Setelah memutuskan untuk restart hidup
—dengan semangat baru, rematik lama, dan impian yang (ajaibnya) masih
hangat—saya sampai pada satu kesimpulan penting, Saya punya masalah
serius dengan disiplin.
Saya tahu, disiplin itu baik dan perlu. Bahkan saya pernah
menulis tentang pentingnya disiplin di kertas warna-warni yang saya tempel di
cermin kamar mandi. Kenyataannya, hidup saya lebih sering berjalan dengan
prinsip legendaris, “Kalau bisa nanti, kenapa harus sekarang?”
Saya Punya Jadwal, Tapi Tidak Saya Baca
Pernah suatu masa, saya begitu termotivasi, sampai membuat
jadwal harian secantik peta harta karun. Ada blok-blok waktu warna-warni: "Bangun
jam 4 pagi! Jalan pagi! Nulis 1.000 kata sebelum sarapan!"
Realitanya, sampai jam 6 pagi saya masih tenggelam dalam
dialog batin dengan bantal. Jalan paginya bergeser jadi jalan ke dapur. Nulis
blog? Ya... itu rencananya, ngopi dulu lah.
Sambil ngopi, buka medsos, lalu bilang ke diri
sendiri, "Nanti juga nulis kok."
Disiplin ternyata bukan hanya soal niat, tapi, terutama,
menyangkut komitmen, dan kebiasaan
Kepala Mau, Badan Wegah
Ada saat di mana saya duduk serius, menatap kalender
digital, lalu membatin dengan penuh tekad: "Mulai sekarang aku akan
disiplin, hidup harus teratur!"
Lima menit kemudian ......
Saya sudah tergoda cek Facebook, menyapa teman di WhatsApp,
atau mendadak merasa sangat penting untuk menyortir foto-foto tahun 1992.
Pokoknya semua dikerjakan—kecuali yang seharusnya.
Saya jadi punya pikiran, membiasakan disiplin mirip ngajari
kucing berenang. Mungkin bisa, tapi butuh kesabaran, waktu, dan sedikit bonus cakaran.
Mulai dari Hal Sepele (Tapi Konsisten)
Akhirnya, saya ganti taktik. Daripada pasang target
produktivitas level CEO, saya mulai dari hal kecil dan gampang dilakukan:
- Bangun
tepat jam 4. Kalau masih ngantuk, ya minimal bangun. Setelah itu
mau bengong di tempat tidur juga nggak apa-apa.
- Menulis
satu paragraf setiap hari. Walaupun sebenarnya lebih pantas
disebut curhat kepada keyboard.
- Minum
air putih menggantikan kopi. Ini masih berjuang, tapi saya sudah
belajar tidak menangis saat melihat iklan kopi di TV.
Setelah bisa sehari, saya ulangi. Lagi dan lagi. Prinsipnya:
lakukan meski malas, meski wegah, meski rematik ikut demo.
Tapi...
Begitu strategi kecil ini saya coba terapkan ke target lain,
seperti tidur malam tepat waktu, semuanya bubar jalan. Jadwal tidur jam 9 malam
selalu gagal total karena banyak “urusan penting.” Biasanya urusan pekerjaan.
Atau video lucu di YouTube. Tapi saya suka menyebut semuanya "kerja."
Sering saya berpikir, andai bisa ikut pelatihan ala militer,
yang dibangunin pakai gedoran dan teriakan, disuruh push-up kalau ngantuk.
Karena jujur saja, saya butuh seseorang seperti almarhumah ibu saya dulu.
Tegas, galak, tapi efektif.
“Harus orang lain? Tidak bisa kamu sendiri yang
melakukannya?”
Itu suara Gembul—teman imajiner saya yang selalu muncul
kalau saya mulai banyak ngeles.
Sambil menimang kaleng Coca Cola, dia bilang, “Kalau kamu
tidak bisa disiplin sendiri, semua pencapaianmu hanya numpang sukses. Bahkan
usaha rental mobil, satu-satunya sumber penghasilan yang masih
tersisa, tetap bertahan semata-mata berkat keteguhan partnermu. Kalau dia
pergi, kamu bisa ambruk kapan aja.”
Glek!!!!!
Pahit memang.
Disiplin sejati bukan tentang mematuhi aturan orang lain,
tapi patuh pada aturan yang kita buat sendiri.
“Jadi, Apa Rencanamu, Pak Tua? Disiplin itu
bukan soal berubah drastis, tapi soal berlatih konsisten meski pelan, dan meski
sering jatuh.”
Saya menatap Gembul. Seperti biasa, berharap dia punya satu
saja saran jitu, cara menjadi komandan atas diri sendiri. Tapi sebelum saya
sempat membuka mulut, dia sudah keburu menghilang, entah ke mana. Mungkin
kembali ke dunia kaleng Coca Cola.
Sebagai gantinya, saya berhadapan dengan teman imajiner
lain. Sosoknya tidak jelas, tapi saya sering membayangkan dia mirip kembaran
Hellboy. Kali ini dia muncul dengan wajah tua, mengenakan sarung dan
sebatang rokok terselip di telinga.
“Bangun jam 4 pagi, lalu cuci piring!” lanjutnya tegas,
tanpa menunggu jawaban.
Menurut dia, secara sukarela menyelesaikan pekerjaan
remeh—yang tidak akan menimbulkan resiko apa-apa kalau ditunda—adalah cara
paling dasar melatih kemauan.
“Kamu tidak akan pernah bisa disiplin kalau tidak punya
kemauan!”
