Saya pernah membayangkan proses memperbaiki diri itu seperti naik sepeda di jalan datar. Meskipun harus mengayuh, asal konsisten, pasti sampai. Kenyataannya, jalan yang saya lewati ternyata menanjak lumayan terjal, berkerikil , licin, dan berangin kencang.
Di awal-awal, saya sempat merasa optimis. Bangun pagi,
melakukan rutinitas sehat, bahkan menuliskan refleksi dengan semangat. Tapi
begitu masuk minggu kedua, bukan semakin lancar dan baik, malah sebaliknya, terasa
berantakan.
Masalah yang tadinya saya harap akan berkurang, justru datang
bertubi-tubi. Belum selesai satu, sudah muncul dua. Bahkan hal-hal sepele pun
mendadak terasa menjengkelkan. Rutinitas terganggu, fokus buyar, dan yang
paling berat: semangat perlahan menipis. Godaan untuk menyerah, dan membiarkan
hidup mengalir seadanya seperti semula, terasa semakin kuat. Mungkin jatah untuk
saya dari Tuhan memang hanya segitu.
Yang membuat emangat makin loyo, perubahan yang saya
harapkan tidak kunjung terjadi. Dari hari ke hari tetap begitu-begitu saja.
Bahkan terasa lebih membosankan. Kesulitan tetap datang tanpa ampun. Bahkan
cuaca pun seakan ikut-ikutan tidak bersahabat.
Tapi di antara semua kondisi yang semakin menekan batin itu,
masih tersisa sedikit bara keyakinan bahwa segala kesulitan itu bukan hambatan,
melainkan proses yang memang harus saya jalani. Sesuatu di kepala berulangkali
berbisik mengingatkan, saya menetapkan target sendiri, maka saya harus mau
menerima resikonya. Tidak ada jalan landai dan mulus menuju puncak.
Memperbaiki diri bukan perubahan drastis dalam waktu cepat.
Bukan cerita tentang menjadi versi ideal dalam semalam, tapi memilih untuk
terus mencoba, bahkan saat tidak ada yang mendukung, dan hasilnya belum ketahuan
akapan akan terwujud.
Pada akhirnya saya harus menerima kenyataan, begitulah cara
semesta bekerja. Tidak memberi hadiah instan, melainkan hanya memberi
kesempatan pada siapapun untuk mewujudkan keinginan, selama mau berusaha. Alam
semesta tidak memberi respon pada niat atau kata-kata,
tapi hanya memberi sesuai kemampuan seseorang meraih keinginannya.
Setiap niat baik selalu punya lawan tanding. Mau meditasi
lima menit, tiba-tiba masuk pesan WA dari customer, minta supaya surat penawaran
segera dikirim secepatnya. Sedang siap-siap nulis jurnal harian, notifikasi di HP
mendadak rame. Niatnya tengok sebentar, ternyata sedang ada ribut-ribut politik
yang membuat saya naik darah.
Dan yang paling ajaib, begitu saya berusaha bertahan tidak
nyimpang dari target, masalah-masalah baru muncul bareng, keroyokan, macam orang
rebutan bantuan sembako menjelang pilkada. Atap kamar mendadak bocor, kipas
angin ngadat, hard disk tidak terbaca. Bahkan sandal saya jebol begitu saja, padahal
sebelumnya terlihat baik baik saja.
Saya sempat bertanya-tanya, “Apakah ini pertanda saya salah
menetapkan target?”. Bahkan pernah pula terpikir, jangan-jangan Tuhan tidak
berkenan?
Tapi setelah beberapa minggu, dengan banyak momen nyaris
menyerah, saya mulai paham: ternyata perubahan itu bukan urusan pamer hasil,
tapi tentang mengelola kekacauan. Bukan sekedar kelihatan rajin dan
bersemangat, tapi tetap mencoba meskipun hari ini gagal total.
Kadang berasa seperti mendaki gunung hanya modal sandal
jepit, menghadapi medan yang licin dan berbatu. Lambat, tapi tetap naik.
Maka saya putuskan, saya tidak akan menyalahkan diri sendiri
saat tergelincir. Tidak akan mundur hanya karena hasil belum kelihatan. Yang
penting tidak berhenti. Karena memperbaiki diri, sejatinya bukan tentang
menjadi sempurna. Tapi tentang tidak menyerah meskipun sering tergoda untuk
rebahan sambil ngulik HP dan ngemil donat cokelat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar