06 Mei 2024

Ketika Pikiran Belajar Mengundang Keajaiban

 


Dulu saya sering mendengar istilah Law of Attraction — hukum tarikan semesta. Katanya, apa pun yang kita pikirkan, baik atau buruk, akan tertarik masuk ke dalam realitas hidup kita.. Kedengarannya hebat, tapi juga agak menggelikan. Masa iya, hidup bisa berubah hanya karena saya membayangkan hal-hal indah sepanjang hari? Rasanya terlalu terlalu naif untuk dipercaya di tengah dunia yang penuh ketidakpastian ini.

Namun pelan-pelan saya belajar, ternyata bukan sekadar soal “berpikir positif.” Hukum ini bekerja bukan melalui kekuatan pikiran semata, melainkan melalui getaran batin—frekuensi halus yang dihasilkan oleh keselarasan antara pikiran, perasaan, dan tindakan.

Saya mulai memperhatikan bagaimana tubuh saya merespons pikiran. Ketika pikiran dipenuhi kecemasan, tubuh ikut kaku—napas menjadi pendek, dada terasa sesak, bahkan tidur pun tak lagi nyenyak. Sebaliknya, ketika pikiran tenang, tubuh seolah menghela napas lega. Detak jantung melambat, otot-otot melemas, dan ada rasa hangat yang menjalar dari dalam. Saya sadar: tubuh bukan hanya butuh obat, tapi juga kedamaian. Dan kedamaian itu lahir bukan dari luar, melainkan dari keheningan yang kita rawat di dalam diri.

Sekarang saya mulai melihat hidup seperti sebuah komposisi musik. Tubuh dan semesta ibarat dua musisi yang sedang berduet. Jika frekuensinya selaras, akan menghasilan harmoni yang indah, mengalir, dan menyentuh jiwa. Tapi begitu salah satu kehilangan nadanya—terlalu memaksakan, terlalu cemas, terlalu menuntut—seluruh melodi jadi kacau.

Dulu, saya sering menjadi musisi yang tak sabaran. Saya berdoa dengan suara lantang, memohon keajaiban secepatnya datang. Saya “menarik” dengan penuh nafsu, seolah semesta adalah mesin penjawab doa yang harus segera merespons permintaan saya. Tapi semakin saya menuntut, semakin jauh rasanya. Semesta seolah diam—atau mungkin saya yang terlalu ribut untuk mendengar jawabnya.

Perubahan datang justru saat saya berhenti melawan. Saat saya melepaskan keinginan untuk mengontrol segalanya, dan mulai menerima bahwa hidup punya iramanya sendiri—kadang cepat, kadang lambat, tapi selalu tepat pada waktunya. Di sanalah saya mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan berupa keajaiban yang mengguncang dunia, tapi lewat kejadian kecil yang terasa sangat tepat waktu.

Saya pun mulai memahami: pikiran yang damai adalah magnet paling kuat. Ia tak memaksa, tak menuntut—ia hanya memancarkan getaran yang jernih. Dan semesta, yang selalu mendengar, merespons bukan dengan gemuruh, tapi dengan bisikan halus yang hanya bisa ditangkap oleh hati yang tenang.

Di dalam kelapangan itu, jawaban atas doa-doa mulai muncul—bukan dalam bentuk mujizat, tapi dalam bentuk kejelasan, keberanian, atau bahkan dalam bentuk keheningan yang penuh makna.

Kini saya paham: Law of Attraction bukan tentang “menarik sesuatu dari luar”. Ia adalah proses mengupas lapisan-lapisan kabut—kekhawatiran, keraguan, ketakutan—yang selama ini menutupi cahaya yang sudah ada di dalam diri kita. Kesehatan, kedamaian, cinta… semuanya bukan sesuatu yang harus kita kejar dari luar. Mereka sudah ada, utuh dan sempurna, menunggu kita berhenti berisik agar bisa kembali menyentuhnya.

Maka kini, saya tak lagi sibuk “mengundang keajaiban”. Saya hanya berusaha menjaga pikiran agar tetap jernih seperti air danau di pagi hari, dan hati agar tetap lapang seperti langit tanpa awan. Karena keajaiban selalu ada di sekitar kita, hanya menunggu kita cukup tenang untuk melihatnya.

Tidak ada komentar: