Pertama kali kena gampar pajak tahun 2013, saya marah berkepanjangan. Di saat kondisi finansial pas-pasan, membaca angka 500 juta yang tertulis di surat, membuat saya merasa dikerjain – padahal sebenarnya, kalau mau sedikit cermat membaca, angka yang semula saya anggap sebagai tagihan ternyata hanya selisih omset selama 3 tahun yang diminta klarifikasinya.
Kemarahan kali itu ternyata bukan hanya menyebabkan nalar
mampet dan otak kusut, tapi sekaligus nggampar mental. Collateral damagenya
luar biasa, sampai dokter yang rutin memantau kesehatan saya memberi saran
supaya saya konsultasi ke psikolog.
Uniknya, saya mendapat solusi untuk mengurai otak yang
sedang kusut berat justru dari driver rental yang kebetulan saya temui di
bandara. Entah kenapa, driver senior ini tiba-tiba mendekat, lalu bertanya,
kenapa tampang saya seperti orang kalah judi. Biasanya saya tidak suka
ditanya-tanya seperti itu, cuma kali itu, merasa harus menghormati orang yang
sudah terlihat lanjut usia, saya basa-basi menjawab, “Mumet digampar pajak
Berhubung penumpang yang dijemput sudah muncul, dia hanya
sempat memberi satu saran pendek: Untuk mengatasi stress, saya disarankan
merawat tanaman atau binatang.
Barangkali lantaran terlalu suntuk mikir hidup yang semakin
ruwet, saran itu kemudian saya turuti.
Di rumah, anak dan istri terbiasa memberi makan
kucing-kucing liar. Awalnya saya keberatan. Anggaran makan kucing lebih dari
500 ribu sebulan. Tapi setelah menjalani, saya merasa beban di kepala jadi lebih
ringan. Lama-lama saya ikut senang. Bahkan akhirnya bukan hanya memberi makan, tapi juga rela
keluar duit, membayar biaya dokter untuk kucing-kucing yang sakit.
Padahal, gara-gara kesehatan terganggu, penghasilan utama
saya jadi mampet. Masih ada rental mobil, tapi saat itu, sekedar untuk nutup
biaya perawatan medis saja hasilnya belum memadai. Apalagi ditambah ngopeni
anabul liar dan merawat tanaman yang ternyata tidak murah. Tapi perasaan lega
dan merasa lebih waras secara mental memberi saya motivasi untuk “hidup kembali.
Meskipun tidak secara langsung membantu menyelesaikan
masalah, merawat tanaman dan binatang, bersama aktifitas rutin menulis, membuat
saya lebih tahan banting. Tidak gampang emosi dan lebih mudah mengurai masalah.
23 Januari lalu umur saya genap 63 tahun. Sebelumnya saya
tidak pernah menganggap ulang-tahun sebagai momen istimewa, kali itu sedikit
beda. Sejak melek jam 3 dinihari, pikiran saya terusik oleh kilas balik
berbagai kejadian yang pernah saya alami, terutama ketika saya mengalami
depresi 10 tahun lalu.
Tidak bisa saya ingkari, tanaman dan kucing punya andil
besar menyelamatkan saya dari banyak tekanan mental.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah hanya sekedar sugesti,
atau memang beneran ada alasan tertentu?
Seperti biasa, saya ambil kertas dan pena, lalu mulai
corat-coret, menuliskan apapun yang membuat saya penasaran.
Setelah beberapa hari, saya mulai mendapat jawabnya.
Merawat makhluk hidup sepertinya menciptakan seragkaian
perubahan positif dalam tubuh, pikiran dan perasaan. Paling tidak untuk sesaat
mengalihkan dari pikiran negatif dan rasa tidak nyaman.
Gangguan kesehatan yang menjadi serius membuat pikiran
gampang terjebak dalam kecemasan. Merawat makhluk hidup memaksa saya sering
fokus keluar, harus selalu ingat untuk memberi makan kucing dan menyiram
tanaman. Aktifitas ini sepertinya memberi kesempatan otak untuk istirahat
sejenak.
Rutinitas merawat menciptakan struktur harian yang sederhana
dan mudah dikelola. Melatih otak untuk kembali aktif secara terarah. Di samping
itu, melihat tanaman tumbuh subur, dan kucing-kucing gemuk yang lincah membantu
melawan perasaan tidak berdaya yang semula sangat dominan.
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa solusi seringkali datang
dari tempat yang tak terduga. Bukan dari obat mahal atau nasihat motivasi yang
bombastis, tetapi dari tindakan sederhana. Memberi tanpa berharap mendapat
balasan.