

Mendadak saya teringat, pernah berkata pada teman, “afirmasi tidak akan bermanfaat selama kamu masih tidak suka Calculus. Otakmu pengin lulus, tapi hatimu berkata lain!”

Teman saya menyanggah. Justru karena tidak suka, dia berusaha supaya secepatnya lulus.

Saya tidak punya niat membahas masa lalu, tapi rasa-rasanya saya mulai melihat benang merahnya.

Hampir semua tulisan tentang usaha memperbaiki diri selalu saya tutup dengan cerita gagal maning, gagal maning. Niat saya hanya ingin sejujurnya memberitahukan kondisi yang sebenarnya, tapi sepertinya tulisan itu lebih mirip pengakuan kalau saya belum siap untuk berubah. Saya terus mengulang kisah kegagalan, bukan untuk belajar, tapi seperti menikmati rasa pahitnya.

Ketika saya sedang mencoba memahami lebih jauh, tiba-tiba ada panggilan telepon. Salah satu teman menanyakan keadaan istri saya pasca operasi dua bulan lalu. Menjelang akhir percakapan dia berpesan supaya saya menjaga perasaan istri saya, karena gangguan pada emosi sering berpengaruh terhadap pikiran bawah sadar. Menurutnya, sebagian besar pasien gagal sembuh karena bawah sadar tidak selaras dengan pikiran sadarnya.  

Selama ini saya beranggapan, pikiran bawah sadar hanya urusan sugesti. Tipu-tipu ala hipnotis. Tapi kali ini saya paksa otak berhenti menghakimi. Sonia mengetahui sesuatu yang tidak saya pahami—bahkan mungkin tidak saya sadari. Dia membuktikan kalau semakin ke sini saya cenderung menutup diri terhadap apapun yang tidak saya suka, termasuk proses perubahan itu sendiri.

Saya mulai sadar: ketidakmampuan menyukai proses adalah racun bagi usaha apa pun. Saya ingin hasilnya bagus, tapi tidak rela menikmati perjalanannya. Saya ingin sukses, tapi masih terlalu nyaman dengan alibi-alibi kegagalan.

Mungkin sudah sangat terlambat untuk membalas komentar Sonia. Tapi setidaknya, saya bisa berterima kasih padanya—karena tanpa sengaja, dia telah membantu saya menemukan kembali kewarasan yang sempat hilang.

Dan sekarang, saya mulai mengerti:
Usaha tanpa keselarasan hati hanya seperti berlari di treadmill—capek, tapi tidak maju-maju.

Kita bisa berlari secepat apa pun, tapi kalau hati tidak ikut serta, maka kita hanya akan berputar di tempat—terus, tanpa henti, tanpa arti.

Sekarang, saya mulai belajar menyukai prosesnya. Tidak lagi menutup hari dengan kisah kegagalan, tapi dengan pertanyaan kecil: "Apa yang bisa saya nikmati hari ini?"

Dan entah kenapa, sejak saat itu, langkah terasa lebih ringan.

Tidak ada komentar: