Kadang, pelajaran paling dalam tentang hidup justru datang dari hal-hal yang paling tak terduga—bukan dari buku tebal, seminar mahal, atau nasihat bijak para tokoh, melainkan dari tawa cekikikan dan tangis spontan seorang bocah yang berlarian tanpa beban di antara meja-meja kantor yang biasanya kaku dan sunyi.
Beberapa waktu lalu, saya membuat keputusan yang mungkin
terdengar “tidak profesional” di telinga dunia korporat: saya mengizinkan
seorang karyawan perempuan membawa anaknya yang masih di bawah tiga tahun ke
tempat kerja. Alasannya sederhana—ia tak punya siapa-siapa yang bisa menjaga
sang buah hati, dan saya tak tega melihatnya terjepit antara tanggung jawab
pekerjaan dan panggilan hati sebagai ibu. Namun konsekuensinya nyata: suasana
kantor yang biasanya tenang dan teratur berubah jadi ruang yang kadang riuh,
kadang kacau, kadang lucu, dan seringkali menguji kesabaran.
Awalnya, saya mengira ini hanya soal toleransi—sekadar
memberi ruang bagi kehidupan nyata masuk ke dalam dunia kerja yang sering kali
terlalu steril. Tapi lama-kelamaan, saya menyadari sesuatu yang jauh lebih
dalam. Bocah kecil itu—dengan keluguan, spontanitas, dan perubahan suasana hati
yang tak terduga—mulai berperan seperti cermin hidup. Ia tak bicara dengan
kata-kata, tapi dengan keberadaannya yang utuh, ia seolah memantulkan keadaan
batin saya sendiri.
Ketika pikiran saya tenang, napas saya longgar, dan hati
saya lapang, ia mudah diajak bermain, tertawa, bahkan diam sejenak
memperhatikan saya bekerja. Tapi begitu saya mulai gelisah—tertekan deadline, merasa
kuwatir, atau terjebak dalam pikiran berputar—ia tiba-tiba jadi rewel, menangis
tanpa sebab yang jelas, atau berlari tak tentu arah. Awalnya saya mengira itu
kebetulan. Tapi semakin sering kejadian itu berulang, semakin jelas: ia membaca
frekuensi batin saya yang paling dalam—frekuensi yang bahkan saya sendiri
sering tak sadari.
Dari situ, saya mulai belajar bahwa anak kecil bukan hanya
makhluk yang butuh dirawat, tapi juga guru kecil yang hadir tanpa diundang.
Mereka belum belajar berpura-pura. Mereka belum mengenal topeng. Mereka hanya
merespons keaslian—atau ketidakaslian—yang kita pancarkan. Dan dalam ketulusan
mereka, kita justru bisa melihat diri kita sendiri dengan jujur.
Perkembangan bocah itu pun seperti metafora hidup saya
sendiri. Dulu, saya juga seperti dia: bereaksi pada segala hal, mudah
terguncang oleh kekacauan luar, mencari kepastian di tempat yang tak pasti.
Tapi perlahan, lewat kehadirannya yang tak terduga di ruang kerja saya, saya
belajar mengenali ketenangan di tengah kebisingan, keteraturan di balik
kekacauan, dan makna di balik hal-hal yang tampak remeh.
Mungkin memang begitulah cara alam semesta mengajar
kita—bukan lewat petir atau gempa, tapi lewat langkah kecil sepasang kaki
mungil yang berlari mendekat sambil memegang mainan. Bukan lewat suara megafon,
tapi lewat bisikan tawa yang tiba-tiba menghentikan semua pikiran cemas dalam
kepala.
Kini, setiap kali bocah itu datang—entah sambil tertawa
riang atau menangis karena mainannya jatuh—saya tak lagi melihatnya hanya
sebagai gangguan atau tanggung jawab tambahan. Saya melihatnya sebagai cermin
hidup, sebagai utusan kecil dari kebijaksanaan semesta yang mengingatkan saya:
bahwa kehidupan bukan hanya soal produktivitas, efisiensi, atau pencapaian,
tapi juga soal kehadiran, kepekaan, dan cinta yang tulus.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar