23 Mei 2024

Guru Kecil di Antara Meja Kantor

 

guru, balita, anak

Kadang, pelajaran paling dalam tentang hidup justru datang dari hal-hal yang paling tak terduga—bukan dari buku tebal, seminar mahal, atau nasihat bijak para tokoh, melainkan dari tawa cekikikan dan tangis spontan seorang bocah yang berlarian tanpa beban di antara meja-meja kantor yang biasanya kaku dan sunyi.

Beberapa waktu lalu, saya membuat keputusan yang mungkin terdengar “tidak profesional” di telinga dunia korporat: saya mengizinkan seorang karyawan perempuan membawa anaknya yang masih di bawah tiga tahun ke tempat kerja. Alasannya sederhana—ia tak punya siapa-siapa yang bisa menjaga sang buah hati, dan saya tak tega melihatnya terjepit antara tanggung jawab pekerjaan dan panggilan hati sebagai ibu. Namun konsekuensinya nyata: suasana kantor yang biasanya tenang dan teratur berubah jadi ruang yang kadang riuh, kadang kacau, kadang lucu, dan seringkali menguji kesabaran.

Awalnya, saya mengira ini hanya soal toleransi—sekadar memberi ruang bagi kehidupan nyata masuk ke dalam dunia kerja yang sering kali terlalu steril. Tapi lama-kelamaan, saya menyadari sesuatu yang jauh lebih dalam. Bocah kecil itu—dengan keluguan, spontanitas, dan perubahan suasana hati yang tak terduga—mulai berperan seperti cermin hidup. Ia tak bicara dengan kata-kata, tapi dengan keberadaannya yang utuh, ia seolah memantulkan keadaan batin saya sendiri.

Ketika pikiran saya tenang, napas saya longgar, dan hati saya lapang, ia mudah diajak bermain, tertawa, bahkan diam sejenak memperhatikan saya bekerja. Tapi begitu saya mulai gelisah—tertekan deadline, merasa kuwatir, atau terjebak dalam pikiran berputar—ia tiba-tiba jadi rewel, menangis tanpa sebab yang jelas, atau berlari tak tentu arah. Awalnya saya mengira itu kebetulan. Tapi semakin sering kejadian itu berulang, semakin jelas: ia membaca frekuensi batin saya yang paling dalam—frekuensi yang bahkan saya sendiri sering tak sadari.

Dari situ, saya mulai belajar bahwa anak kecil bukan hanya makhluk yang butuh dirawat, tapi juga guru kecil yang hadir tanpa diundang. Mereka belum belajar berpura-pura. Mereka belum mengenal topeng. Mereka hanya merespons keaslian—atau ketidakaslian—yang kita pancarkan. Dan dalam ketulusan mereka, kita justru bisa melihat diri kita sendiri dengan jujur.

Perkembangan bocah itu pun seperti metafora hidup saya sendiri. Dulu, saya juga seperti dia: bereaksi pada segala hal, mudah terguncang oleh kekacauan luar, mencari kepastian di tempat yang tak pasti. Tapi perlahan, lewat kehadirannya yang tak terduga di ruang kerja saya, saya belajar mengenali ketenangan di tengah kebisingan, keteraturan di balik kekacauan, dan makna di balik hal-hal yang tampak remeh.

Mungkin memang begitulah cara alam semesta mengajar kita—bukan lewat petir atau gempa, tapi lewat langkah kecil sepasang kaki mungil yang berlari mendekat sambil memegang mainan. Bukan lewat suara megafon, tapi lewat bisikan tawa yang tiba-tiba menghentikan semua pikiran cemas dalam kepala.

Kini, setiap kali bocah itu datang—entah sambil tertawa riang atau menangis karena mainannya jatuh—saya tak lagi melihatnya hanya sebagai gangguan atau tanggung jawab tambahan. Saya melihatnya sebagai cermin hidup, sebagai utusan kecil dari kebijaksanaan semesta yang mengingatkan saya: bahwa kehidupan bukan hanya soal produktivitas, efisiensi, atau pencapaian, tapi juga soal kehadiran, kepekaan, dan cinta yang tulus.

Dan mungkin, memang begitulah kita semua belajar mengenali semesta: Bukan dari langit luas di atas kepala, tapi dari mata kecil yang memandang kita tanpa topeng, dengan cinta yang polos, tanpa syarat,
dan tanpa perlu berkata apa-apa.

Tidak ada komentar: