27 Maret 2023

Fortuna Fortis Adiuvat

 


Orang Romawi kuno bilang, "Fortuna Fortis Adiuvat." Keberuntungan berpihak kepada orang yang berani.

Kalimat itu terdengar gagah, penuh semangat, dan cocok dicetak besar di poster motivasi. Tapi sepertinya mereka tidak pernah mengalami betapa menyesakkannya hidup ketika tagihan rumah sakit datang bertubi-tubi, sampai sempat lupa cara bernapas. Atau duduk di depan dokter yang wajahnya tetap datar saat ia berkata, "Ini kanker stadium tiga."

Keberanian saya selama ini paling banter cuma parkir di tempat terlarang—itu pun sambil deg-degan, takut ketahuan polisi. Tapi hidup, seperti biasa, senang memberi kejutan level dewa. Sejak istri saya didiagnosis kanker, hidup kami seperti naik roller coaster, terguncang keras dan naik turun tanpa tahu kapan akan berhenti.

Dari sanalah saya belajar, ternyata fortuna, Dewi Keberuntungan, juga bisa datang kepada orang yang nekat jalan terus meskipun dengan jantung empot-empotan dan nyali tinggal kulitnya saja. Mungkin, tindakan nekad semacam itu, meski penuh gemetar dan ragu, justru merupakan wujud dari keberanian yang sesungguhnya. Keberanian yang diam-diam bertahan di tengah badai.

Entahlah.

Realitanya, sekalipun dengan pikiran kacau dan jantung gedebugan, saya tetap bisa melewati hari-hari yang sulit dan menakutkan dengan berbagai cara yang lebih mirip nasib mujur ketimbang hasil dari rencana matang. Tapi mungkin, kebetulan itu juga cara Tuhan menunjukkan bahwa kita tidak sendirian.

Kata orang, keberanian itu privilege anak muda yang yang masih punya energi untuk lari dari debt collector, atau petualang yang mendaki gunung sambil tersenyum. Ternyata, keberanian versi lansia 60-an seperti saya justru unik. Meskipun terpaksa dan sambil nyaris jantungan, ternyata saya tetap bisa melangkah, melewati banyak tantangan yang sebenarnya membutuhkan nyali besar untuk menghadapinya.

Hidup Tidak Adil, Tapi Bukan Alasan untuk Berhenti

Hidup ini seperti permainan catur di mana kita cuma punya pion dan raja—sementara lawan punya seluruh pasukan. Aturannya tidak jelas, kadang licik, dan seringkali terasa kejam. Tapi satu hal yang saya pelajari: berani bukan soal menang.

Berani adalah ketika saya tahu, peluang tipis, tapi tetap memilih bertahan.
Berani adalah ketika saya menangis di kamar mandi, lalu keluar dengan wajah tenang. Berani adalah percaya bahwa setiap langkah, betapapun goyahnya, masih berarti.

Saya tidak berharap hidup tiba-tiba cerah seperti iklan skincare. Tapi saya percaya, selama saya masih bergerak—meski sambil gemetar—akan selalu ada pintu yang terbuka, sekecil apa pun. Mungkin Fortuna tidak datang dengan hadiah besar, tapi cukup dengan angin segar yang mengingatkan: "Kamu tidak sendirian."

Untuk Anda yang Juga Merasa Kalah

Jika hari ini Anda merasa seperti pion terakhir di papan catur, ingat ini:

  • Hidup tidak adil, tapi bukan akhir cerita. Kebahagiaan bisa datang dari hal-hal kecil yang luput dari perhitungan.
  • Keberanian itu tidak selalu gagah. Kadang ia hanya bisikan, "Coba lagi besok."
  • Tidak perlu jadi pahlawan. Cukup jadi diri sendiri yang tetap bangun, meski dunia terasa berat.


HOME

25 Maret 2023

Ketika Surat Cinta Lebih Sangar Ketimbang Debt Collector


Barangkali lantaran wajah saya lebih sering terlihat kusut, dokter menduga gangguan kesehatan yang saya alami sebagian disebabkan oleh beban pikiran, sehingga dokter menyarankan supaya saya konsul ke psikolog.

Meskipun saya merasa bisa mengatasi gejolak pikiran, tapi sejujurnya, memang banyak yang saya pikirkan dan banyak yang membuat saya kuwatir. Saya tahu, berlagak tidak cemas sama buruknya dengan membiarkan ketakutan menguasai pikiran. Masalahnya, saya tidak tahu harus bagaimana, selain berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa segala sesuatu yang membuat saya cemas belum tentu akan terjadi.

Setelah pandemi usai, dan aktifitas mulai normal kembali, pelan-pelan saya mulai sadar, saat menghadapi masalah, otak saya ternyata lebih santai. Barangkali, beban pikiran yang numpuk selama pandemi, memaksa otak membuat penyesuaian, dan berujung menjadi lebih santai. Hanya kadang-kadang saja masih kambuh cemas.

Jadi agak aneh, kenapa ketika saya mulai merasa pikiran saya baik-baik saja, justru dokter menyarankan konsultasi ke psikolog?

Terlalu banyak menerima perhatian dan dibantu justru membuat saya cenderung jadi cengeng. Saya merasa lebih tegar justru ketika harus sendiri menghadapi kesulitan. Tanpa dibantu oleh  siapapun..

Memang, psikolog punya metode khusus, bukan sekadar memberi nasihat. Tapi tetap saja, saya sempat kuwatir… (Nah kan, malah jadi kuwatir lagi).

Sudahlah, saya memilih pasrah saja. Apapun yang terjadi, akan saya lakoni sendiri. (Meski sebenarnya saya tahu, tidak beneran sendiri. Ada Tuhan). Alam semesta memberi saya cukup bekal, tidak ada alasan untuk membiarkan diri takluk pada bayang-bayang ketakutan yang diciptakan oleh pikiran.

Ketika bulan lalu, untuk pertama kalinya saya menolak saran dokter, beliau masih sabar. Tapi kali ini nada bicaranya berubah. Dengan suara pelan tapi menekan, dokter berkata bahwa saya benar-benar membutuhkan bantuan psikolog. Menurutnya, siapa pun yang melihat saya saat itu, bisa langsung tahu bahwa saya sedang memikul beban berat.

Saya tidak membantah. Bahkan saya setuju. Sekitar lima minggu belakangan saya memang menghadapi masalah cukup serius. Lumayan menguras energi, fisik maupun mental. Terutama karena melibatkan pihak ketiga sebagai biang keroknya. Tapi, sepusing apapun, saya sangat yakin, bantuan psikolog tidak akan berarti apa-apa. Untuk yang satu ini saya benar-benar tidak butuh diberi nasehat, tidak butuh diberi peneguhan mental, juga tidak butuh support dari siapapun.

Disaat saya sedang bingung mencari cara untuk memberi pengertian pada dokter, telepon seluler saya berdering. Biasanya, ketika sedang bersama orang lain, saya tidak pernah menerima panggilan, tapi kali ini beda. Saya memang menunggu panggilan itu, makanya saya minta ijin untuk menerima.

Saat mengembalikan ponsel ke dalam tas, saya melihat lipatan surat terselip diantara kertas-kertas lain. Saya ambil surat itu, lalu saya serahkan kepada dokter sambil berkata, “ini yang menyebabkan saya kusut.”

Sesaat setelah  membaca seluruh isinya, dokter menghela nafas panjang sambil merebahkan badan  ke sandaran kursi. Surat itu masih dipegang menggunakan dua tangan sambil sesekali matanya melirik ke arah tulisan.

Ketika dokter mengembalikan surat, saya lihat wajahnya berubah, nampak seperti galau.

Saya memberanikan diri bertanya, “Dokter juga menerima?”

Ada sedikit senyum kecut menghias wajahnya sebelum dokter mengangguk, “Dua hari lalu. Baru sekali, tapi tagihannya besar.”

“Kalau dokter berkenan, mungkin saya bisa bantu mengurai masalahnya.”

Dokter tidak menjawab. Hanya memandang saya dengan tatapan sedikit curiga.

“Saya tidak minta dibayar …..”

“Bukan itu ……. Anda sendiri punya masalah.”

“Telepon tadi memastikan, masalah saya sudah selesai.”

“Saya bukan konsultan, tapi pernah dua kali ikut brevet. Selain itu, selama dua puluh tahun, saya punya pengalaman berkali-kali menerima surat semacam itu. Meskipun mungkin tidak bisa membantu mencari solusinya, tapi saya bisa membantu memetakan isi suratnya.”

Perlahan dokter menarik laci meja, lalu mengeluarkan sepucuk surat bersampul cokelat, persis seperti yang saya terima. Isinya ringkas, sederhana, tapi seperti biasa, membuat penerima yang tidak paham pola kerjanya, senewen tujuh turunan.

Selesai membaca, saya masukkan kembali surat ke dalam sampulnya, lalu menyerahkan kepada dokter sambil bertanya, “Ada penghasilan 2019 yang belum dilaporkan?”  

“Mereka bisa tahu?”

“Tergantung sumber. Kalau dari perusahaan farmasi, biasanya terlacak dari laporan pajak penghasilan.”

Dokter menunduk, memandangi meja, seolah mencari sesuatu, sebelum akhirnya tertawa dan berkata, “Jadi, siapa sebenarnya  yang perlu ketemu psikolog?”

Kamipun tertawa bersama.

Enggak nyangka, “surat cinta” bersampul cokelat dari Direktorat Jenderal Pajak yang selama ini menjadi momok bagi Wajib Pajak, malah membuat kami menjadi teman seperjuangan.


15 Maret 2023

Menjadi Pawang di Suaka Margasatwa

 


Setelah pandemi berlalu, alhamdulillah saya merasa lebih sehat dari sebelumnya. Tapi saya sadar, tubuh saya sekarang lebih mirip suaka margasatwa – tenang di luar, tapi di dalam banyak macan tidur yang bisa bangun dan ngamuk kapan saja, tanpa permisi.

Sejak itu, saya mulai belajar banyak hal. Terutama yang berkaitan dengan segala sesuatu yang bisa menyebabkan macan-macan itu terusik.

Dulu saya pikir, sayur dan buah adalah sahabat sejati tubuh. Ternyata, untuk kondisi fisik saya sekarang, tidak semua seramah sebelumnya. Ada batasan porsi tertentu yang tidak boleh saya langgar, supaya mereka tetap memberi mafaat tanpa menusuk dari belakang.

Saya tidak lagi diet ketat, karena kalau sampai dibuat seperti itu, bisa jadi saya hanya bisa makan dan minum di angan-angan saja. Nyaris semua apapun yang masuk mulut selalu membawa resiko mengusik macan-macan yang sedang tidur.

Sambil menjaga ketenangan macan-macan penghuni suaka, semua yang masuk mulut saya catat, lengkap berikut tanggal dan jamnya. Lalu saya amati kondisi saya dua sampai tiga hari berikutnya. Kalau aman, konsumsinya lanjut terus, dalam porsi yang sama.

Tapi seandainya muncul gejala terjadi gangguan, entah sekedar diare, mual, mendadak pusing berkepanjangan atau sandal tiba-tiba terasa kekecilan (berarti kaki sedikit bengkak), segera saya telusuri, asupan mana yang sekiranya pantas jadi tersangka.   

Salah satu tersangka yang sudah berulangkali tertangkap tangan adalah brokoli rebus. Saya mengkonsumsi brokol karena bisa membantu mengurangi kadar Trigliserida lumayan. Masalahnya, ketika saya konsumsi terus menerus sampai lebih dari 5 hari berturutan, pada hari ke enam, kencing saya mulai bau dan sedikit keruh.  

Entah apa yang dilakukan oleh brokoli di dalam sana, tapi setelah tahu efek sampingnya, saya tidak perlu nunggu sampai hari ke enam baru jeda. Hanya berhenti saja sementara, sekitar seminggu, kemudian mulai lagi makan brokoli. Begitu juga  dengan yang lain.  

Tidak ada yang memberi petunjuk untuk diet dengan cara seperti itu. Saya rekayasa sendiri berdasar kondisi badan sehari-hari. Tapi supaya tidak ngawur-ngawur amat, sebulan sekali saya rutin cek lab. Saya pelajari kaitan antara menu makan dengan perubahan yang terjadi pada setiap variabel yang diperiksa.

Meskipun ketika hasil cek lab menyatakan semua normal, saya tidak beranggapan  biang masalahnya sembuh. Mereka hanya sedikit tenang, seperti para macan yang sedang tidur.

Saya tidak lagi mengejar kesembuhan, karena sadar bahwa tubuh ini sudah mirip ekosistem yang mulai rapuh, di mana setiap asupan, setiap obat, bahkan setiap pikiran bisa jadi pemicu kekacauan.

Saya belajar untuk hidup berdampingan dengan ketidakpastian. Bukan dengan menyerah, tapi dengan lebih mengenal diri sendiri. Mengenal batas, menghormati sinyal, dan mempercayai insting. Saya tidak lagi takut pada gejala, karena mereka adalah bahasa tubuh yang mencoba berbicara. Dan saya belajar menjadi pendengar yang lebih baik.

Dan kalau suatu hari nanti, perjalanan ini harus berakhir lebih cepat dari yang saya harapkan, saya ingin percaya bahwa saya telah hidup dengan jujur pada diri sendiri, penuh kesadaran, dan setia pada prinsip, bahwa kesehatan bukan soal angka di kertas hasil lab, tapi tentang seberapa damai saya bisa menjalaninya.

Seperti kata Whitney Houston, “If I fail, if I succeed, at least I'll live as I believe”.

Terima kasih untuk semua yang telah menemani, membaca, dan memahami—meski hanya dari kejauhan. Sampai jumpa di perjalanan berikutnya.


14 Maret 2023

Drama Kecil di Sepenggal Perjalanan


Beberapa hari belakangan, setelah rampung ritual pagi beres-beres rumah, godaan ngantuk campur males datang lagi. Pernah saya turuti. Pikir saya, tidur sebentar apa salahnya? Ternyata bablas sampai jam 10. 

Gembul, teman imajiner saya yang kadang sok bijak, pernah berkata, “Kalau kamu susah dibangunkan, padahal tubuh sudah seharusnya aktif, itu pertanda kamu sedang melarikan diri dari realita. Bawah sadarmu sedang memberontak.”

Saya tidak tahu, apakah harus senang atau kuwatir ketika Gembul berlagak jadi psikolog. Bagaimana seandainya tebakan itu benar?

Akhirnya saya memaksa diri melawan. Meski ngantuk dan pikiran terus menggoda, saya tetap mandi, sarapan, lalu mulai mengerjakan apa saja yang bisa membuat badan bergerak. Setelah satu jam bertahan, ngantuk dan malesnya hilang. Ternyata segampang itu.

Dua, tiga, empat hari berlalu, dan saya baik-baik saja. Semangat mulai kembali, tubuh terasa lebih ringan. Tapi pada hari kelima, saat sedang di kantor, sekitar jam 11, dunia tiba-tiba berputar lagi.

Bukan hanya mata nagih tidur, capek dan pegal-pegal yang selama 4 hari lumayan berkurang, mendadak kambuh, lebih parah. Ketika saya berusaha tidak menyerah, tapi tubuh seolah berontak. Beberapa kali saya nyungsep sampai kejedot laptop. Bahkan akhirnya saya tertidur di meja. Baru bangun menjelang bubaran kantor. Itupun gara-gara suasana berisik ketika yang lain siap-siap pulang.

Hari berikutnya saya minum kopi lebih banyak. Ternyata sama saja, tidak ngaruh. Sejak saat itu kerja saya jadi kacau. Di kantor lebih banyak molornya ketimbang menyelesaikan pekerjaan. Beruntung, staff saya mumpuni, sehingga tidak banyak pekerjaan yang terbengkelai, kecuali urusan yang memang tidak bisa diselesaikan orang lain.

Suatu saat saya nekad memaksa diri tidak tidur siang. Tanpa ngopi pula. Badan terasa remuk total. Tapi saya bertekad tidak akan menyerah. Kalau hidup mulai keras, tidak ada pilihan lain kecuali dibalas dengan semangat.

Masalahnya, kali ini saya salah perhitungan. Saya lupa bahwa segala sesuatu punya batas.

Motor saya baru jalan beberapa ratus meter dari kantor, vertigo yang sudah hampir terlupakan, mendadak kambuh. Saya buru-buru menepi, turun dari motor, dan terjatuh di pinggir jalan.

Berdasar pengalaman sebelumnya, kalau vertigo sudah menyapa, berarti saya sudah melampaui batas. Sedikit lagi dipaksa, akan ada bom waktu meledak. Saya sempat panik, dan nyaris berteriak minta tolong, sebelum sadar, saya berada di persawahan yang sepi.

Mau dibilang kesasar sebenarnya enggak juga. Rute ini sering saya lewati manakala saya bosen melalui jalan aspal. Celakanya, terlalu panik membuat saya lupa, di dalam tas ada dua telepon seluler. Biasanya, sampai jam 5 beberapa orang masih ngobrol-ngobrol di kantor. 

Setelah dunia sedikit tenang, saya memutuskan balik ke kantor. Tapi, baru jalan beberapa meter, terdengar teriakan sangat keras. Awalnya saya sangka Gembul  mendadak muncul. Ternyata saya dibentak pengendara motor lain yang nyaris nabrak, lantaran saya limbung. 

Setiba di kantor, ternyata sudah sepi. Penjaga malam pamit telat, sementara saya tidak bawa kunci. Gembul memberi saran, titip motor ke tetangga sebelah, tapi entah kenapa saya malah merasa seperti mendapat tantangan.

"You can if you think you can," seru saya pada diri sendiri.

"WOOOEEYYYYY." Teriakan Gembul melengking ketika saya mulai ngegas motor.

Perjalanan pulang sejauh enam kilometer berubah jadi medan drama. Klakson bertalu-talu, teriakan dan makian bercampur dengan ngantuk dan tubuh yang terus berontak.

Akhirnya saya nyungsep di pinggir jalan.

Sesaat terjadi pertarungan seru di kepala, antara keinginan nekad jalan terus atau titip motor di pos jaga perlintasan kereta, tidak jauh dari tempat saya berhenti.

"Kalau pengin bunuh diri bukan begini caranya. Sebentar lagi kereta api lewat, tabrak noh!" Gembul mulai gusar.

Tak lama kemudian kereta api beneran lewat. Tentu saja saya tidak punya nyali nabrak. Selain masih pengin hidup, saya justru khawatir hanya lecet saja di hidung ditambah separo badan ambyar. Apa enaknya hidup dengan keadaan seperti itu?

"Oke, baik, kerjakan saja sesuka hatimu, SUPERMAN!" Gembul mulai kalap ketika akhirnya saya memaksa jalan lagi.

Sebelum berangkat, saya atur napas terlebih dahulu. Tarik panjang, masuk sampai perut, tahan, lalu hembuskan pelan, lebih lama ketimbang saat narik. Saya lakukan beberapa kali. Gak ngaruh apa-apa, tapi setidaknya membuat saya sedikit lebih tenang.

Saya konsentrasi penuh ke jalan dengan satu pikiran, selamat sampai di rumah dan tidak ngrusuhi orang lain.

Malamnya saya tidur lebih cepat. Selesai makan langsung rebahan dan pules sampai menjelang subuh. Bangun masih seperti biasa, ngantuk, dan sekujur tubuh berasa remuk. Tapi saya tetap keluar, dan seperti biasa, cuci piring dilanjut nyapu halaman. 

 Lalu Gembul muncul lagi.

“Kamu baik-baik saja?”

“Enggak. Tapi aku masih hidup. Kemarin ada banyak momen yang bisa membuat aku mati, tapi sampai pagi ini Tuhan masih kasih aku hidup. Pasti Tuhan bakal tunjukkan cara untuk menghadapi semua masalahku.”

Niat saya biar Gembul sedikit tenang, tapi sebenarnya saya juga sedang berusaha menguatkan diri sendiri. 

(bersambung)


03 Maret 2023

Ketika Hari Biasa Terasa Aneh


Yang Ini Nyomot dari Google

Hari ini, seperti biasa, saya bangun dengan semangat … untuk tidur lagi. Tapi hidup tidak semudah menekan tombol snooze di alarm HP. Jadi saya memaksa diri bangkit dari kasur dengan niat mulia, hari ini harus produktif! 

Awalnya semua berjalan normal. Sarapan, walaupun dengan menu seadanya, mengikuti petunjuk diet, mandi pakai air yang sukses membuat saya sadar bahwa hidup ini keras, dan mulai beraktivitas dengan langkah mantap. Sampai akhirnya saya sadar satu hal penting, sandal yang saya pakai beda sebelah.

Lebih lucunya lagi, saya baru sadar setelah sekitar satu jam keluyuran di Jogjatronik Mall, sambil merasa ada yang “tidak beres dengan langkah hidup ini.” Ternyata bukan nasib yang berat, tapi sandal yang tidak serasi.

Spontan saya tolah-toleh, berharap tidak ada satupuun yang tahu. Tapi malah membuat embak-embak penjaga toko tersenyum. Akhirnya terpaksa ambil jurus cuek. Bodo amat.  Saya ambil sisi positifnya saja, saya sedang  menciptakan tren sandal baru.

Intinya, hari ini tidak ada yang terlalu spesial, kecuali kejadian yang bikin saya mikir, “Hidup kadang absurd, tapi ya sudahlah.” Karena justru dari hal-hal kecil, saya bisa ketawa—meski cuma bersama diri sendiri.

Kalau Anda sampai di sini, terimakasih untuk waktu Anda, semoga setidaknya tulisan ini bisa bikin senyum sedikit. Sampai jumpa di curhatan berikutnya, yang mungkin lebih kacau (atau lebih lucu).


Disiplin, Teman yang Dulu Sering Saya PHP

Setelah memutuskan untuk restart hidup —dengan semangat baru, rematik lama, dan impian yang (ajaibnya) masih hangat—saya sampai pada satu kesimpulan penting, Saya punya masalah serius dengan disiplin.

Saya tahu, disiplin itu baik dan perlu. Bahkan saya pernah menulis tentang pentingnya disiplin di kertas warna-warni yang saya tempel di cermin kamar mandi. Kenyataannya, hidup saya lebih sering berjalan dengan prinsip legendaris, “Kalau bisa nanti, kenapa harus sekarang?”

Saya Punya Jadwal, Tapi Tidak Saya Baca

Pernah suatu masa, saya begitu termotivasi, sampai membuat jadwal harian secantik peta harta karun. Ada blok-blok waktu warna-warni: "Bangun jam 4 pagi! Jalan pagi! Nulis 1.000 kata sebelum sarapan!"

Realitanya, sampai jam 6 pagi saya masih tenggelam dalam dialog batin dengan bantal. Jalan paginya bergeser jadi jalan ke dapur. Nulis blog? Ya... itu rencananya, ngopi dulu lah. 

Sambil ngopi, buka medsos, lalu bilang ke diri sendiri, "Nanti juga nulis kok."

Disiplin ternyata bukan hanya soal niat, tapi, terutama, menyangkut komitmen, dan kebiasaan

Kepala Mau, Badan Wegah

Ada saat di mana saya duduk serius, menatap kalender digital, lalu membatin dengan penuh tekad: "Mulai sekarang aku akan disiplin, hidup harus teratur!"

Lima menit kemudian ......

Saya sudah tergoda cek Facebook, menyapa teman di WhatsApp, atau mendadak merasa sangat penting untuk menyortir foto-foto tahun 1992. Pokoknya semua dikerjakan—kecuali yang seharusnya.

Saya jadi punya pikiran, membiasakan disiplin mirip ngajari kucing berenang. Mungkin bisa, tapi butuh kesabaran, waktu, dan sedikit bonus cakaran.

Mulai dari Hal Sepele (Tapi Konsisten)

Akhirnya, saya ganti taktik. Daripada pasang target produktivitas level CEO, saya mulai dari hal kecil dan gampang dilakukan:

  • Bangun tepat jam 4. Kalau masih ngantuk, ya minimal bangun. Setelah itu mau bengong di tempat tidur juga nggak apa-apa.
  • Menulis satu paragraf setiap hari. Walaupun sebenarnya lebih pantas disebut curhat kepada keyboard.
  • Minum air putih menggantikan kopi. Ini masih berjuang, tapi saya sudah belajar tidak menangis saat melihat iklan kopi di TV.

Setelah bisa sehari, saya ulangi. Lagi dan lagi. Prinsipnya: lakukan meski malas, meski wegah, meski rematik ikut demo.

Tapi...

Begitu strategi kecil ini saya coba terapkan ke target lain, seperti tidur malam tepat waktu, semuanya bubar jalan. Jadwal tidur jam 9 malam selalu gagal total karena banyak “urusan penting.” Biasanya urusan pekerjaan. Atau video lucu di YouTube. Tapi saya suka menyebut semuanya "kerja."

Sering saya berpikir, andai bisa ikut pelatihan ala militer, yang dibangunin pakai gedoran dan teriakan, disuruh push-up kalau ngantuk. Karena jujur saja, saya butuh seseorang seperti almarhumah ibu saya dulu. Tegas, galak, tapi efektif.

“Harus orang lain? Tidak bisa kamu sendiri yang melakukannya?”

Itu suara Gembul—teman imajiner saya yang selalu muncul kalau saya mulai banyak ngeles.

Sambil menimang kaleng Coca Cola, dia bilang, “Kalau kamu tidak bisa disiplin sendiri, semua pencapaianmu hanya numpang sukses. Bahkan usaha rental mobil, satu-satunya sumber penghasilan  yang masih tersisa, tetap bertahan semata-mata berkat keteguhan partnermu. Kalau dia pergi, kamu bisa ambruk kapan aja.”

Glek!!!!!

Pahit memang.

Disiplin sejati bukan tentang mematuhi aturan orang lain, tapi patuh pada aturan yang kita buat sendiri.

“Jadi, Apa Rencanamu, Pak Tua? Disiplin itu bukan soal berubah drastis, tapi soal berlatih konsisten meski pelan, dan meski sering jatuh.”

Saya menatap Gembul. Seperti biasa, berharap dia punya satu saja saran jitu, cara menjadi komandan atas diri sendiri. Tapi sebelum saya sempat membuka mulut, dia sudah keburu menghilang, entah ke mana. Mungkin kembali ke dunia kaleng Coca Cola.

Sebagai gantinya, saya berhadapan dengan teman imajiner lain. Sosoknya tidak jelas, tapi saya sering membayangkan dia mirip kembaran Hellboy. Kali ini dia muncul dengan wajah tua, mengenakan sarung dan  sebatang rokok terselip di telinga.

“Bangun jam 4 pagi, lalu cuci piring!” lanjutnya tegas, tanpa menunggu jawaban.

Menurut dia, secara sukarela menyelesaikan pekerjaan remeh—yang tidak akan menimbulkan resiko apa-apa kalau ditunda—adalah cara paling dasar melatih kemauan.

“Kamu tidak akan pernah bisa disiplin kalau tidak punya kemauan!”

Logikanya masuk akal. Maka tanpa pikir panjang, saya mengangguk. Sepakat.

Keputusan yang ternyata sangat prematur.

 

Cuci Piring Jam 4 Pagi Ternyata Misi Berat

Teorinya sederhana, bangun jam 4 pagi, lalu cuci piring. Prakteknya lebih mirip misi rahasia di film mata-mata, penuh tantangan, jebakan, dan keringat dingin.

Di malam sebelumnya saya harus mengkarantina semua perlengkapan makan dan masak, mencegah tamu tak diundang seperti tikus dan kecoak datang berpesta tengah malam. Itu berarti, setelah makan malam selesai, saya harus ekstra rapi. Padahal biasanya, semua dibereskan oleh anak. Sementara saya mengerjakan tugas berat lain, rebahan dan menatap plafon sambil berfilosofi.

Paginya, misi dimulai. Dapur saya sempit, dan tempat cuci piring letaknya di luar. Jadi untuk membawa semua peralatan kotor itu, saya harus mondar-mandir 3–4 kali. Kadang sambil ngucek mata. Kadang sambil mengeluh dalam hati, “Kenapa saya setuju ide konyol ini kemarin?”

Barang yang harus dicuci sebenarnya tidak banyak. Tapi karena udara dingin pagi bercampur rasa ngantuk, ditambah gangguan bisikan, “Nanti saja dilanjutkan, bikin kopi dulu,”—semua jadi molor.

Dan tentu saja, setelah jeda subuh, saya tergoda untuk berhenti sejenak. Tapi ternyata, sejenak itu berubah jadi lama. Akhirnya piring baru bersih semua sekitar jam tujuh.

Hellboy Tua Ternyata Serius

Hellboy versi tua tidak main-main. Besok paginya, ketika jam 4 sudah lewat, dan saya masih ketap-ketip di kasur, dia berteriak keras. Gayanya persis komandan militer yang marah melihat prajurit bangun kesiangan.

Meskipun dia cuma sosok imajiner, tapi suaranya yang nyaring terdengar tegas dan  jelas di kepala.

Refleks saya bangkit. Setengah sadar, saya loncat dari tempat tidur, buru-buru keluar kamar. Karena masih ngantuk berat, saya langsung nyungsep, kejedot pintu kamar.

Teriakan setan merah itu makin menjadi-jadi. “Kalau masih pengin kejedot, ada dua pintu lagi! Coba pakai sprint biar jedotannya mantep!!!”

Sambil memegang jidat yang mulai benjol, saya jalan sempoyongan menuju meja makan. Seperti biasa, rutinitas pagi saya awali dengan segelas air putih hangat.

Tapi pagi itu, kombinasi ngantuk dan kepala nyut-nyutan membuat saya lupa satu langkah penting, cek suhu air. Setelah menuang air ke dalam mug, langsung saya seruput.

Bibir serta lidah saya serasa terbakar.

“Panas ya? Kasih air es, biar dingin!” katanya dengan nada mengejek.

Saya sudah kesal, reflek membalas, “Mending kamu jadi ayam saja, biar enggak cerewet!”

Entah kenapa, kalimat itu malah membuat wujudnya berubah jadi durian, buah yang paling dia benci.

Tentu saja akhirnya saya jadi korban. Sepanjang hari durian cerewet itu merengek-rengek minta dikembalikan ke wujud semula. Sudah saya coba berbagai cara. Gagal semua. Saking putus asanya, saya sempat nekat membayangkan ... Sora Aoi.

(Ya, itu pun tidak berhasil. Malah jadi bumerang.)

🙈 Yang sudah tahu siapa itu Sora Aoi, .... tolong jangan ketawa. Yang belum tahu, lupakan saja. Anggap saya sedang keseleo pikiran.

Hellboy tua—yang akhirnya kembali ke wujud semula— menari-nari kegirangan.

"Bagaimana caramu bisa balik?"

"Kamu gagal karena berusaha terlalu keras. Aku bisa kembali setelah pikiranmu tenang."

Tenang? Jadi, keliru membayangkan tadi membuat pikiran tenang? Teori dari mana itu?

"Teori cara mengatasi ngantuk, pegel-pegel, dan capek."

"Maksudmu, membayangkan dia bisa—"

"HEEEYYYYY! JANGAN BERLAGAK BEGO!" dia langsung ngegas. "Terlalu fokus pada masalah bikin pikiran tegang. Tidak ada hubungannya dengan dia, kecuali kamu sengaja cari masalah baru."

Tanpa dicari pun, masalah datang sendiri. Ngapain juga repot-repot nambah?

Saya masih terus belajar. Kadang gagal, kadang... gagal lagi. Tapi saya percaya satu hal, Disiplin bukan soal berubah drastis, tapi soal berlatih konsisten meski pelan, dan meski sering jatuh. 

Sekarang saya belajar untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri. Disiplin bukan berarti jadi robot. Tapi punya arah. Punya tujuan, dan cukup sayang pada diri sendiri untuk melakukan hal yang baik, walau kadang tidak enak.

Saya tidak ingin lagi hidup asal mengalir. Karena kadang, yang mengalir itu bukan rejeki, tapi waktu yang terbuang.

Jadi, buat siapa saja (dan saya juga tentunya) yang sedang belajar disiplin, ingat, “Disiplin bukan soal sempurna. Tapi soal tetap mencoba, bahkan saat ingin menyerah dan rebahan.”

 


01 Maret 2023

Lansia Reborn

Katanya, hidup dimulai umur 40. Tapi saya pikir, hidup saya baru benar-benar mulai setelah 60.

Saya pernah sibuk—sangat sibuk. Berangkat pagi, pulang larut, dan tentu saja mendapatkan hasil besar.

Hidup saya ibarat mobil yang melaju di jalan tol. Ngebut, dan hanya berhenti sebentar, sekedar istirahat. Sampai kemudian, tiba-tiba, mogok. Lalu, seperti sudah janjian sebelumnya, semua berubah dalam waktu bersamaan. Bermula dari gangguan kesehatan ringan, karena agak saya abaikan, kemudian menjadi serius. Bukan hanya menggerogoti fisik, tapi juga menggerus funansial.

Dengan kondisi kesehatan yang bisa dibilang "meriah sedikit berisik", dan finansial pas-pasan, saya memutuskan, harus bangkitMeskipun saya tahu, tidak akan mudah. Apalagi kalau langkahnya harus hati-hati, menyesuaikan dengan tekanan darah yang naik turun seperti roller coaster, dan trigliserida yang sering unjuk gigi .

Waktu masih muda, jatuh tinggal bangun. Sekarang? Jatuh bisa jadi konten viral plus rujukan ke fisioterapi.

Tapi justru di situlah tantangannya. Saya sadar, sekarang bukan lagi masanya adu cepat. Juga bukan mengejar yang sudah lewat. Tapi tentang keberanian untuk berkata pada diri sendiri, “Saya masih di sini. Saya masih mau mencoba.”

Walau lambat dan tertatih, saya tetap melangkah. Karena diam di tempat lebih menyakitkan. Duduk terlalu lama bikin pinggang protes, berdiri kelamaan dengkul ikut orasi. Jadi, lebih baik bergerak pelan-pelan sambil bawa minyak kayu putih dan semangat hidup.

Masalah finansial, jangan ditanya. Meskipun dulu kuliah di fakultas Teknik jurusan Sipil, ujian saya justru tidak pernah lepas dari ekonomi. Sekarang saya sedang magang di jurusan “hemat sambil tetap waras.” Rasanya seperti diet. Bedanya,  bukan makanan yang dikurangi—melainkan belanja online dan langganan streaming yang jarang ditonton.

Percaya atau tidak, selama perjalanan yang sedikit ngeri-ngeri sedap itu, saya menemukan pemahaman baru. Ternyata, hidup  bukan tentang punya segalanya, tapi tentang bisa tersenyum dengan apa yang ada (meski kadang senyumnya sambil nyengir nahan dengkul yang nyeri).

Gangguan kesehatan menjadi teman seperjalanan. Kalau tubuh ini ibarat rumah, sudah banyak bagian yang butuh renovasi. Ya sudah, diterima saja. Saya ajak ngobrol rematik dan trigliserida seperti teman lama. "Hari ini kita santai dulu ya, jangan cari ribut."

Yang penting, saya bisa mulai jalan lagi. Dari awal yang tidak nyaman, dari titik yang kadang membuat ingin menyerah. Tetap saya jalani, karena saya percaya, setiap langkah kecil, meski pelan dan gemetar, tetap lebih baik daripada tidak bergerak sama sekali.

Kalau perjalanan hidup saya dibuat sinetron, mungkin  judulnya: “Lansia Reborn”. 

Jadi, buat kamu yang mungkin merasa “sudah terlalu tua” atau “sudah terlambat”—hei, saya di sini, 60 tahun lebih, pernah (dan sedang) ada di titik itu, dengan lutut yang lebih meriah ketimbang konser heavy metal.

Hidup bukan lomba lari cepat. Lebih mirip jalan pagi di taman. Yang penting, nikmati tiap langkah, dan hirup udara segar. Dengan semangat baru, humor receh, dan sebotol minyak angin.

Kita jalan bareng. Pelan saja, tapi pasti. “Jangan takut memulai ulang. Kali ini kita bukan mulai dari nol. Kita mulai dari pengalaman.”