Dulu saya pikir, hidup memang begitu: tak bisa ditebak, tak bisa
dipahami. Tapi belakangan saya sadar, mungkin yang tak beres bukan hidupnya,
melainkan cara saya menjalaninya.
Selama ini saya sibuk mengasah hardware — melatih
otot, logika, dan kecerdasan. Tapi tidak tahu bahwa di dalam tubuh ini ada software
yang mengatur arah: pikiran, emosi, dan intuisi.
Saya seperti orang yang membeli komputer mahal tanpa memahami
sistem operasinya dan tidak tahu bahwa komputer itu baru bermanfaat setelah
saya tahu cara menoperasikan softwarenya. Kadang saya tekan tombol, tak terjadi
apa-apa. Kadang malah muncul pesan error — panik, stres, atau marah tanpa sebab
yang jelas.
Seiring waktu, saya mulai paham, ada software yang sangat berperan
dalam hidup saya. Paham bahwa Pikiran bukan sekadar alat untuk menghitung dan
menganalisis. Emosi bukan musuh, tapi indikator. Dan intuisi — yang dulu saya
abaikan — sering kali memberi arah lebih akurat daripada peta rasional saya.
Kini saya sedang belajar mengenali software itu. Belajar
mendengarkan emosi, memahami arah intuisi, dan menata pikiran agar tidak
terus-menerus error.
Saya belajar memperhatikan pola: Ketika saya bekerja dengan
ketakutan, hasilnya seret. Ketika saya bekerja dengan rasa syukur, banyak pintu
terbuka tanpa saya duga. Ketika saya berhenti memaksa dan mulai percaya, hidup
jadi lebih ringan.
Mungkin di situlah kuncinya: hidup bukan tentang menaklukkan
dunia luar, tapi tentang mengenali sistem di dalam diri sendiri. Karena
ternyata, semesta di luar hanyalah cermin dari semesta di dalam.
Saya menulis ini bukan karena sudah menguasai “software
kehidupan”, tapi justru karena saya masih sering error. Bedanya, kini saya
tidak lagi buru-buru “memukul keyboard” ketika ada gangguan. Saya belajar
melihat pesan yang muncul di layar batin — dan mulai mengerti, mungkin itu
bukan error, tapi update system dari semesta.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar