13 September 2023

Ternyata Tidak Gampang


Saya pernah membayangkan proses memperbaiki diri itu seperti naik sepeda di jalan datar. Meskipun harus mengayuh, asal konsisten, pasti sampai. Kenyataannya, jalan yang saya lewati ternyata menanjak lumayan terjal, berkerikil , licin, dan berangin kencang.

Di awal-awal, saya sempat merasa optimis. Bangun pagi, melakukan rutinitas sehat, bahkan menuliskan refleksi dengan semangat. Tapi begitu masuk minggu kedua, bukan semakin lancar dan baik, malah sebaliknya, terasa berantakan.

Masalah yang tadinya saya harap akan berkurang, justru datang bertubi-tubi. Belum selesai satu, sudah muncul dua. Bahkan hal-hal sepele pun mendadak terasa menjengkelkan. Rutinitas terganggu, fokus buyar, dan yang paling berat: semangat perlahan menipis. Godaan untuk menyerah, dan membiarkan hidup mengalir seadanya seperti semula, terasa semakin kuat. Mungkin jatah untuk saya dari Tuhan memang hanya segitu.

Yang membuat emangat makin loyo, perubahan yang saya harapkan tidak kunjung terjadi. Dari hari ke hari tetap begitu-begitu saja. Bahkan terasa lebih membosankan. Kesulitan tetap datang tanpa ampun. Bahkan cuaca pun seakan ikut-ikutan tidak bersahabat.

Tapi di antara semua kondisi yang semakin menekan batin itu, masih tersisa sedikit bara keyakinan bahwa segala kesulitan itu bukan hambatan, melainkan proses yang memang harus saya jalani. Sesuatu di kepala berulangkali berbisik mengingatkan, saya menetapkan target sendiri, maka saya harus mau menerima resikonya. Tidak ada jalan landai dan mulus menuju puncak.

Memperbaiki diri bukan perubahan drastis dalam waktu cepat. Bukan cerita tentang menjadi versi ideal dalam semalam, tapi memilih untuk terus mencoba, bahkan saat tidak ada yang mendukung, dan hasilnya belum ketahuan akapan akan terwujud.

Pada akhirnya saya harus menerima kenyataan, begitulah cara semesta bekerja. Tidak memberi hadiah instan, melainkan hanya memberi kesempatan pada siapapun untuk mewujudkan keinginan, selama mau berusaha. Alam semesta tidak memberi respon  pada niat atau kata-kata, tapi hanya memberi sesuai kemampuan seseorang meraih keinginannya.

Setiap niat baik selalu punya lawan tanding. Mau meditasi lima menit, tiba-tiba masuk pesan WA dari customer, minta supaya surat penawaran segera dikirim secepatnya. Sedang siap-siap nulis jurnal harian, notifikasi di HP mendadak rame. Niatnya tengok sebentar, ternyata sedang ada ribut-ribut politik yang membuat saya naik darah.

Dan yang paling ajaib, begitu saya berusaha bertahan tidak nyimpang dari target, masalah-masalah baru muncul bareng, keroyokan, macam orang rebutan bantuan sembako menjelang pilkada. Atap kamar mendadak bocor, kipas angin ngadat, hard disk tidak terbaca. Bahkan sandal saya jebol begitu saja, padahal sebelumnya terlihat baik baik saja.

Saya sempat bertanya-tanya, “Apakah ini pertanda saya salah menetapkan target?”. Bahkan pernah pula terpikir, jangan-jangan Tuhan tidak berkenan?

Tapi setelah beberapa minggu, dengan banyak momen nyaris menyerah, saya mulai paham: ternyata perubahan itu bukan urusan pamer hasil, tapi tentang mengelola kekacauan. Bukan sekedar kelihatan rajin dan bersemangat, tapi tetap mencoba meskipun hari ini gagal total.

Kadang berasa seperti mendaki gunung hanya modal sandal jepit, menghadapi medan yang licin dan berbatu. Lambat, tapi tetap naik.

Maka saya putuskan, saya tidak akan menyalahkan diri sendiri saat tergelincir. Tidak akan mundur hanya karena hasil belum kelihatan. Yang penting tidak berhenti. Karena memperbaiki diri, sejatinya bukan tentang menjadi sempurna. Tapi tentang tidak menyerah meskipun sering tergoda untuk rebahan sambil ngulik HP dan ngemil donat cokelat.

Tidak ada komentar: