Kehidupan, seberantakan apa pun kelihatannya, sebenarnya selalu punya pola. Mungkin tidak selalu logis, tidak selalu ideal, bahkan bisa jadi menyebalkan, Tapi tetap saja ada keteraturan tersembunyi di balik rutinitasnya.
Saat seseorang ingin memperbaiki hidup, pada dasarnya sedang
berusaha mengubah pola itu. Di sini masalahnya bermula.
Mengubah pola hidup mirip seperti merombak bangunan tanpa
memindahkan penghuninya. Ada suara gaduh, ada debu dan reruntuhan. Ada
ruang-ruang yang tiba-tiba tidak bisa dipakai. Bahkan kadang membuat bingung, ini
sedang diperbaiki atau justru dihancurkan?
Tubuh, pikiran, dan emosi kita sudah terlalu terbiasa dengan
pola lama, tidak perduli meskipun sebenarnya pola itu punya potensi merusak. Saya
tahu, bermalas-malasan, makan apapun asal enak di lidah, begadang sambil nonton
video receh, bukan hidup ideal, tapi saya lakoni, karena terasa nyaman, dan
sepertinya tidak terlalu buruk.
Dulu saya membayangkan perubahan seperti naik tangga dengan langkah
ringan tapi mantap dan terarah. Kenyataannya, bukan sekedar kesandung di setiap
anak-tangga, melainkan nyungsep, tersungkur, bahkan terlempar mundur beberapa langkah. .
Perubahan ternyata datang bersama kekacauan. Seperti dapur yang makin
berantakan saat sedang dibersihkan. Seperti kamar yang tampak lebih kacau saat sedang
ditata ulang.
Seseorang pernah berkata,“Kekacauan bukan lawan dari
keteraturan, melainkan rahim tempat keteraturan baru sedang dibentuk.”
Barangkali, kekacauan adalah suara dari keteraturan lama
yang sedang diganti. Seperti ketika rumah direnovasi, memang harus berantakan
dulu sebelum berubah menjadi lebih nyaman.
Di samping itu, setiap sistem yang diubah butuh waktu untuk beradaptasi.
Pola baru tidak langsung stabil. Seperti tanaman yang baru dipindahkan, awalnya
terlihat layu, rapuh, dan terlihat seperti akan mati. Tapi setelah cukup
disiram, dirawat, dan diberi perhatian, akan tumbuh akar baru.
Hidup, saat sedang mengalami proses perubahan, persis
seperti itu. Mestinya saya tidak perlu panik, tidak usah buru-buru menganggap kekacauan sebagai
pertanda kegagalan. Selama terus tekun berusaha dan sabar, keseimbangan baru
akan terbentuk. Mungkin tidak sempurna, tapi cukup stabil sebagai pijakan untuk
langkah selanjutnya. Di situlah kita bisa bernapas lega dan berkata: “Akhirnya
mulai terasa lebih baik.”
MASALAHNYA, saya melakukan perubahan karena ingin
mendapatkan suasana yang lebih baik, sementara yang terjadi justru sebaliknya.
Nalar saya bisa memahami bahwa proses sedang berlangsung, TAPI SAMPAI KAPAN?
Kalau realitanya saya justru menghadapi lebih banyak
masalah, untuk apa berusaha berubah?
Mending kemarin. Meskipun rejeki hanya mengalir kecil
seperti air PAM di musim kemarau, saya tidak pernah kekurangan. Meskipun setiap
hari sekujur badan serasa habis digebugi orang sekampung, saya masih mampu beraktifitas lebih
baik.
Setelah berusaha berubah, rejeki justru seret, badan berasa semakin remuk. Semakin sulit konsentrasi. Kambuh pikun.
Jangan-jangan nanti
aritmia dan vertigonya ikut muncul pula!!!
Lalu, di tengah semua keluhan itu, suara halus di kepala berbisik, “Kalau kamu tidak berusaha berubah, suatu saat kekacauan itu juga akan terjadi. Bukan karena kamu sengaja membongkarnya untuk diperbaiki, melainkan runtuh sendiri dimakan waktu. Niatmu untuk berubah mirip seperti tim gegana sengaja meledakkan bom secara terkendali, agar tidak meledak secara liar di waktu dan tempat yang tidak terduga.”
Pada akirnya hanya tersisa pilihan sederhana yang tidak mudah: Sengaja memicu kekacauan supaya terjadi sekarang, saat saya masih punya
tenaga dan mampu mengendalikan diri menghadapi tekanan, atau membiarkan kelak
suatu saat, entah kapan, meledak sendiri, ketika saya terlanjur uzur dan tidak
lagi mampu berbuat apa-apa, selain menelan begitu saja semua deritanya dan,
barangkali, sambil menyesal.
Sama-sama berat, tapi pilihan pertama masih membawa harapan
baik.
Saya tidak tahu kapan hidup akan terasa lebih ringan. Tapi
saya tahu satu hal: kekacauan ini bukan tanpa arah, melainkan bagian dari proses. Tanda bahwa saya sedang menyusun ulang hidup saya, meski kadang dengan tangan
gemetar dan hati setengah yakin.
Tapi, selama saya masih punya alasan untuk mencoba lagi besok
pagi, berarti saya belum kalah.