Saya tidak kaget saat membaca “KANKER” yang ditulis
di selembar kertas oleh dokter bedah wasir. Meskipun tubuh saya masih utuh,
jantung belum berhenti berdetak, dan napas masih mengalir, dunia saya sudah
miring sejak beberapa hari sebelumnya. Sirene sudah meraung-raung seperti alarm
kapal tenggelam.
Ketika dokter berkata, “Sepertinya bukan wasir. Ini mengarah
ke kolorektal. Kemungkinan kanker.” Saya hanya mengangguk.
Walaupun pada akhirnya dokter masih bilang, “Baru dugaan,”
bagi saya lebih mirip ketokan palu hakim. Apalagi ketika dokter mengatakan
jarinya tidak bisa masuk anus. Itu bukan lagi sekadar gejala, melainkan
konfirmasi yang tidak memberi peluang untuk dibantah.
Keluar dari ruang periksa, pikiran saya tidak hanya tentang
Yun. Ada masalah lain yang tiba-tiba minta perhatian dan harus secepatnya saya
putuskan: mau pakai BPJS atau lanjut mandiri?
Secara logika keuangan, mestinya langsung ke BPJS. Tapi
secara hati, saya tidak bisa membayangkan Yuni, yang bahkan buang angin saja
sudah meringis kesakitan, harus duduk lama, ngantri di puskesmas, menjalani
pemeriksaan awal, menunggu rujukan, lalu antri lagi di rumah sakit. Dalam
kondisi seperti ini, waktu bukan sekadar angka. Waktu adalah nyawa.
Saya bertanya pada diri sendiri, seandainya saya yang
terbaring di sana, apa yang saya harapkan? sudah pasti saya ingin langsung ditangani.
Sekarang. Tanpa antrian. Tanpa ditunda.
Tapi, duitnya dari mana?
Kata orang, biaya sekali kemoterapi sampai jutaan. Belum
lagi biaya operasi, radioterapi, obat, rawat inap, dan semua biaya tak terduga.
Saya sempat menghitung kasar di kepala, paling sedikit butuh 300 juta.
Saya tidak perlu cek saldo untuk tahu, saya tidak punya duit
tunai sebanyak itu. Sebagian besar harta saya simpan dalam bentuk aset yang –
baru saya sadari saat ini - susah dicairkan secara cepat. Niat semula tidak
terlalu banyak menyimpan tunai, untuk mengurangi resiko inflasi dan biar tidak
gampang tergoda belanja. Ternyata, pada saat dibutuhkan secara cepat, aset-aset
itu malah terasa seperti harta karun yang terkubur jauh di dasar laut.
Di tengah kebingungan, adik saya memberitahu: kamar kelas 1
dan 2 penuh.
Saya buru-buru ke ruang
registrasi rawat inap. Memang hanya tersisa satu kamar VIP C, dan president
suite. Kalau terpaksa, kamar President Suite sebenarnya masih dalam jangkauan.
Tapi saya sedang berhadapan dengan kanker, bukan penyakit yang bisa sembuh
dalam hitungan hari. Terapi kanker ibarat lomba marathon. Uji ketahanan dalam
segala hal: Mental, fisik dan finansial.
Jangan sampai nanti terapinya Yuni berhenti di tengah jalan
gara-gara duit habis, sementara saya duluan nyangkut di ICU. Stroke mikir
tagihan.
Akhirnya saya pilih VIP C. Meskipun tarif kamarnya “hanya” 550
ribu per malam, angka itu sudah cukup membuat saya berpikir keras: Aset mana
yang harus dilego duluan?
Saya sempat memertimbangkan pindah rumah sakit. Yang ini
memang terkenal mahal. Tapi Yuni sudah kesakitan. Disamping itu, di rumah sakit
lain belum tentu tersedia kamar. Sisa-sisa pandemi masih membuat banyak
fasilitas kesehatan kewalahan. Disamping itu, saya sudah cocok dengan attitude dokter yang menangani Yuni. Tenang, tidak
pelit informasi dan penuh empati.
Pengalaman 12 tahun sebelumnya, saat Ayah rawat inap di
rumah sakit lain. Di kelas VIP juga, tiga dokter yang menangani terkesan
ogah-ogahan menjawab pertanyaan kami. Komunikasi mampet. Pasien diperlakukan
seperti obyek yang wajib nurut apapun kata dokter.
Akhirnya saya nekat ambil VIP, tanpa BPJS.
Ternyata pilihan itu membawa sedikit bonus candaan kecil.
Pas diminta bayar DP, baru ketahuan, Kartu ATM yang saya bawa saldonya hanya
sejuta lebih dikit.
TREMBELANE!!!
Tapi ternyata, petugas registrasi bilang, kalau dananya
belum tersedia, tidak perlu DP dulu. Saya sempat kaget, sampai dia
harus mengulang lagi.
Urusan DP selesai, masalah lain menyusul.
Petugas menyerahkan empat lembar kertas seukuran kartu nama,
semuanya atas nama saya. sambil berkata, “Keluarga yang belum booster harus
swab dulu.”
Nah lho!
Dari empat orang yang mengantar Yuni, cuma satu adik yang
sudah booster. Saya, anak, dan adik satunya belum. Sebenarnya saya memang wegah
booster. Vaksinpun, kalau bukan terpaksa, butuh sertifikat, enggak sudi juga. Anak,
enggak beda jauh – tentu saja karena ngikut saya. Sementara adik, sudah
mendapat jadwal minggu depan.
Saat itu saya sedang demam tinggi - Kalau bukan demi istri,
sudah pasti tidak akan kuat ninggal kasur. Seandainya saya swab
lalu keluar hasil positif, bisa-bisa Yuni ikut masuk karantina. Diisolasi dalam
kondisi sakit, besar kemungkinannya akan berakhir buruk.
Saat petugas sekuriti datang untuk mengantar kami ke ruang
swab, otak saya langsung kambuh ugal-ugalan, memberi gagasan ngumpet di toilet.
Saya minta ijin telepon. Memberitahu anak dan adik yang
berada di lobby, supaya tetap diam di sana
sambil mencari informasi faskes yang melayani booster besok.
Selesai telepon, saya pamit ke toilet, dan langsung kabur
menuju tempat parkir.
Ketika sopir melihat saya datang sambil merunduk, lalu
bergegas masuk mobil, dia bertanya, kenapa saya bertingkah macam buronan
menghindari kejaran polisi?
Alhamdulillah, Yuni lolos PCR. Langsung masuk, karena harus segera
transfusi. Hbnya tinggal 4,2.
Malamnya saya home alone. Anak saya suruh nginap di rumah
adik. Selain lebih dekat rumah sakit, biar tidak ketularan demam.
Sejak masih di rumah sakit sebenarnya saya sudah menggigil. Dua
paracetamol tidak cukup. Setiba di rumah sebenarnya pengin langsung tidur, tapi
sejak saya masuk halaman, kucing-kucing ribut minta makan.
Meskipun saya juga lapar, tapi kepala yang berat membuat
saya tidak kuasa bertahan lebih lama, dan langsung rebah di kasur. Mantera
“Demi istri” tidak lagi mempan. Terpaksa saya kuatkan hati, mengabaikan
teriakan para kucing yang kelaparan.
Saya cukup kuat menahan lapar. Tapi kurang minum, perkara
lain. Tidak perlu nunggu lama, saya mulai mengalami halusinasi. Ayah, Ibu, dan
beberapa kerabat lain yang sudah meninggal mulai bermunculan. Lama-lama bahkan
kucing-kucing yang sudah mati ikut pula nongol. Saya sadar, mereka hanya
bayangan halu, akibat kurang minum. Masalahnya, dengan kepala berat, dunia
berputar dan badan menggigil, jarak antara saya rebah dengan dispenser terasa
lebih jauh ketimbang jarak ke bulan.
Menjelang saya menyerah, tiba-tiba terdengar bentakan
“OHANA!!!”
Halusinasi saya semakin liar. Bahkan sosok fantasi Stitch di
film Disney, datang dan main bentak. “NOBODY GETS LEFT BEHIND!”
BEDHES! Saya mengumpat, sambil memaksa diri beranjak ke ruang
makan. Selesai minum saya ke luar, memberi makan kucing. Mereka sebenarnya
bukan piaraan kami. Cuma kebetulan numpang lahir di rumah. Kalau rumah pas
kosong, mereka bisa cari makan sendiri, tapi giliran ada yang di rumah, semua
kambuh manja. Makanpun kadang minta ditungguin.
Saya tidak ingat, berapa lama berada di luar. Yang saya
tahu, ketika semua kucing sudah pergi, saya tidak lagi kedinginan. Bahkan
seandainya setelah itu tidak kejedot pintu, mungkin saya bisa lupa kalau masih
punya kepala. Pusingnya tidak terasa lagi.
Di pojok halaman
saya dapati seekor kucing ndhekem. Moncongnya menggigit anak ayam.
“Lepas!!!”
Saya tarik tengkuk
kucing itu, sampai anak ayam terlepas. Meskipun lukanya cukup parah, anak ayam
itu masih hidup. Saya taruh di ember bekas cat
yang saya sulap jadi kandang darurat, lengkap dengan lampu penghangat
dan kain pel sebagai alasnya.
Karena anak ayam
itu hanya bisa tenang selama kepalanya menyentuh telunjuk saya, terpaksa saya
duduk bengong dekat ember lumayan lama. Beruntung, menjelang terang, dia bisa
ditinggal, sehingga saya tidak telat tiba di Puskesmas jam 8, untuk booster.
Meskipun badan
sudah terasa baikan, saya sempat ragu. Jidat dan mata masih ada anget-angetnya.
Ketika vaksin, saya pernah dua kali ditolak. Pertama karena tekanan darah di
atas 200, yang kedua karena demam. Menurut dokter, saat demam tidak boleh
vaksin.
Tapi untuk nengok
dan nungguin Yuni saya butuh sertifikat booster ……. Bodo amat!!!!
Sebelum berangkat
ke Puskesmas, saya minum dua tablet paracetamol.
Booster sukses.
Anak, adik, sopir, dan petugas medis tidak ada yang tahu saya sedang demam.
Tapi, sekedar antisipasi, saya pamit tidak ikut ke rumah sakit. Kalaupun sampai
tumbang, jangan sampai saya ambruk di hadapan Yuni.
Kanker ternyata bukan hanya diagnosis medis, tapi juga guru yang keras dan tanpa ampun. Dia memaksa saya belajar mengambil keputusan secara cepat dalam kondisi tidak menentu, tanpa harus ngawur. Belajar menjadi kuat bukan karena saya mampu, tapi karena tidak ada pilihan lain.
Saya tidak tahu kapan
dan bagaimana akhir dari perjalanan ini. Tapi saya tahu satu hal: Demi orang
yang saya cintai, saya akan berlari, tidak perduli apapun resikonya.
Untuk siapapun yang
telah meluangkan waktu, membaca sampai di sini, saya ucapkan terimakasih. Jika kamu sedang berada di posisi yang sama —
di antara tagihan rumah sakit, ketakutan, dan kelelahan yang tak berujung — ingatlah,
kamu tidak sendiri.
Kita bukan pahlawan. Tapi juga bukan pecundang. Kita adalah
manusia yang sedang berjuang — dengan cara kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar