Kamar di bagian belakang rumah, tempat saya dulu menjalani
karantina covid mandiri, sekarang berubah menjadi gudang yang berantakan. Saya
tidak ingat lagi kapan mulai seperti itu. Mungkin sejak istri saya di rawat di
rumah-sakit.
Mumet mikir kondisi istri, capek setahun lebih mondar-mandir
ke rumah-sakit, bercampur dengan bibit malas yang mendapat alasan untuk tumbuh,
menyebabkan saya merasa baik-baik saja, bahkan setelah kekacauan itu merembet
ke luar kamar. Sering muncul keinginan untuk menata ulang, tapi niatan itu
tidak pernah saya laksanakan.
Saya tidak bisa menyalahkan istri atau anak. Selain sejak
dulu beres-beres rumah adalah tanggung-jawab saya, mereka justru selalu
berusaha membereskan, tapi aura malas, ceroboh dan seenak udel saya lebih
dominan, sehingga keadaan selalu kembali berantakan.
Dalam program menata diri yang sedang saya jalani,
sepertinya ada sudut kecil di otak saya yang belum tersentuh. Diantara
perjalanan yang mulai lancar, tersisa beberapa sisi yang masih berusaha
mempertahankan “selera asal”. Terlihat jelas dari meja kerja saya yang selalu
kembali berantakan hanya beberapa saat setelah dirapikan.
Suatu hari istri saya usul ngecat ulang tembok kamar itu.
Spontan otak saya memberi reaksi, “Temboknya masih kelihatan bersih, kenapa
harus dicat ulang?”. Tapi pikiran waras saya justru melihatnya sebagai
tantangan halus—bukan sekadar mengecat kamar, melainkan menangani sudut kecil
di otak yang selama ini saya abaikan.
Seperti biasa, langsung terjadi perdebatan sengit di kepala.
“Nanti akan merembet menjadi bongkar-bongkar seisi rumah. Meskipun kamu bisa
menyuruh orang, tetap saja akan kebagian capek. Kondisi fisikmu tidak seperti
dulu lagi. Kamu butuh banyak istirahat.”
Peringatan yang sangat masuk akal. Setiap hari sepulang
kantor, sekedar menahan tidak rebahan saja butuh usaha keras. Apa jadinya kalau
masih harus ikut beres-beres rumah? Masalahnya, kalau tidak dikerjakan
sekarang, mau kapan lagi?
Seseorang pernah berkata, manakala diri sendiri mulai tidak
yakin, saat itu saya sedang berada di titik kritis. Semakin kuat saya berusaha
meyakinkan diri sendiri, justru membuat peluang berhasil semakin tipis. Sementara
kalau jalan terus sambil membawa keraguan, sama saja mengaku sudah kalah
sebelum mulai.
Untuk sesaat saya merasa sedang jadi rebutan antara dua
kutub yang saling berlawanan. Antara jalan terus, mengikuti keinginan atau
menerima kenyataan kalau saya memang tidak akan mampu.
Atau, mungkin ada pilihan lain, jalan terus tanpa perduli
apapun bisikan di kepala?
Akhirnya saya memilih setuju saran istri, sambil tidak
perduli pada apapun suara yang kemudian muncul. Tidak memberi perhatian pada
peringatan yang menjadi semakin gencar, tidak juga perduli pada suara
penyemangat yang merasa mendapat angin.
Urusan ngecat dikerjakan oleh tukang. Saya kebagian bersih-bersih
dan menata ulang isi kamar. Sepulang dari kantor, tanpa mikir lagi, setelah
ganti baju, langsung mulai beres-beres.
Sore pertama saya hanya mampu bertahan sekitar 1 jam. Terpaksa
berhenti ketika pinggang dan kaki mulai kram. Jam 8 malam sempat saya coba
melanjutkan, tapi hanya kuat beberapa menit sebelum kramnya kambuh.
Sore kedua saya mulai dengan cara sedikit beda. Saya tidak
pasang target seperti sebelumnya. Saya tidak lagi perduli apakan pekerjaan ini
akan rampung seminggu atau setahun. Ketika capek dan pegel terasa mulai
mengganggu, saya segera istirahat, sekedar minum, ngemil atau nonton Youtube.
Ternyata saya mampu bertahan sampai jam 8 malam tanpa kram. Pegel dan capek
juga hanya seperti biasa. Lumayan mengganggu, tapi tidak protes
Peringatan otak saya beneran terjadi. Hari ke tiga, setelah
kamar rapi, giliran ruang lain dibuat berantakan. Saya sendiri yang kemudian pengin
seluruh rumah di cat ulang. Artinya saya tidak hanya berurusan dengan rak buku,
lemari kecil dan container plastik. Ada beberapa lemari kayu yang besar dan
berat yang harus digeser atau dipindah.
Peringatan peringatan lain bermunculan. Lebih sering dan
bersuara lebih keras. Mirip banjir bandang, melanda kepala, nyaris tanpa henti.
Saya tahu, sebagian besar peringatan itu benar, tapi saya biarkan berlalu
begitu saja.
Saya juga tidak perduli ketika kemudian muncul tantangan
keras, “Oke, kita lihat bagaimana caramu menangani lemari-lemari itu!”.
Tidak perduli bukan berarti mengabaikan. Lemari lemari itu
membawa resiko yang nyata. Kesulitan yang bakal saya hadapi tidak bisa
diselesaikan hanya dengan menganggapnya tidak ada. Tidak juga melalui afirmasi, meyakinkan diri, “Pasti bisa”.
Tantangan itu saya terima sebagai peringatan, tapi tidak saya tanggapi. Seperti
berada di aliran sungai, saya hanya perlu menghindar setiap kali ada batang
kayu atau sampah melaju ke arah saya, sambil tetap waspada terhadap resiko
selanjutnya.
Tentu saja saya tidak akan menyuruh anak dan istri ikut
ngangkat dan mendorong lemari. Saya hanya minta dibantu memasang roda-roda
kecil di bawah kaki lemari. Saya juga tidak perlu buang tenaga ngangkat lemari
sendiri. Saya menggunakan tuas sekedar untuk membuat satu demi satu kaki lemari
sedikit terangkat. Tuas dan roda-roda itu awalnya tidak pernah terpikirkan. Fotonya
muncul begitu saja di layar HP saat saya sedang istirahat sambil nonton
Youtube.
Saya rasa, kalau kita mengerjakan sesuatu dengan kondisi
pikiran santai, tidak membiarkan target menjadi beban, tidak membiarkan pikiran
tersandera oleh rasa kuwatir, tubuh akan memberi toleransi melebihi
kemampuan yang semula kita anggap
sebagai batas. Otak pun bekerja lebih kreatif, menghadirkan solusi yang
sebelumnya bahkan tidak terpikirkan.
Kadang hidup mirip kamar yang berantakan. Kita menunda-nunda
menyelesaikan masalah, berdebat dengan diri sendiri, sampai akhirnya sadar,
tidak ada waktu yang benar-benar “tepat.” Yang perlu dilakukan hanya segera
mulai, dan biarkan segala sesuatu mengalir dengan sendirinya.