Logikanya masuk akal. Maka tanpa pikir panjang, saya
mengangguk. Sepakat.
Keputusan yang ternyata sangat prematur.
Cuci Piring Jam 4 Pagi Ternyata Misi Berat
Teorinya sederhana, bangun jam 4 pagi, lalu cuci piring.
Prakteknya lebih mirip misi rahasia di film mata-mata, penuh tantangan,
jebakan, dan keringat dingin.
Di malam sebelumnya saya harus mengkarantina semua
perlengkapan makan dan masak, mencegah tamu tak diundang seperti tikus dan
kecoak datang berpesta tengah malam. Itu berarti, setelah makan malam selesai,
saya harus ekstra rapi. Padahal biasanya, semua dibereskan oleh anak. Sementara
saya mengerjakan tugas berat lain, rebahan dan menatap plafon sambil
berfilosofi.
Paginya, misi dimulai. Dapur saya sempit, dan tempat cuci
piring letaknya di luar. Jadi untuk membawa semua peralatan kotor itu, saya
harus mondar-mandir 3–4 kali. Kadang sambil ngucek mata. Kadang sambil mengeluh
dalam hati, “Kenapa saya setuju ide konyol ini kemarin?”
Barang yang harus dicuci sebenarnya tidak banyak. Tapi
karena udara dingin pagi bercampur rasa ngantuk, ditambah gangguan bisikan,
“Nanti saja dilanjutkan, bikin kopi dulu,”—semua jadi molor.
Dan tentu saja, setelah jeda subuh, saya tergoda untuk
berhenti sejenak. Tapi ternyata, sejenak itu berubah jadi lama. Akhirnya piring
baru bersih semua sekitar jam tujuh.
Hellboy Tua Ternyata Serius
Hellboy versi tua tidak main-main. Besok paginya, ketika jam
4 sudah lewat, dan saya masih ketap-ketip di kasur, dia berteriak keras.
Gayanya persis komandan militer yang marah melihat prajurit bangun kesiangan.
Meskipun dia cuma sosok imajiner, tapi suaranya yang nyaring
terdengar tegas dan jelas di kepala.
Refleks saya bangkit. Setengah sadar, saya loncat dari
tempat tidur, buru-buru keluar kamar. Karena masih ngantuk berat, saya langsung
nyungsep, kejedot pintu kamar.
Teriakan setan merah itu makin menjadi-jadi. “Kalau masih
pengin kejedot, ada dua pintu lagi! Coba pakai sprint biar jedotannya mantep!!!”
Sambil memegang jidat yang mulai benjol, saya jalan
sempoyongan menuju meja makan. Seperti biasa, rutinitas pagi saya awali dengan
segelas air putih hangat.
Tapi pagi itu, kombinasi ngantuk dan kepala nyut-nyutan
membuat saya lupa satu langkah penting, cek suhu air. Setelah menuang air ke
dalam mug, langsung saya seruput.
Bibir serta lidah saya serasa terbakar.
“Panas ya? Kasih air es, biar dingin!” katanya dengan nada
mengejek.
Saya sudah kesal, reflek membalas, “Mending kamu jadi ayam
saja, biar enggak cerewet!”
Entah kenapa, kalimat itu malah membuat wujudnya berubah
jadi durian, buah yang paling dia benci.
Tentu saja akhirnya saya jadi korban. Sepanjang hari durian
cerewet itu merengek-rengek minta dikembalikan ke wujud semula. Sudah saya coba
berbagai cara. Gagal semua. Saking putus asanya, saya sempat nekat
membayangkan ... Sora Aoi.
(Ya, itu pun tidak berhasil. Malah jadi bumerang.)
🙈 Yang sudah tahu
siapa itu Sora Aoi, .... tolong jangan ketawa. Yang belum tahu, lupakan
saja. Anggap saya sedang keseleo pikiran.
Hellboy tua—yang akhirnya kembali ke wujud semula—
menari-nari kegirangan.
"Bagaimana caramu bisa balik?"
"Kamu gagal karena berusaha terlalu keras. Aku bisa
kembali setelah pikiranmu tenang."
Tenang? Jadi, keliru membayangkan tadi membuat pikiran
tenang? Teori dari mana itu?
"Teori cara mengatasi ngantuk, pegel-pegel, dan
capek."
"Maksudmu, membayangkan dia bisa—"
"HEEEYYYYY! JANGAN BERLAGAK BEGO!" dia langsung
ngegas. "Terlalu fokus pada masalah bikin pikiran tegang. Tidak ada
hubungannya dengan dia, kecuali kamu sengaja cari masalah baru."
Tanpa dicari pun, masalah datang sendiri. Ngapain juga
repot-repot nambah?
Saya masih terus belajar. Kadang gagal, kadang... gagal
lagi. Tapi saya percaya satu hal, Disiplin bukan soal berubah drastis,
tapi soal berlatih konsisten meski pelan, dan meski sering jatuh.
Sekarang saya belajar untuk tidak terlalu keras pada diri
sendiri. Disiplin bukan berarti jadi robot. Tapi punya arah. Punya tujuan, dan
cukup sayang pada diri sendiri untuk melakukan hal yang baik, walau kadang
tidak enak.
Saya tidak ingin lagi hidup asal mengalir. Karena kadang,
yang mengalir itu bukan rejeki, tapi waktu yang terbuang.
Jadi, buat siapa saja (dan saya juga tentunya) yang sedang
belajar disiplin, ingat, “Disiplin bukan soal sempurna. Tapi soal tetap
mencoba, bahkan saat ingin menyerah dan rebahan.”