30 November 2022

Ketika Teman Terlalu Perhatian

Calon donor darah yang saya siapkan akhirnya batal. Darah untuk transfusi sudah disediakan oleh rumah-sakit. 

Malam sebelumnya, ketika mendengar saya butuh donor, salah satu teman cepat memberi respon, bahkan saat ketemuan sudah mengajak serta 3 orang. “Mereka sehat, tidak kena covid, tidak merokok, dan tentu saja tidak minum, apalagi ngoplo. Kamu harus selektif terhadap calon donor”

Terimakasih ada yang mikir sampai sejauh itu, meskipun saya tidak tahu apakah kebiasaan merokok berpengaruh terhadap kualitas darah.

“Di rumah-sakit mana?” salah satu bertanya

Setelah saya sebut nama rumah-sakitnya, yang lain menyela, “Loh, rumah-sakit itu  menerima pasien BPJS?” 

“Tidak tahu, saya biaya sendiri.”

Tidak nyangka, jawaban itu kemudian membuat suasana jadi tidak nyaman bagi saya.

Seseorang yang sejak awal hanya diam tiba-tiba menyela dengan suara nyaring, “Pak Doel tidak punya BPJS? Waaaahhhhh, bagaimana sih pak. Kalau sudah begini kan jadi repot. Pengobatan kanker itu mahal lho pak.”

Tanpa minta persetujuan, orang itu langsung telepon. Entah siapa yang dihubungi, tapi dari omongan dia dan suara dari seberang sana yang juga bisa saya dengar, dia minta orang itu membantu ngurus BPJS untuk saya.

“Maaf mas,” saya menyela, “Sejak awal ada BPJS, kami sudah terdaftar.”

Orang itu berhenti bicara di telepon, menoleh kearah saya, memandang dengan tatapan yang terasa embuh gitu, sebelum kemudian bertanya, “Kenapa tidak dipakai?”

Perasaan saya mulai tidak enak. Saya tidak suka orang terlalu kepo pada urusan pribadi.    

“Dokternya menyarankan radiasi dulu …….”

Belum selesai saya bicara, keburu dipotong, “Biopsi belum dikerjakan, dokter sudah menyarankan radiasi? Aneh!!!”

Kebiasaan, langsung main tuduh.

Teman saya ikut nibrung, “Sekarang orang sakitpun jadi lahan bisnis.”

“Itu rencana yang ditawarkan dokter seandainya nanti positif. Aku boleh tidak setuju.”

“Akhirnya nanti pasti radiasi!” Yang lain ikut menyela. 

“Kenapa harus radiasi duluan? Biasaya radiasi dikerjakan paling akhir, itupun pasien boleh nolak.”

 “Maaf, sekarang kita bahas darahnya saja.” Saya berusaha mengalihkan pembicaraan.

Tapi ada yang ngeyel, “Memangnya kalau BPJS tidak bisa radiasi duluan?”

“Saya tidak tahu ……”

“Kenapa tidak tanya BPJS?”

Beh, kampret! Saya sampai sesak nafas, menjaga supaya karakter keras saya tidak nyeplos. “Sebentar mas, beri kesempatan saya bicara.”

“Oke, silakan. Saya heran saja, ada yang gratis, malah pilih bayar.”

Tapi mereka tidak kunjung diam, malah seakan berebut saling komentar. Saya diam sampai kemudian teman saya sadar, saya tidak suka.  

“Apakah kamu merasa kualitas pelayanan BPJS kurang bagus?”

“Bukan masalah kualitas …….”

Ada yang nyela lagi, “Bagus lho pak. Ayah saya sudah 2 tahun pakai BPJS.”

“Maaf bapak-bapak, saya tidak punya masalah dengan BPJS, sebaiknya tidak perlu dibahas lagi.”

Supaya tidak membuat saya jadi pengin makan orang, akhirnya saya putuskan batal minta bantuan mereka dengan alasan rumah-sakit sudah menyediakan darahnya. 

“Kenapa kamu tolak? Niat kami baik.”

“Aku tidak suka orang mencapuri urusan pribadiku.”

“Kami cuma tanya, kenapa kamu anggap mencampuri urusan pribadi?”

“Kalau tanya, beri kesempatan aku menjawab.”

“Oke, baik. Aku siap mendengar jawabanmu.”

“Kalau memang benar ada kanker, di rumah- sakit yang sekarang radiasi bisa segera dilakukan. Sementara kalau pakai BPJS, istri temanku dulu harus antri sampai setahun. Aku tidak mau ambil resiko kankernya keburu ke mana-mana seandainya istriku juga harus ngatri lama.”

“Semua kan ada hitungannya. Pasien juga banyak, sementara fasilitasnya terbatas. Kamu terlalu ketakutan.”

“Boleh kan kalau aku memilih tidak ngantri?”

“Tidak ada yang melarang, tapi aneh saja, ada yang gratis, kamu malah milih bayar. Yakin kamu mampu?”

“Mampu atau tidak, urusan belakang. Menurut firasatku, radiasi dulu lebih cocok untuk kondisi istriku sekarang.”

“Kamu pikir radiasi tidak ada resikonya, dan pasti bisa membuat istrimu sembuh?”

“Tidak ada kata sembuh untuk kanker, hanya ada remisi, ngulur umur. Dan setiap terapinya membawa resiko tidak ringan.”

“Nah, itu kamu tahu. Kenapa tidak herbal saja? Tanpa efek samping!”

“Aku sudah mengambil keputusan, tolong jangan direcoki.”

“Oke, meskipun kamu ngeyelan, aku tetap ikhlas jadi donor.”

Gantian saya yang wegah.



HOME

29 November 2022

Indonesia Bagian Lutju

Sadar bakal butuh biaya banyak, saya hubungi kembali beberapa relasi bisnis yang sudah lama tidak kunjung melunasi hutang mereka. Saya beritahukan kondisi istri saya, dan saya berharap dalam satu bulan ke depan mereka melunasi tunggakan. Ternyata, sampai seminggu kemudian, dari 11 pesan WA yang saya kirim, tidak ada respon sama sekali. Bahkan 2 nomer langsung main blokir.

Spontan saya emosi. Untung segera sadar, marah hanya akan membuat saya bertindak ngawur tanpa perhitungan.

Beberapa tahun lalu ada teman nekad merampas motor gara-gara tagihannya tidak kunjung dibayar. Ujungnya, justru dia berurusan dengan polisi, dituduh melakukan tindak pidana perampasan disertai kekerasan. Akhirnya, tagihan belasan juta amblas begitu saja, diperhitungkan sebagai pengganti biaya pengobatan korban, itupun masih ditambah entah berapa juta lagi.

Di Indonesia, nagih piutang yang nunggak, kepada pribadi apalagi perusahaan, tidak pernah gampang. Tidak jarang saya merasa lebih mirip pengemis minta belas kasihan ketimbang nagih duit sendiri.

Saat mengunjungi rumah salah seorang direktur CV yang mewah dan dijaga 2 satpam (dua lho, total gajinya bisa 7 sampai 8 juta per bulan, sementara tunggakannya cuma 24 jutaan), saya diusir begitu saja oleh satpam, sambil menyampaikan pesan, “Urusan kantor diselesaikan di kantor saja.”  

Bagaimana mau menyelesaikan kalau di kantorpun dia tidak pernah mau ditemui, sementara manajer keuangannya setiap saya tagih selalu ngeles, belum mendapat persetujuan direktur.

Sebelum pulang saya sempat bicara pada satpam, “Asal tahu pak, bosmu utang 24 juta, sudah setahun lebih belum dibayar.” Mereka kaget sesaat, setelah itu meringis. Saya paham. mereka tidak akan percaya. Mana mungkin pemilik rumah mewah dan sederet mobil di halaman parkir punya hutang sekecil itu, tidak dibayar pula. Itulah salah satu sisi lucunya Indonesia.

Kunjungan berikutnya ke rumah seorang kontraktor. Sebelumnya saya menjadi vendor, mensupply berbagai sekrup, lem kayu, dan perlengkapan pertukangan elektronik lain. Pembayaran selalu lancar, kecuali sejak dia mulai main perempuan. Sebenarnya saat itu feeling saya sudah memberi peringatan, tapi saya tidak punya cukup bukti untuk membatalkan kiriman terakhir tanpa resiko dianggap wan prestasi.

Saya ditemui baik-baik, disuguhi makanan kecil dan minum, diajak ngobrol. Ketika saya menyinggung tunggakan, diapun merespon dengan santai. “Mulai bulan depan aku cicil 15 juta per bulan.”

Seandainya beneran dicicil, saya tidak keberatan. Masalahnya, dia pernah janji nyicil 5 jutapun, sampai tahun berganti dua kali, tidak pernah ditepati.

“Aku butuh sekarang, untuk tambahan biaya perawatan istriku.”

“Kalau kamu pakai BPJS kan enggak perlu bingung seperti sekarang.”

Lhah, Kobis! BPJS segala dibawa-bawa.

“Aku nagih tunggakanmu, tidak ada hubungannya dengan BPJS.”

“Jelas adaaaaaa. Pemerintah sudah menyediakan sarana pengobatan gratis, tapi kamu abaikan.”

“Ngene wae, BPJS itu urusanku, kamu bayar saja tunggakanmu sekarang. Sudah 4 tahun.”

“Sabar. Kamu tahu kan, perusahaanku sedang mengalami masalah.  

“Karena hobbymu angon manuk”

Wajahnya berubah tegang. Tersinggung berat. “Aku mau ngapain, bukan urusanmu.” Suaranya meninggi.

Saya balas berteriak,  “Jadi urusanku, karena duitku kamu embat!”

“Oke, oke, oke,” Suaranya kembali lunak, “Kita bicarakan baik-baik. Kita sudah berteman lama, masa iya ribut gara-gara duit kecil?”

“Nah, kamu bisa ngomong cuma kecil. Kenapa molor lama?”

“Sabar bos, sabar ……… minum dulu!”

Tanpa disuruhpun sejak semula saya sudah minum dan ngemil. Terhadap tukang ngeles macam dia, saya mengabaikan tatakrama dan sopan santun. Dudukpun kaki saya angkat di kursi.

“nGene lho bos, istriku sedang sakit ……”

“Istri yang mana?”

Belum sempat dijawab, muncul perempuan muda yang belum pernah saya temui (padahal saya kenal istri dan semua anak-anaknya). Wajahnya kusut, jalan pelan, kelihatan sedang tidak sehat. Dengan suara terbata tapi ketus, minta pengertian saya supaya tidak teriak-teriak. Dia butuh istirahat.

“Tergantung dia, bayar sekarang atau tidak!” Saya tunjuk suaminya – entah suami beneran atau bukan, bodo amat.

Sebelum perempuan itu menjawab, teman saya bicara duluan, “Yang, Yang, kamu di dalam saja, oke? …….” Setelah istrinya masuk, tanpa duduk lagi diapun berkata, “Tahu kan sekarang, aku juga punya pasien?”

Saya jadi punya kesempatan membalas, “Kan bisa pakai BPJS?”

“Istriku tidak tahan ngantri lama …..”

“Tidak mau, bukan tidak tahan. Aleman.”

Teman saya nyaris marah, tapi entah kenapa ditahan, lalu kembali ngajak bicara baik-baik.

“Tolonglah ngerti sedikit …….”

“Terus kapan giliranmu ngerti?”

Tiba-tiba, ada brand new fortuner masuk halaman. Kami di teras, saya bisa melihat apapun yang masuk halaman. Sebelum teman saya berbuat sesuatu, pengendara fortuner sudah meletakkan amplop besar di meja, sambil berkata, “BPKB dan plat nomer kalau sudah jadi mau diantar”

Sayapun nyeletuk, “nGaku gak punya duit tapi beli fortuner, CUK!” Lalu berdiri, dan pergi tanpa pamit. Tidak perduli teman saya teriak-teriak memanggil.

Saya sempat kebelet marah, tapi untuk apa? Tagihan tetap tidak dibayar, malah bikin penyakit. Akumulasi energi marah membawa pengaruh buruk terhadap fisik. Eman-eman badanku. 

Saya memutuskan batal mengunjungi pengutang lain. Ketimbang nanti jengkelnya numpuk, malah membuat otak saya mampet, mending fokus mikir perawatan Yuni saja.  Para penunggak itu bukan tidak ada duit, melainkan memang tidak punya niat membayar.


HOME

25 November 2022

Pelajaran dari Seorang Ostomate

Menjelang saya tidur, seorang teman telepon, menanyakan kabar Yuni. Setengah suntuk, ditambah banyak urusan yang harus saya selesaikan bersamaan, membuat sensor mulut saya sedikit longgar. Saya jadi seperti gendang yang sedang ditabuh, bercerita apa saja, menjawab setiap pertanyaan tanpa berpikir panjang.

Akibatnya, muncul nasehat  yang  membuat saya sesak nafas, “Pikir dulu baik-baik. Kalau bisa, gak usah kolostomi. Amit-amit, orangnya jadi bau eek. Dulu budeku sampai stres. Gara-gara bau, nggak ada yang mau mendekat.”

What the hell? Sampai segitunya?

Awalnya, saya hanya memikirkan efek fisik dari operasi dan penampakan kantong di perut. Ternyata, ada dampak sosial juga.

Ngantuk saya langsung buyar. Saya kembali ngubek-ubek Mbah Google, mencari alternatif terapi selain kolostomi. Nihil. Hampir semua terapi kanker usus besar disertai dengan kolostomi.

Yuni orangnya ceria. Selama 25 tahun kami menikah, hampir tidak pernah mengeluh, kecuali tempo hari, saat sakitnya benar-benar tak tertahankan. Sulit membayangkan dia nanti harus mengalami stres hanya karena aroma yang tak sedap di sekitar tubuhnya.

Capek lahir batin, saya akhirnya tertidur. Baru bangun setelah HP yang tergeletak dekat kepala berdering berkali-kali. Awalnya saya kira dering HP anak atau Yuni. Setelah semua nyawa ngumpul, baru ingat, saya home alone.

“Susah banget dihubungi. Di mana? Lagi ngapain?” terdengar suara Cemplon, staff konsultan pajak saya, dengan nada sewot.

Sebenarnya jam 9 ada janjian ketemu orang. Ternyata saya baru bangun jam 10 lewat. Ketika saya muncul, semua sudah bubar, tinggal Cemplon bersama bosnya, kaji nDul, yang memang sengaja menunggu.

“Begini model mantan preman pasar. Sangar di luar, giliran bini sakit langsung kopong!” celetuk kaji nDul jengkel.

Saya cuma diam. Selain merasa bersalah, saya tahu, bagi nDul, ngomel adalah kebutuhan utama setelah bernafas.

“Ditelepon berkali-kali nggak diangkat, gua pikir lu bunuh diri!”

“Alphard yang kamu sewa belum dibayar, mosok aku mau mati duluan?”

“Lah, Plon, belum lu transfer?”

“Duitnya keburu masuk kas negara, bos,” jawab Cemplon berlagak polos.

Sejak nDul ketahuan rutin berbagi rezeki ke pemandu karaoke, keuangan perusahaan diawasi ketat oleh istrinya. Setiap pengeluaran harus melalui anggaran resmi, dan cairnya nunggu lebaran monyet. Itu sebabnya nyonya nDul mendapat gelar kehormatan "ibu negara”.

“Plon, Plon, rencananya mau beli HP, malah lu kasih ke mamah.”

Hidup memang ironi. Ada yang punya penghasilannya besar, tapi mau beli HP saja susah.

“Perlu berapa?” saya bertanya.

“Tujuh belas.”

“Ayo ngrampok BCA. Aku telepon satpamnya dulu, biar duitnya disiapkan!”

“Lambemu!” kaji nDul menggerutu.

Mulut Cemplon sudah nganga, menjelang ketawa, tapi batal bersuara karena nDul melotot. Lalu Cemplon mengkureb di meja sambil bergumam,  “Apa dosaku, ketemu wong-wong tuwek gendheng kabeh.”

Selesai makan siang, Cemplon menelepon seseorang. “Tolong lu ceritain pengalaman lu selama pakai kantong, dari yang baik sampai yang apes. Bos gua lagi galau, bininya bakal kolostomi.”

Setelah itu, Cemplon menyerahkan HP ke saya.

Ternyata saya terhubung ke survivor kanker kolorektal yang sudah 8 tahun jadi ostomate.
#Ostomate adalah orang yang menjalani kolostomi dan memakai kantong kolostomi.#

“Siang, om. Saya Imah, sudah 8 tahun pakai kantong kolostomi,” sapa suara bersemangat di seberang.

Saya mendengarkan penjelasan detail tentang kolostomi dan kantong yang digunakan.

“Perutnya enggak bolong begitu saja. Dibuatkan stoma dari usus besar, dijahit ke kulit perut. Kalau mau lihat, ada video simulasinya di Youtube.”

Gak wis. Terimakasih. Diceritain saja sudah bikin kepala saya muter, apalagi nonton videonya.

“Kantongnya di sebelah kiri. Feses yang keluar biasanya padat, karena sudah melewati usus besar.”

“Menurut dokter, sampai berapa lama pakai kantongnya?” 

“Kalau saya sih permanen, om. Lubang aslinya sudah ditutup.”

Dia tertawa, saya meringis.

Membayangkan Yuni dengan kantong berisi "muatan", menggantung di bagian perut, membuat saya tambah kenyang. Otak sayapun tidak mau berhenti sampai di situ. Tebak-tebakannya berlanjut, tentang bagaimana cara membersihkan kantongnya? Apakah harus dicuci atau hanya sekali pakai?

Seakan membaca pikiran saya, Imah menjelaskan, kantongnya sekali pakai. Ada yang harus diganti setiap hari, ada yang bisa dipakai 3–4 hari.

“Nanti diajarin cara mengosongkan kantong, mengganti, merawat kulit di sekitar stoma, dan diet biar enggak muncul gas, enggak bau, diare, atau sembelit.”

“Baunya tidak merembes keluar?” Lalu penjelasan dari teman semalam saya ceritakan.

Imah tertawa.

“Enggak lah om. Saya belum mandipun masih lebih wangi ketimbang Cemplon.”

“Lho yaaaaaaa, aku maneh! TELOOOO!” Cemplon melengking.

Penjelasan Imah cukup membuat saya sedikit tenang. Terutama setelah dia menambahkan, “Gas kentutpun terperangkap sempurna. Kalau enggak sengaja dikeluarkan, kantongnya jadi kembung. Mungkin yang bau itu terjadinya jaman Jenghis Khan masih hidup, kantongnya belum seperti yang sekarang.” 

“Anusnya ditutup?” saya semakin penasaran.

“Karena saya bukan penggemar sodok belakang, ya ditutup om. Kan enggak kepakai lagi.”

Semprul!

Kebayang, ritual buang hajat yang biasanya sepele akan berubah jadi sesuatu yang lebih serius. Bayar pula. Di marketplace, harganya sekitar 960 ribu sampai 1,3 juta per box. Kalau isinya 30 kantong dan bisa dipakai 90 hari, berarti biaya per hari sekitar 9–14 ribu.

Kalau diukur dengan makanan, tidak mahal. Tapi kalau hanya untuk nampung tai, mahalpun pakai banget. Tapi sisi positifnya, kalau kebelet di jalan, nggak perlu panik, sudah ada WC portable.

Kaji nDul nyeletuk, “Utegmuuuu… Bisa-bisanya mikir WC portable segala!”

Cemplon menengahi, “Wis, nggak usah protes. Kalian berdua sama saja, penceng kabeh.”

“Elu juga. Tahu lagi bahas urusan boker, video callnya di meja makan”

Tanpa sungkan lagi, Cemplon terbahak lepas.

Jadi, senewen saya semalam itu beneran hanya buang-buang energi. Beruntung keburu ketemu Imah.

“Ada efek sampingnya apa tidak?” saya lanjut bertanya.

Dari hasil curi-curi browsing saat dimaki-maki kaji nDul, saya sempat membaca sepenggal kalimat berikut ini:

A colostomy is a major surgery. As with any surgery, there are risk of allergic reaction to anestesia and excessive bleeding.

Excessive bleedingnya membuat otak saya langsung travelling liar. Apalagi kalimat berikutnya juga tidak kalah serem:

A colostomy also carries other risk, such as damage to nearby organs, scar tissue forming in the abdomen which can cause blockages, parastomal hernia, stoma blockage, stoma fistulla, stoma ischaemia – this may require additional surgery.

Jawaban Imah membuat saya lega: “Sejauh ini aman-aman saja. Paling cuma iritasi kulit sedikit.”

“Benar nggak, pupnya keluar begitu saja tanpa bisa dikontrol?”

“Di stoma nggak ada petugas jaganya, ya langsung keluar gitu, enggak bisa ditahan. Kentutnya apalagi, kadang sampai bunyi pula. Tapi cuek saja, teman-teman sudah maklum.”

Diantara selingan gojeg kere, Imah bertanya lagi, “Maaf om, agamanya apa?”

Sebenarnya saya tidak suka ditanya-tanya soal agama, tapi kali ini pertanyaan itu sangat relevan. Bagaimana kalau pas shalat, tiba tiba ada yang keluar? Di samping itu, kantongnya bukan jenis lepas-pasang. Meski dibersihkan, mungkin masih ada najis yang tertinggal.

Ternyata ada fatwa MUI bagi penyandang kantong kolostomi. Tertuang dalam fatwa MUI nomor 7 tahun 2009, tentang shalat bagi penyandang stoma.

Pada bagian memutuskan, disebutkan:

1. Shalat bagi penyandang stoma (ostomate), selama masih bisa melepaskan atau membersihkn kantung stoma sebelum shalat, wajib baginya untuk melepaskan atau membersihkannya

2.    Sedangkan apabila tidak dimungkinkan untuk melaksanakan ketentuan nomor satu di atas, maka baginya shalat dengan keadaan apa adanya, karena dalam kondisi tersebut ia termasuk daim al-hadats (orang yang hadatsnya tidak bisa disucikan), yakni dengan berwudhu setiap akan melaksanakan shalat fardhu dan dilakukan setelah masuk waktu shalat.

Saya lega. Ternyata, agama juga punya ruang bagi yang sakit.

***

Hidup ini penuh ketidakpastian, tapi selama kita mau belajar dan beradaptasi, semua bisa dihadapi. Kadang sedikit agak sulit, seringkali sulit banget. Tapi tetap bisa.


HOME


24 November 2022

Ketika Kolostomi Menyapa

 

Rencana mojok di kantin sebelah kantor akhirnya tinggal angan-angan. Saya teringat anak ayam dan kucing-kucing di rumah yang belum diberi makan. Niat menyepi terpaksa dibatalkan. Saya minta sopir mengantar saya pulang.

Ternyata anak ayam tidak selamat. Ya wis lah. Saya kuburkan bangkainya di bawah pohon mangga, disaksikan oleh para kucing yang sepertinya ngerti apa yang terjadi.

Sebelum menuang pakan untuk mereka, saya sempatkan minta maaf karena kemarin membuat mereka kelaparan, lalu saya berpesan, “Tolong, jangan nyolong anak ayam lagi.”

Siangnya, saya merasa baikan. Tidak demam lagi.

Bingung, tidak tahu harus berbuat apa, saya membuka Facebook dan menulis tentang kondisi Yuni. Tak disangka, banyak yang merespons—termasuk dua survivor kanker. Mereka berbagi pengalaman tentang jenis terapi, tentang pengalaman pribadi mereka, dan memberi saran, langkah apa yang sebaiknya saya ambil.

Salah satu nasehat yang paling membantu datang dari seorang teman yang paham dunia herbal. Ia berkata, "Kanker ibarat lomba. Kalau masih stadium satu, bendera start dibaru kibarkan. Pasien masih punya banyak pilihan terapi. Tapi kalau sudah stadium lanjut, saya sarankan ambil terapi medis. Lawanmu sudah ngebut jauh, sementara kamu masih rebahan, belum tahu mau nyusul pakai kendaraan apa. Kalau kamu pilih herbal, besar kemungkinan kamu ketinggalan."

Saya menyela, " Tapi kemo dan radiasi kan efek sampingnya berat?"
Dia menjawab, "Herbal juga punya efek samping. Salah pilih, resikonya juga besar."
Saya penasaran, "Tapi katanya herbal tanpa efek samping?"
Dia tertawa kecil, "Hanya tukang jual ramuan yang berani ngomong begitu."

Saya teringat pernah membaca di laman RS Universitas Indonesia, semua zat yang masuk ke tubuh—berupa makanan, obat, maupun herbal—punya potensi menimbulkan efek yang diinginkan maupun tidak diinginkan. Tidak ada yang benar-benar tanpa resiko.

Kalimat itu mengingatkan saya: harapan tidak boleh mengalahkan logika.

Konsultasi Malam yang Penuh Kejutan

Selepas Magrib, saya mendapat kejutan yang tidak ada dalam jadwal. Dokter bedah digestif memberi waktu untuk konsultasi.

Pengalaman sebelumnya, di rumah sakit lain, dokter sulit diminta waktu, meskipun hanya sekedar untuk sedikit bertanya.

Dokter yang merawat Yuni beda. Tanpa diminta, beliau menjelaskan secara detail dalam bahasa yang mudah dimengerti. Lebih dari itu, beliau menawarkan alternatif terapi—bukan memaksa, tapi mengajak saya memahami pilihan.

 Kalau hasil biopsi benar-benar menunjukkan kanker, beliau menyarankan radiasi dulu, 25 kali berturut-turut.

Saya langsung merinding. Otak saya mulai memutar semua rekaman yang pernah saya baca tentang efek radiasi.

Melihat wajah saya yang mendadak tegang, dokter segera menambahkan, "Kondisi pasien masih bagus. Saya optimis dia bisa menyelesaikan seluruh dosis radiasi tanpa kendala. Harapan saya, massa kankernya bisa menyusut 10–15 persen. Ini bisa mengurangi resiko penyebaran sebelum operasi."

Sebagai orang yang gampang curiga, sempat terlintas prasangka buruk: Apakah ini akal-akalan untuk menambah biaya?  

Dengan nada tetap tenang,  dan tidak ada kesan memaksa, dokter berkata, "Bapak boleh tidak setuju. Tidak apa-apa." Dia bahkan memberi waktu, "Tidak perlu dijawab sekarang. Masih ada sekitar sepuluh hari sampai hasil biopsi keluar."

Saya memberanikan diri bertanya, "Dari pemeriksaan fisik, kira-kira bagaimana kondisi istri saya?"
Dokter menjawab diplomatis, "Kita tunggu hasil biopsinya dulu." Tapi firasat saya berkata lain. Sepertinya bukan lagi stadium awal.

Kolostomi: Babak Baru yang Bikin Puyeng

Saat dokter hendak pergi, saya buru-buru bilang, "Saya ndherek saran dokter."
Dokter menoleh, "Maksudnya?"
"Saya setuju radiasi."

Hening sejenak. Setelah itu dokter bertanya, "Kantong kolostominya mau dipasang bareng biopsi atau nanti bersama operasi kankernya?"

Saya bengong, merasa seperti masuk ke dalam ruang hampa

Dokter menjelaskan, untuk mencegah infeksi akibat massa kanker selalu terkena kotoran, akan dibuat saluran pembuangan darurat—selain lewat dubur. Itulah kolostomi.

Saya  tidak punya bekal apa pun tentang kolostomi. Bahkan kata itu baru pertama kali saya dengar. Meski dijelaskan pelan-pelan, otak saya terlanjur kopong. Hanya terbayang perut Yuni dibolongi, lalu dipasangi kantong untuk menampung kotoran.

Setelah itu, saya tidak tahu lagi mana yang lebih cepat, detak jantung atau munculnya berbagai pertanyaan di kepala. Bagaimana nanti Yuni tidur? Apakah dia bisa merasa nyaman bersama kotoran yang numpuk dikantong selagi belum ada kesempatan membuang? Apa dia akan tetap percaya diri?

Mencari Ketenangan di Tengah Puting Beliung

Dari sini saya belajar, konsultasi dengan dokter bukan sekadar tanya-jawab. Kita butuh bekal informasi dasar dan kesiapan mental untuk menerima kejutan—supaya kepala tidak serasa mau copot.

Saya minta waktu dua hari untuk memutuskan, apakah kolostomi dilakukan bareng biopsi atau bareng operasi kankernya.

Selama dua hari itu terasa seperti naik roller coaster. Kadang yakin, kadang ragu. Kadang tenang, kadang nyaris panik. Sementara Yuni tetap kalem, tidak banyak bicara, dan tak pernah mengeluh.

Saya mencoba mencari informasi tentang kolostomi. Googling sana-sini. Tapi semakin banyak saya baca, semakin bingung. Ada yang bilang biasa saja, seperti pakai kantong infus di perut. Ada yang cerita horor: kantong bocor, infeksi, trauma psikologis, hingga pasien yang merasa kehilangan harga diri.

Saya mencoba menenangkan diri: Bukankah kita juga kehilangan harga diri kalau mendadak diare di perjalanan? 

Tapi ini beda. Ini bukan sekadar keadaan darurat. Ini soal hidup dengan lubang di perut—berdamai dengan kenyataan bahwa kotoran tidak lagi keluar lewat jalur yang semestinya.

Beberapa teman, dengan niat baik, bercerita tentang kerabat mereka yang  tidak kuat hidup dengan kolostomi. Mereka tidak bermaksud menakuti, tapi efeknya, saya seperti duduk di tengah angin puting beliung, dengan topi kertas sebagai satu-satunya pelindung.

Hidup sering tidak berjalan sesuai rencana. Dari rencana mojok yang gagal, anak ayam yang mati, hingga kejutan-kejutan dalam perjalanan melawan kanker. Semua mengajarkan, saya harus terus belajar menerima, beradaptasi, dan menemukan kekuatan di tengah ketidakpastian.

Mungkin besok ada kejutan baru lagi. Tapi hari ini, saya memilih untuk mengambil satu langkah kecil, dan percaya, bahwa kami bisa melewati —satu hari demi satu hari.


22 November 2022

Dompet, Demam dan Sertifikat Booster


Saya tidak kaget saat membaca “KANKER” yang ditulis di selembar kertas oleh dokter bedah wasir. Meskipun tubuh saya masih utuh, jantung belum berhenti berdetak, dan napas masih mengalir, dunia saya sudah miring sejak beberapa hari sebelumnya. Sirene sudah meraung-raung seperti alarm kapal tenggelam.

Ketika dokter berkata, “Sepertinya bukan wasir. Ini mengarah ke kolorektal. Kemungkinan kanker.” Saya hanya mengangguk.

Walaupun pada akhirnya dokter masih bilang, “Baru dugaan,” bagi saya lebih mirip ketokan palu hakim. Apalagi ketika dokter mengatakan jarinya tidak bisa masuk anus. Itu bukan lagi sekadar gejala, melainkan konfirmasi yang tidak memberi peluang untuk dibantah.

Keluar dari ruang periksa, pikiran saya tidak hanya tentang Yun. Ada masalah lain yang tiba-tiba minta perhatian dan harus secepatnya saya putuskan: mau pakai BPJS atau lanjut mandiri?

Secara logika keuangan, mestinya langsung ke BPJS. Tapi secara hati, saya tidak bisa membayangkan Yuni, yang bahkan buang angin saja sudah meringis kesakitan, harus duduk lama, ngantri di puskesmas, menjalani pemeriksaan awal, menunggu rujukan, lalu antri lagi di rumah sakit. Dalam kondisi seperti ini, waktu bukan sekadar angka. Waktu adalah nyawa.

Saya bertanya pada diri sendiri, seandainya saya yang terbaring di sana, apa yang saya harapkan?  sudah pasti saya ingin langsung ditangani. Sekarang. Tanpa antrian. Tanpa ditunda.

Tapi, duitnya dari mana?

Kata orang, biaya sekali kemoterapi sampai jutaan. Belum lagi biaya operasi, radioterapi, obat, rawat inap, dan semua biaya tak terduga. Saya sempat menghitung kasar di kepala, paling sedikit butuh 300 juta.

Saya tidak perlu cek saldo untuk tahu, saya tidak punya duit tunai sebanyak itu. Sebagian besar harta saya simpan dalam bentuk aset yang – baru saya sadari saat ini - susah dicairkan secara cepat. Niat semula tidak terlalu banyak menyimpan tunai, untuk mengurangi resiko inflasi dan biar tidak gampang tergoda belanja. Ternyata, pada saat dibutuhkan secara cepat, aset-aset itu malah terasa seperti harta karun yang terkubur jauh di dasar laut.

Di tengah kebingungan, adik saya memberitahu: kamar kelas 1 dan 2 penuh.

Saya buru-buru  ke ruang registrasi rawat inap. Memang hanya tersisa satu kamar VIP C, dan president suite. Kalau terpaksa, kamar President Suite sebenarnya masih dalam jangkauan. Tapi saya sedang berhadapan dengan kanker, bukan penyakit yang bisa sembuh dalam hitungan hari. Terapi kanker ibarat lomba marathon. Uji ketahanan dalam segala hal: Mental, fisik dan finansial.

Jangan sampai nanti terapinya Yuni berhenti di tengah jalan gara-gara duit habis, sementara saya duluan nyangkut di ICU. Stroke mikir tagihan.

Akhirnya saya pilih VIP C. Meskipun tarif kamarnya “hanya” 550 ribu per malam, angka itu sudah cukup membuat saya berpikir keras: Aset mana yang harus dilego duluan?

Saya sempat memertimbangkan pindah rumah sakit. Yang ini memang terkenal mahal. Tapi Yuni sudah kesakitan. Disamping itu, di rumah sakit lain belum tentu tersedia kamar. Sisa-sisa pandemi masih membuat banyak fasilitas kesehatan kewalahan. Disamping itu, saya sudah cocok dengan attitude  dokter yang menangani Yuni. Tenang, tidak pelit informasi dan penuh empati.

Pengalaman 12 tahun sebelumnya, saat Ayah rawat inap di rumah sakit lain. Di kelas VIP juga, tiga dokter yang menangani terkesan ogah-ogahan menjawab pertanyaan kami. Komunikasi mampet. Pasien diperlakukan seperti obyek yang wajib nurut apapun kata dokter.

Akhirnya saya nekat ambil VIP, tanpa BPJS.

Ternyata pilihan itu membawa sedikit bonus candaan kecil. Pas diminta bayar DP, baru ketahuan, Kartu ATM yang saya bawa saldonya hanya sejuta lebih dikit.

TREMBELANE!!!

Tapi ternyata, petugas registrasi bilang, kalau dananya belum tersedia, tidak perlu DP dulu. Saya sempat kaget, sampai dia harus mengulang lagi.

Urusan DP selesai, masalah lain menyusul.

Petugas menyerahkan empat lembar kertas seukuran kartu nama, semuanya atas nama saya. sambil berkata, “Keluarga yang belum booster harus swab dulu.”

Nah lho!

Dari empat orang yang mengantar Yuni, cuma satu adik yang sudah booster. Saya, anak, dan adik satunya belum. Sebenarnya saya memang wegah booster. Vaksinpun, kalau bukan terpaksa, butuh sertifikat, enggak sudi juga. Anak, enggak beda jauh – tentu saja karena ngikut saya. Sementara adik, sudah mendapat jadwal minggu depan.

Saat itu saya sedang demam tinggi - Kalau bukan demi istri, sudah pasti tidak akan kuat ninggal kasur. Seandainya saya swab lalu keluar hasil positif, bisa-bisa Yuni ikut masuk karantina. Diisolasi dalam kondisi sakit, besar kemungkinannya akan berakhir buruk.

Saat petugas sekuriti datang untuk mengantar kami ke ruang swab, otak saya langsung kambuh ugal-ugalan, memberi gagasan ngumpet di toilet.

Saya minta ijin telepon. Memberitahu anak dan adik yang berada di lobby, supaya tetap diam di sana  sambil mencari informasi faskes yang melayani booster besok.

Selesai telepon, saya pamit ke toilet, dan langsung kabur menuju tempat parkir.

Ketika sopir melihat saya datang sambil merunduk, lalu bergegas masuk mobil, dia bertanya, kenapa saya bertingkah macam buronan menghindari kejaran polisi?

“Ngumpet, biar tidak diswab!”
Dia langsung ngakak.

Alhamdulillah, Yuni lolos PCR. Langsung masuk, karena harus segera transfusi. Hbnya tinggal 4,2.

Malamnya saya home alone. Anak saya suruh nginap di rumah adik. Selain lebih dekat rumah sakit, biar tidak ketularan demam.

Sejak masih di rumah sakit sebenarnya saya sudah menggigil. Dua paracetamol tidak cukup. Setiba di rumah sebenarnya pengin langsung tidur, tapi sejak saya masuk halaman, kucing-kucing ribut minta makan.

Meskipun saya juga lapar, tapi kepala yang berat membuat saya tidak kuasa bertahan lebih lama, dan langsung rebah di kasur. Mantera “Demi istri” tidak lagi mempan. Terpaksa saya kuatkan hati, mengabaikan teriakan para kucing yang kelaparan.

Saya cukup kuat menahan lapar. Tapi kurang minum, perkara lain. Tidak perlu nunggu lama, saya mulai mengalami halusinasi. Ayah, Ibu, dan beberapa kerabat lain yang sudah meninggal mulai bermunculan. Lama-lama bahkan kucing-kucing yang sudah mati ikut pula nongol. Saya sadar, mereka hanya bayangan halu, akibat kurang minum. Masalahnya, dengan kepala berat, dunia berputar dan badan menggigil, jarak antara saya rebah dengan dispenser terasa lebih jauh ketimbang jarak ke bulan.   

Menjelang saya menyerah, tiba-tiba terdengar bentakan “OHANA!!!”

Halusinasi saya semakin liar. Bahkan sosok fantasi Stitch di film Disney, datang dan main bentak. “NOBODY GETS LEFT BEHIND!”

BEDHES! Saya mengumpat, sambil memaksa diri beranjak ke ruang makan. Selesai minum saya ke luar, memberi makan kucing. Mereka sebenarnya bukan piaraan kami. Cuma kebetulan numpang lahir di rumah. Kalau rumah pas kosong, mereka bisa cari makan sendiri, tapi giliran ada yang di rumah, semua kambuh manja. Makanpun kadang minta ditungguin.

Saya tidak ingat, berapa lama berada di luar. Yang saya tahu, ketika semua kucing sudah pergi, saya tidak lagi kedinginan. Bahkan seandainya setelah itu tidak kejedot pintu, mungkin saya bisa lupa kalau masih punya kepala. Pusingnya tidak terasa lagi.

Jam 4 pagi saya terbangun oleh suara anak ayam. Ciap-ciapnya terdengar semakin mendekat. Tidak mungkin anak ayam kelayaban sepagi ini, kecuali ……. Saya buru-buru bangkit dari tempat tidur, meraih senter, lalu bergegas keluar, menuju arah suara berasal.

Di pojok halaman saya dapati seekor kucing ndhekem. Moncongnya menggigit anak ayam.

“Lepas!!!”

Saya tarik tengkuk kucing itu, sampai anak ayam terlepas. Meskipun lukanya cukup parah, anak ayam itu masih hidup. Saya taruh di ember bekas cat  yang saya sulap jadi kandang darurat, lengkap dengan lampu penghangat dan kain pel sebagai alasnya.

Karena anak ayam itu hanya bisa tenang selama kepalanya menyentuh telunjuk saya, terpaksa saya duduk bengong dekat ember lumayan lama. Beruntung, menjelang terang, dia bisa ditinggal, sehingga saya tidak telat tiba di Puskesmas jam 8, untuk booster.

Meskipun badan sudah terasa baikan, saya sempat ragu. Jidat dan mata masih ada anget-angetnya. Ketika vaksin, saya pernah dua kali ditolak. Pertama karena tekanan darah di atas 200, yang kedua karena demam. Menurut dokter, saat demam tidak boleh vaksin.

Tapi untuk nengok dan nungguin Yuni saya butuh sertifikat booster ……. Bodo amat!!!!

Sebelum berangkat ke Puskesmas, saya minum dua tablet paracetamol.

Booster sukses. Anak, adik, sopir, dan petugas medis tidak ada yang tahu saya sedang demam. Tapi, sekedar antisipasi, saya pamit tidak ikut ke rumah sakit. Kalaupun sampai tumbang, jangan sampai saya ambruk di hadapan Yuni.

Kanker ternyata bukan hanya diagnosis medis, tapi juga guru yang keras dan tanpa ampun. Dia memaksa saya belajar mengambil keputusan secara cepat dalam kondisi tidak menentu, tanpa harus ngawur. Belajar menjadi kuat bukan karena saya mampu, tapi karena tidak ada pilihan lain.

Saya tidak tahu kapan dan bagaimana akhir dari perjalanan ini. Tapi saya tahu satu hal: Demi orang yang saya cintai, saya akan berlari, tidak perduli apapun resikonya.

Untuk siapapun yang telah meluangkan waktu, membaca sampai di sini, saya ucapkan terimakasih.  Jika kamu sedang berada di posisi yang sama — di antara tagihan rumah sakit, ketakutan, dan kelelahan yang tak berujung — ingatlah, kamu tidak sendiri.

Kita bukan pahlawan. Tapi juga bukan pecundang. Kita adalah manusia yang sedang berjuang — dengan cara kita masing-masing.


08 November 2022

Ketika Rasa Nyeri Adalah Alarm yang Tak Boleh Diabaikan

 

Saya bukan dokter, hanya seorang suami yang kadang sok tahu, suka berpikir berlebihan, dan mudah panik ketika ada yang tidak beres dengan orang yang saya cintai.

Tapi suatu hari, semua rasa panik itu tiba-tiba menjadi sangat nyata.

Istri saya, Yuni, mulai duduk sambil meringis kesakitan. Jalannya terpincang-pincang dan terlihat tidak nyaman. BABnya begitu menyengat, menembus pintu kamar mandi yang tertutup rapat.

Di situlah, otak saya yang gemar overthinking langsung berulah. "Jangan-jangan, ini kanker?"

Perut saya langsung mual. Jantung berdebar kencang, seolah ingin melompat keluar dari dada. Pikiran saya panik level dewa mabok. Tapi saya mencoba tenang, karena awalnya berasal dari gangguan yang terasa begitu sepele: wasir. Penyakit yang sudah menjadi teman lama Yuni, bahkan sebelum kami menikah tahun 1998.

Dulu, jarang kambuh. Kalau pun terjadi, cukup diobati dengan salep resep dokter atau suppositoria yang dibeli di apotek. Sembuh dalam hitungan hari.

Tapi pandemi mengubah segalanya.

Rumah sakit tiba-tiba berubah menjadi tempat yang paling menakutkan setelah neraka. Yuni sebenarnya ingin konsultasi ke dokter, tapi takut ketularan covid membuat kami memilih untuk mengobati dengan obat tanpa resep.

Kami memilih aman, tapi ternyata salah.

Sejak pertengahan 2020, wasir Yuni semakin sering kambuh. Obat yang biasanya manjur, kali ini hanya numpang lewat.

Yuni mulai mengeluh, merasa tidak nyaman saat duduk. Bukan sakit biasa, tapi seperti ada tekanan di dalam yang tak kunjung reda. Jalanpun berubah, megol-megol Saya sempat tertawa waktu pertama kali melihatnya, tapi tawa itu cepat menghilang ketika saya menyadari, ini bukan lelucon. Ini tanda bahaya.

Saya mulai risih, lalu khawatir, lalu panik. Otak saya langsung masuk ke mode investigasi ala detektif amatir: Apakah ini infeksi? Penyakit usus? Atau… jangan-jangan kanker?

Saya pun terseret ke dalam dunia tebak-tebakan versi horor dengan teori ngawur saya sendiri tentang sel wasir yang "harusnya mati, tapi malah bermutasi." 

Otak saya mulai panik. Hati saya lebih panik lagi, tapi mulut saya masih berusaha denial"Palingan cuma wasir parah."

Kami mencoba berbagai cara alternatif. Mulai dari ramuan herbal yang katanya "ampuh untuk semua penyakit", sampai terapi dari seorang pensiunan tenaga medis yang viral di Facebook—"sembuh tanpa operasi!"

Ada sedikit perbaikan, tapi hanya bertahan tiga hari. Selebihnya malah semakin memburuk. Rasa sakitnya seolah tidak mau kompromi lagi. Yuni tidak bisa tidur nyenyak. Tidak bisa duduk lama. Setiap menit adalah perjuangan.

Sampai akhirnya, saya berkata pada diri sendiri: "Sudah cukup. Tidak bisa dibiarkan."

Selasa sore, 5 Juli 2022. Saya mengantar Yuni ke dokter spesialis bedah wasir, berharap bisa segera ditangani. Tapi yang kami dapatkan jauh lebih menohok daripada yang pernah kami bayangkan.

Setelah pemeriksaan, dokter menatap saya dengan ekspresi serius, lalu menulis satu kata di selembar kertas dengan huruf besar:

KANKER.

Saya lemas. Dunia seolah berhenti berputar. Napas terasa berat. Saya minta ijin agar Yuni keluar dari ruang periksa dulu—saya tidak ingin pikirannya terganggu oleh diagnosa yang belum pasti.

Baru setelah Yuni pergi, dokter menjelaskan dengan tenang, tapi jujur. Ada lesi mencurigakan, perubahan tekstur jaringan, dan pola gejala yang tidak sesuai dengan wasir biasa. Dia merujuk kami ke dokter bedah digestif untuk biopsi dan pemeriksaan lebih lanjut.

Meskipun dokter masih berharap ini hanya kesalahan diagnosa, firasat saya yang kadang sok tahu kali ini malah yakin, dokter tidak keliru.

Wasir bukan penyakit mematikan, tapi ketika gejalanya berubah—menjadi lebih sering, lebih sakit, lebih aneh, bisa jadi merupakan alarm dari tubuh untuk sesuatu yang jauh lebih serius.

Konsultasi ke dokter bukan tanda kelemahan. Justru itu tanda keberanian. Berani menghadapi kenyataan, seburuk apa pun.

Kini, Yuni sedang menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Perjalanan kami masih jauh dari selesai. Kami masih menunggu hasil biopsi, rencana pengobatan, dan keputusan besar di depan. Tapi setidaknya, kami tidak lagi menutup mata.

Saya berharap, tulisan ini bisa menjadi pengingat bagi siapa pun yang sedang mengalami hal serupa:

Dengarkan tubuhmu.
Dengarkan rasa sakitmu.
Dengarkan firasatmu.

Terkadang, gejala kecil adalah teriakan terakhir sebelum badai datang.

Jangan tunggu sampai terlambat.
Kesehatan bukan hal yang bisa ditawar—dan waktu tidak pernah menunggu.

Untuk Yuni, yang masih kuat.
Dan untuk siapa pun yang sedang berjuang: kamu tidak sendiri.