25 Maret 2023

Ketika Surat Cinta Lebih Sangar Ketimbang Debt Collector


Barangkali lantaran wajah saya lebih sering terlihat kusut, dokter menduga gangguan kesehatan yang saya alami disebabkan oleh beban pikiran, sehingga dokter menyarankan supaya saya konsul ke psikolog.

Meskipun saya merasa bisa mengatasi gejolak pikiran, tapi sejujurnya, memang banyak yang saya pikirkan dan banyak yang membuat saya kuwatir. Saya tahu, berlagak tidak cemas sama buruknya dengan membiarkan ketakutan menguasai pikiran. Masalahnya, saya tidak tahu harus bagaimana, selain berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa segala sesuatu yang membuat saya cemas belum tentu akan terjadi.

Setelah pandemi usai, dan aktifitas mulai normal kembali, pelan-pelan saya mulai sadar, saat menghadapi masalah, otak saya ternyata lebih santai. Barangkali, beban pikiran yang numpuk selama pandemi, memaksa otak membuat penyesuaian, dan berujung menjadi lebih santai. Hanya kadang-kadang saja masih kambuh cemas.

Jadi agak aneh, kenapa ketika saya mulai merasa pikiran saya baik-baik saja, justru dokter menyarankan konsultasi ke psikolog?

Terlalu banyak menerima perhatian dan dibantu justru membuat saya cenderung jadi cengeng. Saya merasa lebih tegar justru ketika harus sendiri menghadapi kesulitan. Tanpa dibantu oleh  siapapun..

Memang, psikolog punya metode khusus, bukan sekadar memberi nasihat. Tapi tetap saja, saya sempat kuwatir… (Nah kan, malah jadi kuwatir lagi).

Sudahlah, saya memilih pasrah saja. Apapun yang terjadi, akan saya lakoni sendiri. (Meski sebenarnya saya tahu, tidak beneran sendiri. Ada Tuhan). Alam semesta memberi saya cukup bekal, tidak ada alasan untuk membiarkan diri takluk pada bayang-bayang ketakutan yang diciptakan oleh pikiran.

Ketika pertama kali saya menolak saran dokter, beliau masih sabar. Tapi penolakan kedua membuat nada bicaranya berubah. Dengan suara pelan tapi menekan, dokter berkata bahwa saya benar-benar membutuhkan bantuan psikolog. Menurutnya, siapa pun yang melihat saya saat itu, bisa langsung tahu bahwa saya sedang memikul beban berat.

Saya tidak membantah. Bahkan saya setuju. Sekitar lima minggu belakangan saya memang menghadapi masalah cukup serius. Lumayan menguras energi, fisik maupun mental. Terutama karena melibatkan pihak ketiga sebagai biang keroknya. Tapi, sepusing apapun, saya sangat yakin, bantuan psikolog tidak akan berarti apa-apa. Untuk yang satu ini saya benar-benar tidak butuh diberi nasehat, tidak butuh diberi peneguhan mental, juga tidak butuh support dari siapapun.

Disaat saya sedang bingung mencari cara untuk memberi pengertian pada dokter, telepon seluler saya berdering. Biasanya, ketika sedang bersama orang lain, saya tidak pernah menerima panggilan, tapi kali ini beda. Saya memang menunggu panggilan itu, makanya saya minta ijin untuk menerima.

Saat mengembalikan ponsel ke dalam tas, saya melihat lipatan surat terselip diantara kertas-kertas lain. Saya ambil surat itu, lalu saya serahkan kepada dokter sambil berkata, “ini yang menyebabkan saya kusut.”

Sesaat setelah  membaca seluruh isinya, dokter menghela nafas panjang sambil merebahkan badan  ke sandaran kursi. Surat itu masih dipegang menggunakan dua tangan sambil sesekali matanya melirik ke arah tulisan.

Ketika dokter mengembalikan surat, saya lihat wajahnya berubah, nampak seperti galau.

Saya memberanikan diri bertanya, “Dokter juga menerima?”

Ada sedikit senyum kecut menghias wajahnya sebelum dokter mengangguk, “Dua hari lalu. Baru sekali, tapi tagihannya besar.”

“Kalau dokter berkenan, mungkin saya bisa bantu mengurai masalahnya.”

Dokter tidak menjawab. Hanya memandang saya dengan tatapan sedikit curiga.

“Saya bukan konsultan, tidak perlu dibayar. Meskipun mungkin tidak bisa membantu mencari solusinya, tapi saya bisa membantu memetakan isi suratnya.”

Perlahan dokter menarik laci meja, lalu mengeluarkan sepucuk surat bersampul cokelat, persis seperti yang saya terima. Isinya ringkas, sederhana, tapi seperti biasa, membuat penerima yang tidak paham pola kerjanya, senewen tujuh turunan.

Selesai membaca, saya masukkan kembali surat ke dalam sampulnya, lalu menyerahkan kepada dokter sambil bertanya, “Ada penghasilan 2019 yang belum dilaporkan?”  

“Mereka bisa tahu?”

“Tergantung dari mana sumbernya. Kalau dari perusahaan farmasi, bisa terlacak dari laporan pajak penghasilan.”

Dokter menunduk, memandangi meja, seolah mencari sesuatu, sebelum akhirnya tertawa dan berkata, “Jadi, siapa sebenarnya  yang perlu ketemu psikolog?”

Kamipun tertawa bersama.

Enggak nyangka, “surat cinta” bersampul cokelat dari Direktorat Jenderal Pajak yang selama ini menjadi momok bagi Wajib Pajak, malah membuat kami menjadi teman seperjuangan.


Tidak ada komentar: