22 November 2022

Dompet, Demam dan Sertifikat Booster


Saya tidak kaget saat membaca “KANKER” yang ditulis di selembar kertas oleh dokter bedah wasir. Meskipun tubuh saya masih utuh, jantung belum berhenti berdetak, dan napas masih mengalir, dunia saya sudah miring sejak beberapa hari sebelumnya. Sirene sudah meraung-raung seperti alarm kapal tenggelam.

Ketika dokter berkata, “Sepertinya bukan wasir. Ini mengarah ke kolorektal. Kemungkinan kanker.” Saya hanya mengangguk.

Walaupun pada akhirnya dokter masih bilang, “Baru dugaan,” bagi saya lebih mirip ketokan palu hakim. Apalagi ketika dokter mengatakan jarinya tidak bisa masuk anus. Itu bukan lagi sekadar gejala, melainkan konfirmasi yang tidak memberi peluang untuk dibantah.

Keluar dari ruang periksa, pikiran saya tidak hanya tentang Yun. Ada masalah lain yang tiba-tiba minta perhatian dan harus secepatnya saya putuskan: mau pakai BPJS atau lanjut mandiri?

Secara logika keuangan, mestinya langsung ke BPJS. Tapi secara hati, saya tidak bisa membayangkan Yuni, yang bahkan buang angin saja sudah meringis kesakitan, harus duduk lama, ngantri di puskesmas, menjalani pemeriksaan awal, menunggu rujukan, lalu antri lagi di rumah sakit. Dalam kondisi seperti ini, waktu bukan sekadar angka. Waktu adalah nyawa.

Saya bertanya pada diri sendiri, seandainya saya yang terbaring di sana, apa yang saya harapkan?  sudah pasti saya ingin langsung ditangani. Sekarang. Tanpa antrian. Tanpa ditunda.

Tapi, duitnya dari mana?

Kata orang, biaya sekali kemoterapi sampai jutaan. Belum lagi biaya operasi, radioterapi, obat, rawat inap, dan semua biaya tak terduga. Saya sempat menghitung kasar di kepala, paling sedikit butuh 300 juta.

Saya tidak perlu cek saldo untuk tahu, saya tidak punya duit tunai sebanyak itu. Sebagian besar harta saya simpan dalam bentuk aset yang – baru saya sadari saat ini - susah dicairkan secara cepat. Niat semula tidak terlalu banyak menyimpan tunai, untuk mengurangi resiko inflasi dan biar tidak gampang tergoda belanja. Ternyata, pada saat dibutuhkan secara cepat, aset-aset itu malah terasa seperti harta karun yang terkubur jauh di dasar laut.

Di tengah kebingungan, adik saya memberitahu: kamar kelas 1 dan 2 penuh.

Saya buru-buru  ke ruang registrasi rawat inap. Memang hanya tersisa satu kamar VIP C, dan president suite. Kalau terpaksa, kamar President Suite sebenarnya masih dalam jangkauan. Tapi saya sedang berhadapan dengan kanker, bukan penyakit yang bisa sembuh dalam hitungan hari. Terapi kanker ibarat lomba marathon. Uji ketahanan dalam segala hal: Mental, fisik dan finansial.

Jangan sampai nanti terapinya Yuni berhenti di tengah jalan gara-gara duit habis, sementara saya duluan nyangkut di ICU. Stroke mikir tagihan.

Akhirnya saya pilih VIP C. Meskipun tarif kamarnya “hanya” 550 ribu per malam, angka itu sudah cukup membuat saya berpikir keras: Aset mana yang harus dilego duluan?

Saya sempat memertimbangkan pindah rumah sakit. Yang ini memang terkenal mahal. Tapi Yuni sudah kesakitan. Disamping itu, di rumah sakit lain belum tentu tersedia kamar. Sisa-sisa pandemi masih membuat banyak fasilitas kesehatan kewalahan. Disamping itu, saya sudah cocok dengan attitude  dokter yang menangani Yuni. Tenang, tidak pelit informasi dan penuh empati.

Pengalaman 12 tahun sebelumnya, saat Ayah rawat inap di rumah sakit lain. Di kelas VIP juga, tiga dokter yang menangani terkesan ogah-ogahan menjawab pertanyaan kami. Komunikasi mampet. Pasien diperlakukan seperti obyek yang wajib nurut apapun kata dokter.

Akhirnya saya nekat ambil VIP, tanpa BPJS.

Ternyata pilihan itu membawa sedikit bonus candaan kecil. Pas diminta bayar DP, baru ketahuan, Kartu ATM yang saya bawa saldonya hanya sejuta lebih dikit.

TREMBELANE!!!

Tapi ternyata, petugas registrasi bilang, kalau dananya belum tersedia, tidak perlu DP dulu. Saya sempat kaget, sampai dia harus mengulang lagi.

Urusan DP selesai, masalah lain menyusul.

Petugas menyerahkan empat lembar kertas seukuran kartu nama, semuanya atas nama saya. sambil berkata, “Keluarga yang belum booster harus swab dulu.”

Nah lho!

Dari empat orang yang mengantar Yuni, cuma satu adik yang sudah booster. Saya, anak, dan adik satunya belum. Sebenarnya saya memang wegah booster. Vaksinpun, kalau bukan terpaksa, butuh sertifikat, enggak sudi juga. Anak, enggak beda jauh – tentu saja karena ngikut saya. Sementara adik, sudah mendapat jadwal minggu depan.

Saat itu saya sedang demam tinggi - Kalau bukan demi istri, sudah pasti tidak akan kuat ninggal kasur. Seandainya saya swab lalu keluar hasil positif, bisa-bisa Yuni ikut masuk karantina. Diisolasi dalam kondisi sakit, besar kemungkinannya akan berakhir buruk.

Saat petugas sekuriti datang untuk mengantar kami ke ruang swab, otak saya langsung kambuh ugal-ugalan, memberi gagasan ngumpet di toilet.

Saya minta ijin telepon. Memberitahu anak dan adik yang berada di lobby, supaya tetap diam di sana  sambil mencari informasi faskes yang melayani booster besok.

Selesai telepon, saya pamit ke toilet, dan langsung kabur menuju tempat parkir.

Ketika sopir melihat saya datang sambil merunduk, lalu bergegas masuk mobil, dia bertanya, kenapa saya bertingkah macam buronan menghindari kejaran polisi?

“Ngumpet, biar tidak diswab!”
Dia langsung ngakak.

Alhamdulillah, Yuni lolos PCR. Langsung masuk, karena harus segera transfusi. Hbnya tinggal 4,2.

Malamnya saya home alone. Anak saya suruh nginap di rumah adik. Selain lebih dekat rumah sakit, biar tidak ketularan demam.

Sejak masih di rumah sakit sebenarnya saya sudah menggigil. Dua paracetamol tidak cukup. Setiba di rumah sebenarnya pengin langsung tidur, tapi sejak saya masuk halaman, kucing-kucing ribut minta makan.

Meskipun saya juga lapar, tapi kepala yang berat membuat saya tidak kuasa bertahan lebih lama, dan langsung rebah di kasur. Mantera “Demi istri” tidak lagi mempan. Terpaksa saya kuatkan hati, mengabaikan teriakan para kucing yang kelaparan.

Saya cukup kuat menahan lapar. Tapi kurang minum, perkara lain. Tidak perlu nunggu lama, saya mulai mengalami halusinasi. Ayah, Ibu, dan beberapa kerabat lain yang sudah meninggal mulai bermunculan. Lama-lama bahkan kucing-kucing yang sudah mati ikut pula nongol. Saya sadar, mereka hanya bayangan halu, akibat kurang minum. Masalahnya, dengan kepala berat, dunia berputar dan badan menggigil, jarak antara saya rebah dengan dispenser terasa lebih jauh ketimbang jarak ke bulan.   

Menjelang saya menyerah, tiba-tiba terdengar bentakan “OHANA!!!”

Halusinasi saya semakin liar. Bahkan sosok fantasi Stitch di film Disney, datang dan main bentak. “NOBODY GETS LEFT BEHIND!”

BEDHES! Saya mengumpat, sambil memaksa diri beranjak ke ruang makan. Selesai minum saya ke luar, memberi makan kucing. Mereka sebenarnya bukan piaraan kami. Cuma kebetulan numpang lahir di rumah. Kalau rumah pas kosong, mereka bisa cari makan sendiri, tapi giliran ada yang di rumah, semua kambuh manja. Makanpun kadang minta ditungguin.

Saya tidak ingat, berapa lama berada di luar. Yang saya tahu, ketika semua kucing sudah pergi, saya tidak lagi kedinginan. Bahkan seandainya setelah itu tidak kejedot pintu, mungkin saya bisa lupa kalau masih punya kepala. Pusingnya tidak terasa lagi.

Jam 4 pagi saya terbangun oleh suara anak ayam. Ciap-ciapnya terdengar semakin mendekat. Tidak mungkin anak ayam kelayaban sepagi ini, kecuali ……. Saya buru-buru bangkit dari tempat tidur, meraih senter, lalu bergegas keluar, menuju arah suara berasal.

Di pojok halaman saya dapati seekor kucing ndhekem. Moncongnya menggigit anak ayam.

“Lepas!!!”

Saya tarik tengkuk kucing itu, sampai anak ayam terlepas. Meskipun lukanya cukup parah, anak ayam itu masih hidup. Saya taruh di ember bekas cat  yang saya sulap jadi kandang darurat, lengkap dengan lampu penghangat dan kain pel sebagai alasnya.

Karena anak ayam itu hanya bisa tenang selama kepalanya menyentuh telunjuk saya, terpaksa saya duduk bengong dekat ember lumayan lama. Beruntung, menjelang terang, dia bisa ditinggal, sehingga saya tidak telat tiba di Puskesmas jam 8, untuk booster.

Meskipun badan sudah terasa baikan, saya sempat ragu. Jidat dan mata masih ada anget-angetnya. Ketika vaksin, saya pernah dua kali ditolak. Pertama karena tekanan darah di atas 200, yang kedua karena demam. Menurut dokter, saat demam tidak boleh vaksin.

Tapi untuk nengok dan nungguin Yuni saya butuh sertifikat booster ……. Bodo amat!!!!

Sebelum berangkat ke Puskesmas, saya minum dua tablet paracetamol.

Booster sukses. Anak, adik, sopir, dan petugas medis tidak ada yang tahu saya sedang demam. Tapi, sekedar antisipasi, saya pamit tidak ikut ke rumah sakit. Kalaupun sampai tumbang, jangan sampai saya ambruk di hadapan Yuni.

Kanker ternyata bukan hanya diagnosis medis, tapi juga guru yang keras dan tanpa ampun. Dia memaksa saya belajar mengambil keputusan secara cepat dalam kondisi tidak menentu, tanpa harus ngawur. Belajar menjadi kuat bukan karena saya mampu, tapi karena tidak ada pilihan lain.

Saya tidak tahu kapan dan bagaimana akhir dari perjalanan ini. Tapi saya tahu satu hal: Demi orang yang saya cintai, saya akan berlari, tidak perduli apapun resikonya.

Untuk siapapun yang telah meluangkan waktu, membaca sampai di sini, saya ucapkan terimakasih.  Jika kamu sedang berada di posisi yang sama — di antara tagihan rumah sakit, ketakutan, dan kelelahan yang tak berujung — ingatlah, kamu tidak sendiri.

Kita bukan pahlawan. Tapi juga bukan pecundang. Kita adalah manusia yang sedang berjuang — dengan cara kita masing-masing.


Tidak ada komentar: