Tapi, di hari ketiga, realitas datang seperti tagihan
listrik yang lupa dibayar. Tiba-tiba saja muncul banyak
pekerjaan. Email menumpuk, deadline yang tadinya jauh mendadak terasa
menghimpit, dan tugas-tugas kecil yang sebenarnya bisa ditunda tiba-tiba terasa
mendesak. Semua menyuarakan tuntutan harus segera diselesaikan. Padahal, kalau
saya jujur, sebagian besar dari itu bukan urusan penting—hanya masuk akal bila
digunakan sebagai alasan untuk ngeles.
Saya mulai menawar dengan diri sendiri: "Boleh skip
hari ini. Besok mulai lagi. Nggak apa-apa, sudah dua hari konsisten." Lalu,
"sedikit" itu jadi dua hari, lalu tiga. Tahu-tahu, daftar kebiasaan
sehat yang dulu saya susun dengan penuh semangat sudah tergantikan oleh kebiasaan
lama: skip latihan, skip refleksi, skip sarapan sehat. Dan kembali, saya
berdamai dengan mantra yang sudah terlalu sering saya dengar: "Besok
saja."
Lucunya, meskipun saya tahu persis, yang sedang terjadi
hanya akal-akalan supaya bisa kabur dari komitmen yang baru dua hari bersemi,
tapi saya membiarkan otak saya mengambil peran sebagai pengacara,
membela kebiasaan lama. Menyusun argumen dengan sangat meyakinkan: "Kamu
lelah. Kamu butuh istirahat. Disiplin itu penting, tapi kamu juga
manusia." Dan terdakwanya—saya yang malas, yang ingin nyaman—dibebaskan
dari semua tuduhan dengan vonis: "Tidak bersalah karena sedang
sibuk."
Rencana yang tadinya terasa mulia, akhirnya kembali jadi
sekadar wacana. Satu per satu, daftar aktivitas sehat itu bubar jalan, seperti
rombongan demonstran tidak kebagian nasi bungkus.
Lalu, seperti biasa, saya merasa kecewa pada diri sendiri.
Mengapa begitu gampang menyerah? Mengapa begitu sulit menjaga momentum? Saya
mulai memaksa diri lebih keras: lebih keras bangun pagi, lebih keras menolak
godaan, lebih keras menyalahkan diri saat gagal. Tapi semakin keras saya
melawan, justru semakin cepat patah. Karena di balik semua itu, otak
saya—dengan segala kreativitasnya—terus mencari dalih, membuat saya menerima
alasan apa pun: "Hari ini ditunda dulu. Disiplinnya besok saja. Sesuap
makanan berlemak tidak akan membunuhmu."
Ketika saya nyaris berhasil bertahan, otak saya menyodorkan
salah satu kalimat motivasi versi dibegal, “Kegagalan adalah bagian dari
perubahan. Gagal sekali bukan berarti kalah. Selagi kamu masih terus mau
berusaha, suatu saat nanti pasti berhasil.”
Kalimatnya secara harfiah tidak salah. Bahkan terdengar
bijak. Tapi niat semu yang tersembunyi di baliknya sangat menyesatkan. Karena
di tangan saya, kalimat itu jadi alat pembenaran: "Oh, gagal itu wajar.
Jadi, boleh gagal lagi besok, dan lusa, dan minggu depan..." Motivasi yang
seharusnya mendorong, malah jadi pelampiasan untuk terus menunda.
Saya terdiam. Waktu muda, saya sering berantem. Melawan
orang lain, meskipun menang, badan tetap kebagian bonyok. Apalagi kalau
berantemnya melawan diri sendiri Menang tetap bonyok, kalah, lebih berantakan
lagi. Tidak ada pemenang sejati. Hanya kelelahan yang menang.
Tapi mengapa otak saya tidak mau diajak kerjasama untuk
tujuan baik?
Suara berat, berwibawa dan penuh otoritas, menjawab, “Aku
mengatur seluruh aktifitas dirimu. Aku yang menentukan.”
Menjelang saya membantah, suara halus kembali berbisik,
“Jangan dilawan.”
“Terus piye?” saya bertanya, hampir putus asa.
"Kamu berhadapan dengan sistem tubuh yang sudah
mapan," bisiknya pelan. "Kebiasaan lama bukan sekadar pilihan—ia
punya jalur syaraf yang kuat, terbentuk dari ribuan kali pengulangan. Perubahan
berarti membangun jalur baru yang penuh resiko. Otak cenderung menganggap
resiko sebagai ancaman.”
Seseorang pernah memberi tahu, dalam kondisi tertentu, kita
berhadapan dengan mekanisme bawaan dari otak yang dirancang untuk melindungi diri
dari ancaman. Otak tidak peduli apakah kita ingin menjadi lebih sehat, lebih
produktif, atau lebih bahagia. Segala hal baru dianggap berisiko, . Karena itu,
otak cenderung mengarahkan kita kembali ke jalur lama: yang sudah dikenal, yang
sudah teruji, dan terbukti memberi rasa aman.
Rasa aman memicu pelepasan dopamin. Hormon yang memberi
rasa nyaman, puas, dan dorongan untuk mengulang. Maka, tanpa sadar, kita terus
mengulang kebiasaan lama—meskipun merugikan.
Melawan otak dan dopamin sekaligus sama seperti mencoba naik
sepeda sambil menyulut kembang api di atas kepala.
Suara halus kembali berbisik, “Otak adalah organ pengingat,
bukan pendengar. Tidak memberi respon terhadap niat, tapi memberi respon
terhadap kebiasaan dan kenyamanan. Itu sebabnya kamu dibiarkan berlama-lama
melakukan aktifitas yang kamu suka, tapi selalu diusik dengan bosan, lelah atau
ngantuk saat melakukan aktifitas yang sebaliknya.”
Ternyata, saya harus membuat otak suka terlebih dahulu.
Persis seperti waktu saya goleran sambil ngulik ponsel dan ngemil donat
cokelat. Karena otak tahu, saya suka, tanpa semangatpun aktifitas itu bisa
bertahan lama. Sebaliknya, untuk berhenti, butuh semangat dan kemauan yang kuat.
Artinya, sebelum berharap otak mendukung perubahan, saya
harus mengajaknya ngobrol. Menjelaskan pelan-pelan. Membujuk. Bukan memaksa.
Karena perubahan sejati bukan ledakan semangat yang cepat
padam, melainkan proses membentuk kenyamanan baru, yang dulu terasa sulit,
lama-lama terasa wajar. Yang dulu terasa seperti hukuman, perlahan menjadi
bagian dari diri.
Sekarang, saya tidak lagi berharap bangun pagi dengan
semangat. Saya hanya berusaha bangun lima menit lebih awal. Lalu duduk diam.
Bernapas. Tidak harus meditasi, tidak harus produktif. Cukup duduk. Dan biarkan
otak merasakan: Ini tidak berbahaya. Ini nyaman.
Karena pada akhirnya, bukan kemauan yang membentuk
kebiasaan. Tapi kebiasaan yang membentuk kemauan. Dan bukan semangat yang
membuat kita berubah. Tapi perubahan kecil yang terus diulang—yang akhirnya
membangkitkan semangat itu sendiri.
Saya mulai belajar, ntuk berubah, saya tidak perlu melawan
diri. Hanya perlu mengajak diri sendiri pergi jalan-jalan. Pelahan. Sambil
bicara. Sambil tertawa. Sambil sesekali berhenti, minum teh, dan bilang: "Kita
istirahat dulu. Tapi besok kita lanjut."
Karena perjalanan panjang dimulai bukan dengan lompatan, tapi
dengan langkah kecil yang bersedia diulang. Tanpa perlu menang. Tanpa perlu
sempurna. Cukup terus berjalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar