28 September 2023

Justru Menuai Kekacauan

Kehidupan, seberantakan apa pun kelihatannya, sebenarnya selalu punya pola. Mungkin tidak selalu logis, tidak selalu ideal, bahkan bisa jadi menyebalkan, Tapi tetap saja ada keteraturan tersembunyi di balik rutinitasnya.

Saat seseorang ingin memperbaiki hidup, pada dasarnya sedang berusaha mengubah pola itu. Di sini masalahnya bermula.

Mengubah pola hidup mirip seperti merombak bangunan tanpa memindahkan penghuninya. Ada suara gaduh, ada debu dan reruntuhan. Ada ruang-ruang yang tiba-tiba tidak bisa dipakai. Bahkan kadang membuat bingung, ini sedang diperbaiki atau justru dihancurkan?

Tubuh, pikiran, dan emosi kita sudah terlalu terbiasa dengan pola lama, tidak perduli meskipun sebenarnya pola itu punya potensi merusak. Saya tahu, bermalas-malasan, makan apapun asal enak di lidah, begadang sambil nonton video receh, bukan hidup ideal, tapi saya lakoni, karena terasa nyaman, dan sepertinya tidak terlalu buruk.

Saat saya mencoba disiplin, makan lebih sehat, bangun lebih pagi, berhenti menunda-nunda, atau sekadar berpikir positif—pola lama akan memprotes. Tidak dengan teriakan, tapi dengan bisikan-bisikan halus:
"Makan menu sehatnya mulai besok saja."
"Gagal sekali bukan berarti gagal selamanya, santai dulu."
"Hidup harus dinikmati, jangan terlalu keras pada diri sendiri."

Dulu saya membayangkan perubahan seperti naik tangga dengan langkah ringan tapi mantap dan terarah. Kenyataannya, bukan sekedar kesandung di setiap anak-tangga, melainkan nyungsep, tersungkur, bahkan terlempar mundur beberapa langkah. .

Perubahan ternyata datang bersama kekacauan. Seperti dapur yang makin berantakan saat sedang dibersihkan. Seperti kamar yang tampak lebih kacau saat sedang ditata ulang.

Seseorang pernah berkata,“Kekacauan bukan lawan dari keteraturan, melainkan rahim tempat keteraturan baru sedang dibentuk.”

Barangkali, kekacauan adalah suara dari keteraturan lama yang sedang diganti. Seperti ketika rumah direnovasi, memang harus berantakan dulu sebelum berubah menjadi lebih nyaman.

Di samping itu, setiap sistem yang diubah butuh waktu untuk beradaptasi. Pola baru tidak langsung stabil. Seperti tanaman yang baru dipindahkan, awalnya terlihat layu, rapuh, dan terlihat seperti akan mati. Tapi setelah cukup disiram, dirawat, dan diberi perhatian, akan tumbuh akar baru.

Hidup, saat sedang mengalami proses perubahan, persis seperti itu. Mestinya saya tidak perlu panik, tidak usah buru-buru menganggap kekacauan sebagai pertanda kegagalan. Selama terus tekun berusaha dan sabar, keseimbangan baru akan terbentuk. Mungkin tidak sempurna, tapi cukup stabil sebagai pijakan untuk langkah selanjutnya. Di situlah kita bisa bernapas lega dan berkata: “Akhirnya mulai terasa lebih baik.”

MASALAHNYA, saya melakukan perubahan karena ingin mendapatkan suasana yang lebih baik, sementara yang terjadi justru sebaliknya. Nalar saya bisa memahami bahwa proses sedang berlangsung, TAPI SAMPAI KAPAN?

Kalau realitanya saya justru menghadapi lebih banyak masalah, untuk apa berusaha berubah?

Mending kemarin. Meskipun rejeki hanya mengalir kecil seperti air PAM di musim kemarau, saya tidak pernah kekurangan. Meskipun setiap hari sekujur badan serasa habis digebugi orang sekampung, saya masih mampu beraktifitas lebih baik.

Setelah berusaha berubah, rejeki justru seret, badan berasa semakin remuk. Semakin sulit konsentrasi. Kambuh pikun. 

Jangan-jangan nanti aritmia dan vertigonya ikut muncul pula!!!

Lalu, di tengah semua keluhan itu, suara halus di kepala berbisik, “Kalau kamu tidak berusaha berubah, suatu saat kekacauan itu juga akan terjadi. Bukan karena kamu sengaja membongkarnya untuk diperbaiki, melainkan runtuh sendiri dimakan waktu. Niatmu untuk berubah mirip seperti tim gegana sengaja meledakkan bom secara terkendali, agar tidak meledak secara liar di waktu dan tempat yang tidak terduga.”

Pada akirnya hanya tersisa pilihan sederhana yang tidak mudah: Sengaja memicu kekacauan supaya terjadi sekarang, saat saya masih punya tenaga dan mampu mengendalikan diri menghadapi tekanan, atau membiarkan kelak suatu saat, entah kapan, meledak sendiri, ketika saya terlanjur uzur dan tidak lagi mampu berbuat apa-apa, selain menelan begitu saja semua deritanya dan, barangkali, sambil menyesal.

Sama-sama berat, tapi pilihan pertama masih membawa harapan baik.

Saya tidak tahu kapan hidup akan terasa lebih ringan. Tapi saya tahu satu hal: kekacauan ini bukan tanpa arah, melainkan bagian dari proses. Tanda bahwa saya sedang menyusun ulang hidup saya, meski kadang dengan tangan gemetar dan hati setengah yakin.

Tapi, selama saya masih punya alasan untuk mencoba lagi besok pagi, berarti saya belum kalah.

Tidak ada komentar: