26 Mei 2024

Belajar Mendengar Suara dari Dalam


Dalam banyak keputusan hidup, saya dulu selalu mengandalkan logika. Saya hitung untung-rugi, saya buat daftar kemungkinan, saya pertimbangkan semua risiko. Seolah hidup adalah persamaan matematika yang bisa diselesaikan dengan presisi sempurna. Tapi, justru ketika semua tampak sudah saya rencanakan dengan matang, hasilnya sering berantakan. Sebaliknya, pada saat-saat saya menyerah dari analisis berlebihan dan memilih mengikuti “suara kecil” yang tak bisa dijelaskan secara rasional, keadaan justru berjalan lebih lancar—seolah semesta ikut menuntun. 

Baru belakangan saya sadar: selama ini saya tidak benar-benar mendengarkan diri sendiri. Saya hanya mendengar pikiran yang keras, cepat, penuh argumen. Saya bahkan tidak mengenali suara batin. Keduanya sering terdengar mirip, bahkan menggunakan kata-kata yang sama, namun sumbernya berbeda. Pikiran berasal dari kepala yang terus berputar; suara batin datang dari kedalaman jiwa yang tenang.

Pikiran seperti komentator sepak bola, tak henti-hentinya menilai, menebak skenario, memberi saran, bahkan menghakimi. Ia bicara dengan volume tinggi, seolah hanya dialah yang tahu jalan terbaik. Sementara itu, suara batin hanya berbisik pelan. Tidak memaksa, tidak berdebat, tidak menuntut perhatian. Hanya berbisik lembut dari ruang sunyi yang jarang saya kunjungi—ruang yang hanya bisa dijangkau ketika saya berhenti sejenak dari hiruk-pikuk pikiran.

Masalahnya, saya hidup di dunia yang bising. Notifikasi ponsel, tuntutan pekerjaan, ekspektasi sosial, bahkan suara internal yang terus-menerus menuntut “harus begini, harus begitu”, menutupi bisikan halus dari dalam diri. Saya terbiasa berpikir keras, dan hampir tidak punya waktu untuk berdiam. Padahal, suara batin tidak datang di tengah keramaian pikiran, melainkan muncul di sela-sela keheningan—ketika kita berani berhenti, menarik napas, dan benar-benar mendengarkan.

Suatu malam, di tengah kebimbangan atas keputusan penting yang harus diambil, saya berhenti menimbang-nimbang. Tidak ada daftar pro-kontra, tidak ada simulasi skenario. Saya hanya duduk diam, membiarkan tubuh dan pikiran melepas beban. Tanpa sadar, napas saya melambat. Dan di tengah keheningan itu, muncul kalimat singkat yang terasa seperti pelukan dari dalam diri sendiri:

“Tenang saja. Lakukan yang terasa ringan.”

Kalimat sederhana itu membawa kedamaian luar biasa. Bukan karena ia memberi solusi praktis, tapi karena menghadirkan rasa percaya bahwa jalan yang benar tidak selalu yang paling rumit. Bahwa hidup bisa mengalir jika saya berhenti memaksanya.

Dan benar—setelah saya ikuti dengan ringan, tanpa beban berlebihan, langkah-langkah berikutnya seolah mengalir sendiri. Tidak ada drama, tidak ada kepanikan. Hanya kejelasan yang tenang.

Sejak saat itu, saya mulai belajar membedakan tiga suara dalam diri:

·        Suara pikiran, membuat kepala penuh pertimbangan, cemas, dan kadang lelah.
·        Suara hati, menenangkan, memberi kejelasan tanpa banyak alasan, dan selalu membawa rasa damai.
·        Suara intuisi, yang sering datang tiba-tiba—tanpa kata, tanpa penjelasan—tapi membuat kita tahu,           dengan pasti, arah mana yang benar.

Untuk mendengarnya, saya tidak perlu pergi ke tempat sunyi. Saya hanya perlu diam — benar-benar diam — bahkan di tengah keramaian. Diam yang bukan sekadar tidak bicara, tapi diam yang mendengarkan.

Kini saya mulai paham, hidup bukan soal mencari suara paling keras, paling meyakinkan, atau paling logis, tapi mengenali suara paling jujur dalam diri sendiri—suara yang tidak berteriak, tapi selalu hadir, menunggu kita mau berhenti sejenak untuk mendengarnya.

Dan sering kali, ketika saya akhirnya mau diam, suara itu muncul—pelan, tapi pasti, membawa saya pulang ke arah yang sejak awal saya cari tanpa menyadari bahwa sesungguhnya saya selalu berada di sana.

Tidak ada komentar: