Dalam banyak keputusan hidup, saya dulu selalu mengandalkan logika. Saya hitung untung-rugi, saya buat daftar kemungkinan, saya pertimbangkan semua risiko. Seolah hidup adalah persamaan matematika yang bisa diselesaikan dengan presisi sempurna. Tapi, justru ketika semua tampak sudah saya rencanakan dengan matang, hasilnya sering berantakan. Sebaliknya, pada saat-saat saya menyerah dari analisis berlebihan dan memilih mengikuti “suara kecil” yang tak bisa dijelaskan secara rasional, keadaan justru berjalan lebih lancar—seolah semesta ikut menuntun.
Pikiran seperti komentator sepak bola, tak henti-hentinya
menilai, menebak skenario, memberi saran, bahkan menghakimi. Ia bicara dengan
volume tinggi, seolah hanya dialah yang tahu jalan terbaik. Sementara itu, suara
batin hanya berbisik pelan. Tidak memaksa, tidak berdebat, tidak menuntut
perhatian. Hanya berbisik lembut dari ruang sunyi yang jarang saya
kunjungi—ruang yang hanya bisa dijangkau ketika saya berhenti sejenak dari
hiruk-pikuk pikiran.
Masalahnya, saya hidup di dunia yang bising. Notifikasi
ponsel, tuntutan pekerjaan, ekspektasi sosial, bahkan suara internal yang
terus-menerus menuntut “harus begini, harus begitu”, menutupi bisikan halus
dari dalam diri. Saya terbiasa berpikir keras, dan hampir tidak punya waktu
untuk berdiam. Padahal, suara batin tidak datang di tengah keramaian pikiran,
melainkan muncul di sela-sela keheningan—ketika kita berani berhenti, menarik
napas, dan benar-benar mendengarkan.
Suatu malam, di tengah kebimbangan atas keputusan penting
yang harus diambil, saya berhenti menimbang-nimbang. Tidak ada daftar
pro-kontra, tidak ada simulasi skenario. Saya hanya duduk diam, membiarkan
tubuh dan pikiran melepas beban. Tanpa sadar, napas saya melambat. Dan di
tengah keheningan itu, muncul kalimat singkat yang terasa seperti pelukan dari
dalam diri sendiri:
“Tenang saja. Lakukan yang terasa ringan.”
Kalimat sederhana itu membawa kedamaian luar biasa. Bukan
karena ia memberi solusi praktis, tapi karena menghadirkan rasa percaya bahwa
jalan yang benar tidak selalu yang paling rumit. Bahwa hidup bisa mengalir jika
saya berhenti memaksanya.
Dan benar—setelah saya ikuti dengan ringan, tanpa beban
berlebihan, langkah-langkah berikutnya seolah mengalir sendiri. Tidak ada
drama, tidak ada kepanikan. Hanya kejelasan yang tenang.
Sejak saat itu, saya mulai
belajar membedakan tiga suara dalam diri:
· Suara hati, menenangkan, memberi kejelasan tanpa banyak alasan, dan selalu membawa rasa damai.
· Suara intuisi, yang sering datang tiba-tiba—tanpa kata, tanpa penjelasan—tapi membuat kita tahu, dengan pasti, arah mana yang benar.
Kini saya mulai paham, hidup bukan soal mencari suara paling
keras, paling meyakinkan, atau paling logis, tapi mengenali suara paling jujur
dalam diri sendiri—suara yang tidak berteriak, tapi selalu hadir, menunggu kita
mau berhenti sejenak untuk mendengarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar