01 September 2023

Berdamai dengan Otak yang Tidak Ingin Berubah

 Dulu, semangat saya datang dalam kemasan instan. Cepat, panas, dan berkilat seperti promo diskon akhir pekan. Dua hari pertama terasa seperti terbang: bangun pagi tanpa alarm, latihan fisik tanpa mengeluh, mencatat refleksi harian dengan penuh kesadaran, bahkan sempat menghindari kopi demi "detoks mental". Semua kebiasaan sehat yang selama ini hanya saya baca di artikel motivasi atau lihat di kutipan Instagram orang-orang produktif, saya jalani dengan penuh gaya. Seolah-olah saya baru saja menemukan kunci kehidupan ideal.

Tapi, di hari ketiga, realitas datang seperti tagihan listrik yang lupa dibayar. Tiba-tiba saja muncul banyak pekerjaan. Email menumpuk, deadline yang tadinya jauh mendadak terasa menghimpit, dan tugas-tugas kecil yang sebenarnya bisa ditunda tiba-tiba terasa mendesak. Semua menyuarakan tuntutan harus segera diselesaikan. Padahal, kalau saya jujur, sebagian besar dari itu bukan urusan penting—hanya masuk akal bila digunakan sebagai alasan untuk ngeles.

Saya mulai menawar dengan diri sendiri: "Boleh skip hari ini. Besok mulai lagi. Nggak apa-apa,  sudah dua hari konsisten." Lalu, "sedikit" itu jadi dua hari, lalu tiga. Tahu-tahu, daftar kebiasaan sehat yang dulu saya susun dengan penuh semangat sudah tergantikan oleh kebiasaan lama: skip latihan, skip refleksi, skip sarapan sehat. Dan kembali, saya berdamai dengan mantra yang sudah terlalu sering saya dengar: "Besok saja."

Lucunya, meskipun saya tahu persis, yang sedang terjadi hanya akal-akalan supaya bisa kabur dari komitmen yang baru dua hari bersemi, tapi saya membiarkan otak saya mengambil peran sebagai  pengacara, membela kebiasaan lama. Menyusun argumen dengan sangat meyakinkan: "Kamu lelah. Kamu butuh istirahat. Disiplin itu penting, tapi kamu juga manusia." Dan terdakwanya—saya yang malas, yang ingin nyaman—dibebaskan dari semua tuduhan dengan vonis: "Tidak bersalah karena sedang sibuk."

Rencana yang tadinya terasa mulia, akhirnya kembali jadi sekadar wacana. Satu per satu, daftar aktivitas sehat itu bubar jalan, seperti rombongan demonstran tidak kebagian nasi bungkus.

Lalu, seperti biasa, saya merasa kecewa pada diri sendiri. Mengapa begitu gampang menyerah? Mengapa begitu sulit menjaga momentum? Saya mulai memaksa diri lebih keras: lebih keras bangun pagi, lebih keras menolak godaan, lebih keras menyalahkan diri saat gagal. Tapi semakin keras saya melawan, justru semakin cepat patah. Karena di balik semua itu, otak saya—dengan segala kreativitasnya—terus mencari dalih, membuat saya menerima alasan apa pun: "Hari ini ditunda dulu. Disiplinnya besok saja. Sesuap makanan berlemak tidak akan membunuhmu."

Ketika saya nyaris berhasil bertahan, otak saya menyodorkan salah satu kalimat motivasi versi dibegal, “Kegagalan adalah bagian dari perubahan. Gagal sekali bukan berarti kalah. Selagi kamu masih terus mau berusaha, suatu saat nanti pasti berhasil.”

Kalimatnya secara harfiah tidak salah. Bahkan terdengar bijak. Tapi niat semu yang tersembunyi di baliknya sangat menyesatkan. Karena di tangan saya, kalimat itu jadi alat pembenaran: "Oh, gagal itu wajar. Jadi, boleh gagal lagi besok, dan lusa, dan minggu depan..." Motivasi yang seharusnya mendorong, malah jadi pelampiasan untuk terus menunda.

Lalu, di tengah kelelahan batin itu, muncul suara lirih. Nyaris tidak terdengar. Seperti bisikan dari dalam gua yang gelap.
"Biarkan saja. Jangan dibantah. Konfrontasi dengan diri sendiri hanya akan membuat kamu semakin babak belur."

Saya terdiam. Waktu muda, saya sering berantem. Melawan orang lain, meskipun menang, badan tetap kebagian bonyok. Apalagi kalau berantemnya melawan diri sendiri Menang tetap bonyok, kalah, lebih berantakan lagi. Tidak ada pemenang sejati. Hanya kelelahan yang menang.

Tapi mengapa otak saya tidak mau diajak kerjasama untuk tujuan baik?

Suara berat, berwibawa dan penuh otoritas, menjawab, “Aku mengatur seluruh aktifitas dirimu. Aku yang menentukan.”

Menjelang saya membantah, suara halus kembali berbisik, “Jangan dilawan.”

“Terus piye?” saya bertanya, hampir putus asa.

"Kamu berhadapan dengan sistem tubuh yang sudah mapan," bisiknya pelan. "Kebiasaan lama bukan sekadar pilihan—ia punya jalur syaraf yang kuat, terbentuk dari ribuan kali pengulangan. Perubahan berarti membangun jalur baru yang penuh resiko. Otak cenderung menganggap resiko sebagai ancaman.”

Seseorang pernah memberi tahu, dalam kondisi tertentu, kita berhadapan dengan mekanisme bawaan dari otak yang dirancang untuk melindungi diri dari ancaman. Otak tidak peduli apakah kita ingin menjadi lebih sehat, lebih produktif, atau lebih bahagia. Segala hal baru dianggap berisiko, . Karena itu, otak cenderung mengarahkan kita kembali ke jalur lama: yang sudah dikenal, yang sudah teruji, dan terbukti memberi rasa aman.

Rasa aman memicu pelepasan dopamin. Hormon yang memberi rasa nyaman, puas, dan dorongan untuk mengulang. Maka, tanpa sadar, kita terus mengulang kebiasaan lama—meskipun merugikan.

Melawan otak dan dopamin sekaligus sama seperti mencoba naik sepeda sambil menyulut kembang api di atas kepala.

Suara halus kembali berbisik, “Otak adalah organ pengingat, bukan pendengar. Tidak memberi respon terhadap niat, tapi memberi respon terhadap kebiasaan dan kenyamanan. Itu sebabnya kamu dibiarkan berlama-lama melakukan aktifitas yang kamu suka, tapi selalu diusik dengan bosan, lelah atau ngantuk saat melakukan aktifitas yang sebaliknya.”

Ternyata, saya harus membuat otak suka terlebih dahulu. Persis seperti waktu saya goleran sambil ngulik ponsel dan ngemil donat cokelat. Karena otak tahu, saya suka, tanpa semangatpun aktifitas itu bisa bertahan lama. Sebaliknya, untuk berhenti, butuh semangat dan kemauan yang kuat.

Artinya, sebelum berharap otak mendukung perubahan, saya harus mengajaknya ngobrol. Menjelaskan pelan-pelan. Membujuk. Bukan memaksa.

Saya harus membangun jalur baru dengan cara yang lembut:
Satu langkah kecil. Satu pengulangan. Satu rasa nyaman yang dibangun perlahan.

Karena perubahan sejati bukan ledakan semangat yang cepat padam, melainkan proses membentuk kenyamanan baru, yang dulu terasa sulit, lama-lama terasa wajar. Yang dulu terasa seperti hukuman, perlahan menjadi bagian dari diri.

Sekarang, saya tidak lagi berharap bangun pagi dengan semangat. Saya hanya berusaha bangun lima menit lebih awal. Lalu duduk diam. Bernapas. Tidak harus meditasi, tidak harus produktif. Cukup duduk. Dan biarkan otak merasakan: Ini tidak berbahaya. Ini nyaman.

Karena pada akhirnya, bukan kemauan yang membentuk kebiasaan. Tapi kebiasaan yang membentuk kemauan. Dan bukan semangat yang membuat kita berubah. Tapi perubahan kecil yang terus diulang—yang akhirnya membangkitkan semangat itu sendiri.

Saya mulai belajar, ntuk berubah, saya tidak perlu melawan diri. Hanya perlu mengajak diri sendiri pergi jalan-jalan. Pelahan. Sambil bicara. Sambil tertawa. Sambil sesekali berhenti, minum teh, dan bilang: "Kita istirahat dulu. Tapi besok kita lanjut."

Karena perjalanan panjang dimulai bukan dengan lompatan, tapi dengan langkah kecil yang bersedia diulang. Tanpa perlu menang. Tanpa perlu sempurna. Cukup terus berjalan.

Perubahan bukan berarti menjadi orang lain. Melainkan tentang belajar mencintai diri yang sedang belajar. Termasuk otak yang selalu ingin nyaman. Termasuk hati yang sering kecewa. Termasuk saya, yang masih sering menyerah, tapi hari ini memilih untuk bangkit lagi.

Tidak ada komentar: