Namun pelan-pelan saya belajar, ternyata bukan sekadar soal
“berpikir positif.” Hukum ini bekerja bukan melalui kekuatan pikiran semata,
melainkan melalui getaran batin—frekuensi halus yang dihasilkan oleh
keselarasan antara pikiran, perasaan, dan tindakan.
Saya mulai memperhatikan bagaimana tubuh saya merespons
pikiran. Ketika pikiran dipenuhi kecemasan, tubuh ikut kaku—napas menjadi
pendek, dada terasa sesak, bahkan tidur pun tak lagi nyenyak. Sebaliknya,
ketika pikiran tenang, tubuh seolah menghela napas lega. Detak jantung
melambat, otot-otot melemas, dan ada rasa hangat yang menjalar dari dalam. Saya
sadar: tubuh bukan hanya butuh obat, tapi juga kedamaian. Dan kedamaian itu
lahir bukan dari luar, melainkan dari keheningan yang kita rawat di dalam diri.
Sekarang saya mulai melihat hidup seperti sebuah komposisi
musik. Tubuh dan semesta ibarat dua musisi yang sedang berduet. Jika
frekuensinya selaras, akan menghasilan harmoni yang indah, mengalir, dan
menyentuh jiwa. Tapi begitu salah satu kehilangan nadanya—terlalu memaksakan,
terlalu cemas, terlalu menuntut—seluruh melodi jadi kacau.
Dulu, saya sering menjadi musisi yang tak sabaran. Saya
berdoa dengan suara lantang, memohon keajaiban secepatnya datang. Saya
“menarik” dengan penuh nafsu, seolah semesta adalah mesin penjawab doa yang
harus segera merespons permintaan saya. Tapi semakin saya menuntut, semakin
jauh rasanya. Semesta seolah diam—atau mungkin saya yang terlalu ribut untuk
mendengar jawabnya.
Perubahan datang justru saat saya berhenti melawan. Saat
saya melepaskan keinginan untuk mengontrol segalanya, dan mulai menerima bahwa
hidup punya iramanya sendiri—kadang cepat, kadang lambat, tapi selalu tepat
pada waktunya. Di sanalah saya mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan berupa
keajaiban yang mengguncang dunia, tapi lewat kejadian kecil yang terasa sangat
tepat waktu.
Saya pun mulai memahami: pikiran yang damai adalah magnet
paling kuat. Ia tak memaksa, tak menuntut—ia hanya memancarkan getaran yang
jernih. Dan semesta, yang selalu mendengar, merespons bukan dengan gemuruh,
tapi dengan bisikan halus yang hanya bisa ditangkap oleh hati yang tenang.
Di dalam kelapangan itu, jawaban atas doa-doa mulai
muncul—bukan dalam bentuk mujizat, tapi dalam bentuk kejelasan, keberanian,
atau bahkan dalam bentuk keheningan yang penuh makna.
Kini saya paham: Law of Attraction bukan tentang
“menarik sesuatu dari luar”. Ia adalah proses mengupas lapisan-lapisan kabut—kekhawatiran,
keraguan, ketakutan—yang selama ini menutupi cahaya yang sudah ada di dalam
diri kita. Kesehatan, kedamaian, cinta… semuanya bukan sesuatu yang harus kita
kejar dari luar. Mereka sudah ada, utuh dan sempurna, menunggu kita berhenti
berisik agar bisa kembali menyentuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar