01 Mei 2024

Hidup Bukan Arena Judi

 


Saya pernah merasa, hidup ini mirip arena judi — penuh taruhan dan untung-untungan.
Ketika saya serius mengerjakan sesuatu, berpikir matang, menyusun rencana sedetail mungkin, hasil akhirnya sering tidak sesuai harapan, bahkan kadang mentok di jalan buntu. Sebaliknya, pada saat saya pasrah, tanpa ekspektasi, setengah hati, atau malah pesimis, justru datang hasil yang di luar dugaan. Jauh lebih baik dari yang saya harapkan. Seolah semesta sedang ngajak bercanda.

Dulu saya pikir, hidup memang begitu: tak bisa ditebak, tak bisa dipahami. Tapi belakangan saya sadar, mungkin yang tak beres bukan hidupnya, melainkan cara saya menjalaninya.

Selama ini saya sibuk mengasah hardware — melatih otot, logika, dan kecerdasan. Tapi tidak tahu bahwa di dalam tubuh ini ada software yang mengatur arah: pikiran, emosi, dan intuisi.

Saya seperti orang yang membeli komputer mahal tanpa memahami sistem operasinya dan tidak tahu bahwa komputer itu baru bermanfaat setelah saya tahu cara menoperasikan softwarenya. Kadang saya tekan tombol, tak terjadi apa-apa. Kadang malah muncul pesan error — panik, stres, atau marah tanpa sebab yang jelas.

Seiring waktu, saya mulai paham, ada software yang sangat berperan dalam hidup saya. Paham bahwa Pikiran bukan sekadar alat untuk menghitung dan menganalisis. Emosi bukan musuh, tapi indikator. Dan intuisi — yang dulu saya abaikan — sering kali memberi arah lebih akurat daripada peta rasional saya.

Kini saya sedang belajar mengenali software itu. Belajar mendengarkan emosi, memahami arah intuisi, dan menata pikiran agar tidak terus-menerus error.

Saya belajar memperhatikan pola: Ketika saya bekerja dengan ketakutan, hasilnya seret. Ketika saya bekerja dengan rasa syukur, banyak pintu terbuka tanpa saya duga. Ketika saya berhenti memaksa dan mulai percaya, hidup jadi lebih ringan.

Mungkin di situlah kuncinya: hidup bukan tentang menaklukkan dunia luar, tapi tentang mengenali sistem di dalam diri sendiri. Karena ternyata, semesta di luar hanyalah cermin dari semesta di dalam.

Saya menulis ini bukan karena sudah menguasai “software kehidupan”, tapi justru karena saya masih sering error. Bedanya, kini saya tidak lagi buru-buru “memukul keyboard” ketika ada gangguan. Saya belajar melihat pesan yang muncul di layar batin — dan mulai mengerti, mungkin itu bukan error, tapi update system dari semesta.

Tidak ada komentar: