Calon donor darah yang saya siapkan akhirnya batal. Darah untuk transfusi sudah disediakan oleh rumah-sakit.
Malam sebelumnya, ketika mendengar saya butuh donor, salah satu teman cepat memberi respon, bahkan saat ketemuan sudah mengajak serta 3 orang. “Mereka sehat, tidak kena covid, tidak merokok, dan tentu saja tidak minum, apalagi ngoplo. Kamu harus selektif terhadap calon donor”
Terimakasih ada yang mikir sampai sejauh itu, meskipun saya tidak tahu apakah kebiasaan merokok berpengaruh terhadap kualitas darah.
“Di rumah-sakit mana?” salah satu bertanya
Setelah saya sebut nama rumah-sakitnya, yang lain menyela, “Loh, rumah-sakit itu menerima pasien BPJS?”
“Tidak tahu, saya biaya sendiri.”
Tidak nyangka, jawaban itu kemudian membuat suasana jadi tidak nyaman bagi saya.
Seseorang yang sejak awal hanya diam tiba-tiba menyela dengan suara nyaring, “Pak Doel tidak punya BPJS? Waaaahhhhh, bagaimana sih pak. Kalau sudah begini
Tanpa minta persetujuan, orang itu langsung telepon. Entah siapa yang dihubungi, tapi dari omongan dia dan suara dari seberang
“Maaf mas,” saya menyela, “Sejak awal ada BPJS, kami sudah terdaftar.”
Orang itu berhenti bicara di telepon, menoleh kearah saya, memandang dengan tatapan yang terasa embuh gitu, sebelum kemudian bertanya, “Kenapa tidak dipakai?”
Perasaan saya mulai tidak enak. Saya tidak suka orang terlalu kepo pada urusan pribadi.
“Dokternya menyarankan radiasi dulu …….”
Belum selesai saya bicara, keburu dipotong, “Biopsi belum dikerjakan, dokter sudah menyarankan radiasi? Aneh!!!”
Kebiasaan, langsung main tuduh.
Teman saya ikut nibrung, “Sekarang orang sakitpun jadi lahan bisnis.”
“Itu rencana yang ditawarkan dokter seandainya nanti positif. Aku boleh tidak setuju.”
“Akhirnya nanti pasti radiasi!” Yang lain ikut menyela.
“Kenapa harus radiasi duluan? Biasaya radiasi dikerjakan paling akhir, itupun pasien boleh nolak.”
“Maaf, sekarang kita bahas darahnya saja.” Saya berusaha mengalihkan pembicaraan.
Tapi ada yang ngeyel, “Memangnya kalau BPJS tidak bisa radiasi duluan?”
“Saya tidak tahu ……”
“Kenapa tidak tanya BPJS?”
Beh, kampret! Saya sampai sesak nafas, menjaga supaya karakter keras saya tidak nyeplos. “Sebentar mas, beri kesempatan saya bicara.”
“Oke, silakan. Saya heran saja, ada yang gratis, malah pilih bayar.”
Tapi mereka tidak kunjung diam, malah seakan berebut saling komentar. Saya diam sampai kemudian teman saya sadar, saya tidak suka.
“Apakah kamu merasa kualitas pelayanan BPJS kurang bagus?”
“Bukan masalah kualitas …….”
Ada yang nyela lagi, “Bagus lho pak. Ayah saya sudah 2 tahun pakai BPJS.”
“Maaf bapak-bapak, saya tidak punya masalah dengan BPJS, sebaiknya tidak perlu dibahas lagi.”
Supaya tidak membuat saya jadi pengin makan orang, akhirnya saya putuskan batal minta bantuan mereka dengan alasan rumah-sakit sudah menyediakan darahnya.
“Kenapa kamu tolak? Niat kami baik.”
“Aku tidak suka orang mencapuri urusan pribadiku.”
“Kami cuma tanya, kenapa kamu anggap mencampuri urusan pribadi?”
“Kalau tanya, beri kesempatan aku menjawab.”
“Oke, baik. Aku siap mendengar jawabanmu.”
“Kalau memang benar ada kanker, di rumah- sakit yang sekarang radiasi bisa segera dilakukan. Sementara kalau pakai BPJS, istri temanku dulu harus antri sampai setahun. Aku tidak mau ambil resiko kankernya keburu ke mana-mana seandainya istriku juga harus ngatri lama.”
“Semua kan ada hitungannya. Pasien juga banyak, sementara fasilitasnya terbatas. Kamu terlalu ketakutan.”
“Boleh kan kalau aku memilih tidak ngantri?”
“Tidak ada yang melarang, tapi aneh saja, ada yang gratis, kamu malah milih bayar. Yakin kamu mampu?”
“Mampu atau tidak, urusan belakang. Menurut firasatku, radiasi dulu lebih cocok untuk kondisi istriku sekarang.”
“Kamu pikir radiasi tidak ada resikonya, dan pasti bisa membuat istrimu sembuh?”
“Tidak ada kata sembuh untuk kanker, hanya ada remisi, ngulur umur. Dan setiap terapinya membawa resiko tidak ringan.”
“Nah, itu kamu tahu. Kenapa tidak herbal saja? Tanpa efek samping!”
“Aku sudah mengambil keputusan, tolong jangan direcoki.”
“Oke, meskipun kamu ngeyelan, aku tetap ikhlas jadi donor.”
Gantian saya yang wegah.